pemerintah awasi
By Asyari Usman
Tak sampai sepekan yang lalu, Menko Polhukam Mahfud MD dengan senang hati mengumumkan bahwa Polisi Siber (Polsib) mulai diaktifkan tahun ini, 2021. Dia bilang, Polsib sangat diperlukan untuk mengawasi akun-akun media sosial yang berbahaya. Terutama konten-konten yang berisi ancaman untuk mencederai seseorang bahkan ancaman pembunuhan.
Mahfud membanggakan kehebatan Polsib nantinya. Pelaku ancaman medsos bisa ditangkap dalam dua jam saja. “Jam 8 pagi ‘ngancam, jam 10 ditangkap,” kata mantan ketua MK itu.
Langkah Pak Menko ini tentu bagus sekali. Ini bentuk perlindungan yang ditunggu-ditunggu. Orang-orang yang terancam, khususnya para pejabat yang sekarang ini bagus-bagus semua kelakuannya, perlu dilindungi. Supaya hidup mereka tenteram.
Tapi, sayangnya, Polsib bisa disalahgunakan seperti halnya UU ITE. Pertama-tama nanti akan dipakai untuk menangani ancaman terhadap para pejabat. Setelah itu, Polsib akan dipakai untuk mengamati akun-akun yang kritis. Akhirnya, semua yang tak sejalan dengan penguasa akan dikejar oleh Polsib.
Sangat mungkin mereka akan mengintip postingan (status) medsos, khususnya akun-akun oposisi. Setelah itu, penyalahgunaan ditingkatkan. Bisa jadi Polsib ikut memancing emosi di akun-akun oposisi. Supaya mereka, pemilik akun-akun kritis itu, tersulut emosi. Dengan begitu mereka bisa dipetakan. Kemudian ditangkap dalam waktu 2 jam, seperti dikatakan Pak Mahfud.
Inilah arah penyalahgunaan yang perlu dicermati. Dan penyalahgunaan itu bukan hal yang baru. Apa saja yang bisa memperkuat cengkeraman para penguasa otoriter, pasti akan dilakukan.
Kali ini kita bantu Pak Mahfud tentang cara yang lebih cepat untuk menangkap para aktivis oposisi. Agar biaya operasionalnya lebih murah. Soalnya, sekarang ini kabarnya pemerintah kesulitan duit.
Bagaimana cara murah itu? Ada dua. Pertama, contoh saja tindakan Korea Utara. Internet diatur sangat ketat. Hanya sejumlah kecil aparat negara saja yang boleh menggunakannya. Itu pun lewat sistem Intranet. Dan semua mereka diawasi. Rakyat tidak boleh sama sekali pakai Internet.
Kedua, lebih praktis lagi. Gunakan “smart microchip” untuk mendeteksi apa yang sedang dipikirkan manusia. Alat ini belum ada. Tapi bisa dipesan sekarang. Mungkin sebelum rezim jatuh karena krisis ekonomi, sudah jadi. Biayanya agak mahal tapi untuk dipakai seumur hidup. Kalau dipesan 150 juta biji untuk 150 manusia oposisi, bisa murah.
Dengan bantuan alat kecil ini, Pak Mahfud bisa mengetahui secara dini apa yang ingin ditulis oleh akun oposisi. Kalau tulisan itu kritis, maka alarm di pusat kendali siber di Kemenko Polhukam akan langsung menyala.
Nah, wajibkan saja semua pegiat oposisi, penulis kritis, pemilik akun medsos yang terindikasi berseberangan dengan panguasa, dll, untuk dipasangi “smart microchip” itu di kepala mereka. Pokoknya dikte saja seperti di Korea Utara.
Dengan cara ini, pemantauan bisa lebih mudah. Lebih efisien. Penangkapan bisa lebih dini. Bahkan tak sampai dua jam. Dan status medsos yang mau ditulis oleh manusia oposisi, bisa dicegah sebelum diunggah.
Kalau khawatir bertentangan dengan HAM dan konstitusi, buatkan saja pasal-pasal baru. Supaya orang bisa dihukum penjara karena kedapatan berpikir untuk menulis kritik di akun medsos.
PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PAN-Zulhas, PPP pasti akan mendukung pembuatan pasal-pasal yang diperlukan itu. Sebentar saja akan disahkan oleh DPR.
Jadi, Pak Mahfud, sampeyan tak perlu Polisi Siber. Cukup pasang ‘smart microchip’ di setiap kepala rakyat oposisi. Kemana pun mereka pergi bisa dilacak. Apa pun yang sedang mereka pikirkan, bisa terdeteksi.[]
4 Januari 2021
(Penulis wartawan senior)
COMMENTS