Belanda dan Khilafah
Oleh: Wahyudi al Maroky Roky Almaroky
(Dir. PAMONG Institute)
Ketika Penjajah Belanda masuk ke Nusantara sudah ada kerajaan dan kesultanan di sana. Kala itu nusantara yang merupakan cikal bakal Bangsa Indonesia bukanlah daerah kosong. Disana sudah ada pemerintahan dan hukum yang berlaku.
Ada pemerintahan kerajaan, ada juga kesultanan. Disana pun sudah ada hukum yang berlaku yakni hukum raja dan adat serta hukum syariah islam.
Beberapa kesultanan punya hubungan erat dengan kekhilafahan Islam. Diantaranya seperti kerajaan Yogyakarta Hadiningrat, Kesultanan Banten, Demak, Ternate, Tidore, Siak, dll. Adanya Gelar yang diberikan kepada para sultan itu, merupakan bukti hubungan yang amat erat antara bangsa Indonesia dengan syariat islam dan Khilafah.
Adanya hukum islam dan hubungan para penguasa Nusantara dengan khilafah telah menyulitkan Belanda untuk menjajah nusantara. Belanda pun melakukan kajian serius dan mendalam. Mengapa mereka bisa sulit dijajah?
Dua Penyebab kuatnya para sultan itu, karena mereka menerapkan hukum islam dan punya hubungan erat dengan Khiafah islam di Turki. Menurut laporan Snouck Hurgrounye, sebagaimana yang dikutip oleh Deliar Noer, rakyat Indonesia saat itu memandang Stambol (Istanbul, ibukota Khalifah Usmaniyah) sebagai raja semua orang Mukmin dan tetap (dipandang) sebagai raja dari segala raja di dunia. (Deliar Noer, 1991).
Untuk bisa menjajah bangsa Indonesia maka Belanda mejalankan dua strategi. Pertama, menjauhkan rakyat dan pemerintahnya dari ajaran Islam dan kedua mencabut hukum islam dari pemerintahan dan menggantinya dengan hukum kolonial. Ajaran Islam harus dipisahkan bahkan dijauhkan dari kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Inilah yang kemudian dikenal dengan sekulerisme.
Belanda berusaha keras menerapkan sekulerisme dan anti syariat Islam.
Ia tidak melarang orang islam beribadah ritual. Islam sebagai agama ritual akan diberi ruang. Namun ia melarang keras jika ajaran Islam dipakai untuk urusan masyarakat dan pemerintahan. Belanda berusaha menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama (H. Aqib Suminto, 1986).
Belanda berusaha mereduksi Islam politik dan menggantinya sebagai Islam ritual. Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan empat cara.
PERTAMA; memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Belanda berusaha keras untuk menghapus kesultanan Islam. Sebagai contoh adalah Kesultanan Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan.
Seluruh penerapan aturan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial. Hukum syariah yang berlaku dihentikan dan kemudian diganti dengan hukum dari Belanda.
KEDUA; Belanda membujuk dan menawarkan kerjasama raja atau sultan dengan penjajah. Sebagai contoh, di Kerajaan Mataram. Penerapan Islam mulai sedikit demi sedikit digeser ketika Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Bagi Raja atau Sultan yang tidak mau diajak kerjasama maka akan diperangi. Biasanya akan diadu domba dengan yang mau kerjasama. Jika tidak ada yang mau diadu domba maka Belanda turun tangan.
KETIGA: Belanda menyebarkan para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Berbagai ordonansi dikeluarkanlah oleh Belanda. Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986). Perjuangan Tak Pernah Padam]
KEEMPAT; Belanda berupaya memutus hubungan nusantara dengan Khilafah. Tekanan Belanda kepada para Sultan semakin kuat ketika institusi Khilafah Islam Ustmaniyah dibubarkan pada 3 Maret 1924. Hal ini menyebabkan dukungan dan bantuan kepada kesultanan nusantara jadi menurun ketika menghadapi Belanda. Belanda mengalami kesulitan berperang dengan para sultan karena mereka dibantu oleh Khilafah. Tanpa dukungan khilafah maka para sultan semakin lemah dalam dan Belanda pun semakin leluasa melakukan penjajahan di Nusantara.
Disisi lain, terkait dengan dibubarkannya Khilafah, para ulama dan tokoh pergerakan Islam Indonesia meresponnya dengan membentuk Komite Khilafah. Komite ini didirikan di Surabaya pada 4 Oktober 1924, dengan ketua Wondosudirdjo (Sarikat Islam) dan wakilnya KH A. Wahab Hasbullah (lihat: Bendera Islam, 16 Oktober 1924).
Kongres ini memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafah di Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. A. Wahab dari kalangan tradisi. (Hindia Baroe, 9 Januari 1925). KH A. Wahab kemudian dikenal sebagai salah satu pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama.
Inilah bukti sejarah yang menunjukkan hubungan erat bangsa Indonesia dengan syariat islam dan Khilafah. Menyatakan Khilafah dan syariah tidak cocok bagi bangsa Indonesia, atau Khilafah dan syariat Islam tidak memiliki akar sejarah di Indonesia, jelas-jelas merupakan tuduhan tidak berdasar.
Sejarah juga mencatat bahwa Belanda memosisikan agama Islam hanya sebatas digunakan mengatur wilayah privat saja. Belanda juga berusaha keras menolak syariat Islam untuk mengatur masyarakat dan peerintahan. Belanda berhasil meminggirkan hukum Islam dari urusan pemerintahan sehingga ia bisa melanggengkan penjajahannya di bumi Indonesia.
Dari catatan sejarah ini, kita bisa pahami bahwa para penjajah berhasil jika bisa menggusur hukum dan pemerintahan dari ajaran islam. Agar umat tak begitu menolak penjajah maka mereka diberikan ruang untuk menerapkan islam sebatas uurusan individu. Sedangkan urusan publik tetap menggunakan aturan penjajahan.
Pola penjajahan belanda ini terus dipraktekan hingga kini. Hanya penjajahnya saja yang berganti dengan cara yang lebih canggih. Semoga kita bisa memerdekakan negeri ini lagi. Taabiiik.
NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.
COMMENTS