Oleh: Prof. Suteki dan Liza Burhan Di tengah musibah serangan wabah virus Corona, Indonesia masih dan kian dalam kondisi yang memprihatin...
Oleh: Prof. Suteki dan Liza Burhan
Di tengah musibah serangan wabah virus Corona, Indonesia masih dan kian dalam kondisi yang memprihatinkan. Belum tuntas soal polemik minimnya fasilitas kesehatan sehingga banyak suspect COVID-19 yang belum tertangani dengan baik, kini muncul fenomena yang tak kalah memilukan. Ramai-ramai warga di beberapa daerah melakukan aksi menolak jenazah pasien positif ataupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP) COVID-19.
Di antara kejadian yang disorot adalah penolakan jenazah di tempat pemakaman umum (TPU) di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Ini berawal dari penolakan warga di sekitar TPU Baki Nipa-nipa, Kelurahan Antang, Manggala, Makassar pada Minggu (29/3/2020). Masih di Manggala, penolakan juga datang dari warga sekitar TPU Pannara pada Selasa (31/3/2020).
Keesokan harinya, penolakan serupa juga datang dari warga Desa Tumiyang Kecamatan Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah. Warga memblokade jalan masuk desa yang berbatasan dengan Desa Karangtengah sejak dini hari. Menurut penuturan seorang warga, penolakan tersebut lantaran warga resah dengan berita adanya pemakaman warga yang terinfeksi COVID-19. Dalam sebuah unggahan video di akun twitter milik @iwanopi, terlihat warga meminta ambulans untuk putar balik.
Dalam unggahan di akun lain milik warganet bernama Cella @AkuDiyem dijelaskan bahwa Dinas Kesehatan Banyumas menguburkan dua jenazah tanpa izin warga terlebih dahulu. Belakangan diketahui, dua jenazah tersebut bukan warga desa setempat melainkan warga Purwokerto. Dua jenazah ini juga sebelumnya ditolak di sana. Hingga akhirnya, keesokan harinya Bupati Banyumas Ahmad Husein sampai harus turun tangan dan ikut menggali kembali kuburan tersebut sampai jenazah berhasil dikebumikan.
Kejadian terbaru yang tak kalah bikin hati terenyuh, yaitu penolakan serupa juga terjadi pada jenazah seorang perawat yang meninggal dikarenakan positif Corona. Sebagaimana diberitakan oleh KOMPAS.com 9/4/2020 - Rencana pemakaman seorang perawat asal Kabupaten Semarang yang meninggal karena positif corona atau Covid-19 yang akan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran Timur, akhirnya berubah.
Perubahan lokasi pemakaman ini karena ada penolakan sebagian warga. Humas Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 Kabupaten Semarang, Alexander Gunawan, mengatakan sebelumnya pengurus RT setempat sudah sepakat dengan pemakaman perawat tersebut di Sewakul. Dan akhirnya pada malam malam harinya dimakamkan di pemakaman keluarga RS Kariadi di Bergota. Dan buntut dari kejadian inipun berujung pada penangkapan beberapa tokoh masyarakat setempat karena dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenazah perawat RSUP Dr Kariadi Kota Semarang tersebut.
Sungguh sederet sejumlah aksi penolakan terhadap para jenazah korban Covid-19 ini teramat membuat sesak dada dan nurani kita. Perlakuan warga yang menolak selayaknya perlakuan kepada seseorang yang menanggung dosa dan aib besar sehingga harus ditolak untuk dikebumikan di tempat pemakaman pada umumnya, tindak pidana apa yang mereka lakukan semasa hidup, hingga sudah meninggal pun harus ditolak dan disia-siakan?
A. Hukum memakamkan Jenazah korban pandemi, baik dari perspektif Agama, Kesehatan dan Hukum Nasional
Sebuah musibah kematian adalah kehendak Allah SWT sebagai penggenggam jiwa setiap makhluk yang bernyawa. Tidak terkecuali bagi meninggalnya orang-orang karena terinfeksi COVID-19 adalah bagian takdir Allah atasnya yang harus diperlakukan sama dengan orang-orang yang meninggal karena penyebab lainnya dengan cara yang dibenarkan dan penghormatan yang baik. Bahkan menurut beberapa pendapat sebagian para ulama mengatakan pasien COVID-19 yang pada akhirnya meninggal dunia yang sebelumnya telah berikhtiar dengan penuh keimanan untuk mencegah dan atau mengobatinya, maka mendapat pahala seperti pahala orang mati syahid.
Dalam persepektif agama, seorang muslim yang meninggal karena wabah sendiri dikategorikan sebagai syahid akhirat. Maka sudah seharusnya jenazahnya dimuliakan dan dipenuhi hak-haknya, mulai dari dimandikan, dikafani, disolatkan hingga dimakamkan. Dengan proses penguburan khusus jenazah karena suatu wabah menular dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis, yakni dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafannya. Menurut beberapa penelitian yang sering disampaikan oleh beberapa ahli di media-media, menjelaskan bahwa virus ikut mati bersama meninggalnya inangnya. Namun untuk kehati-hatian maka bisa dimaklumi jika terdapat ketidaknormalan secara fikih prosedur pemakaman korban covid, misalnya dibungkus plastik, diletakkan dalam peti dan sebagainya.
Terkait dengan masalah ini, kami coba merujuk tulisan Sdr. Ahmad Muntaha AM (NuOnline) yang menyangkut hukum pemakaman jenazah dari sisi agama Islam dan kesehatan. Oleh karena berkaitan dengan kesehatan, tentu kehati-hatian harus merujuk kepada ahlinya, yaitu para dokter yang memang mempunyai basis ilmu kesehatan atau ahlul khubrah fit thibb. Berkaitan hal ini Grand Syekh Ke-24 Al-Azhar, Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996 M) menjelaskan, dokter merupakan bagian dari ahli zikir atau pakar dalam bidang yang menjadi konsentrasinya yang mendapatkan legalitas Al-Qur’an:
Demikian juga dari sisi hukum nasional kita juga telah ada aturan terkait dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir—UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19)—secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” (SOP Pemulasaran Jenazah Covid-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta).
Artinya, selama pemulasaran jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan benar sesuai SOP yang ada, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menolak penguburannya. Sebab rujukan sahih dalam urusan ini adalah para dokter dan tenaga medis.
B. Matinya nurani dan rasa kemanusiaan akibat dari minimnya pengetahuan dan pola ketakutan masyarakat yang berlebihan.
Ironis memang, di tengah kehidupan negeri yang disebut-sebut sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam ajaran Pancasilanya ini malah nampak fenomena yang justru jauh dari kemanusiaan, fenomena penolakan warga atas pasien serta pemakaman jenazah pasien yang terjangkit Covid-19 hingga berbuntut pula pada pengucilan terhadap keluarganya di tempat tinggalnya patut mendapat perhatian khusus kita bersama, terutama perhatian dari pemerintah.
Faktor dari minimnya ilmu/pemahaman serta suatu mental phobia akut dan berlebihan membuat mereka yang ikut-ikutan menolaknya menunjukkan suatu pola masyarakat yang jauh dari nilai keluhuran budi dan solidaritas sosial yang selama ini jadi kebanggaan bagi bangsa ini. Maka di sinilah letak betapa pentingnya peran tokoh dan pemuka agama setempat untuk bisa mengarahkan masyarakat agar memiliki rasa kemanusiaan dan religius terhadap sesama, apalagi kepada korban COVID-19 dan keluarganya.
Ketika terjadi musibah suatu wabah menular, aturan Syara' memang memerintahkan kita untuk menghindarinya. Namun sikap penolakan sebagian warga atas dimakamkannya jenazah covid adalah tidak berdasar ilmu dan pemahaman melainkan hanya berpedoman pada dugaan-dugaan yang bersifat halusinatif dan sikap paranoid semata. Dan tentu saja dampak dari sikap yang gegabah atas berbagai aksi penolakan seperti itu akan menambah kesedihan bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
Pernahkah mereka yang ikut menolak berpikir apa yang akan mereka rasakan jika jenazah yang ditolak untuk dimakamkan tersebut adalah dirinya atau anggota keluarganya. Terlebih jika korban yang jenazahnya ikut ditolak tersebut mempunyai jasa mulia semasa hidupnya seperti halnya tenaga medis yg menanagani wabah corona sampai ia juga harus merenggang nyawa. Dan penting untuk difahami sebagai manusia yang beragama bahwa, berlaku dzalim dengan mentelantarkan hak-hak jenazah seorang muslim merupakan pelanggaran hukum Syara' dan akan berakibat pada kemurkaan di hadapan Allah swt.
Dari kejadian ini maka sudah seharusnya semua pihak terutama bagi mereka yang masih punya pikiran untuk menolak jenazah para korban Corona untuk lebih bersikap bijak, cerdas dan relegius. Bertanya dahulu kepada para ahlinya sebelum melakukan tindakan-tindakan ceroboh dan bodoh yang menghilangkan nurani dan rasa kemanusiaan.
C. Strategi edukatif agar menghilangkan phobia akut masyarakat sehingga tercipta kesadaran untuk menerima pemakaman jenazah korban pandemi corona di lingkungannya.
Sederet aksi dari fenomena penolakan terhadap jenazah korban Corona ini tentu saja haruslah menjadi daftar catatan tambahan penting untuk pemerintah di antara berbagai polemik masyarakat dalam menghadapi masa pandemi ini, masih terbatasnya edukasi serta informasi tentang potensi penularan dari jenazah masih kurang jelas tersampaikan kepada masyarakat luas di penjuru negeri ini yang pada akhirnya memunculkan sebuah "stigma" di tengah masyarakat.
Parahnya stigma tersebut tidak hanya ditujukan kepada para korban yang sudah menjadi jenazah saja, namun stigma negatif tersebut juga berlaku terhadap orang-orang yang sakit ataupun yang dianggap membawa risiko menularkan Covid-19, termasuk tenaga kesehatan sendiri. Stigma negatif yang pada akhirnya menanggalkan rasa kemanusiaan dan moralitas terhadap orang-orang yang seharusnya diberikan dukungan semangat dari orang-orang sekitar.
Dari fenomena ini juga hendaknya menimbulkan suatu kesadaran akan masih lemahnya peran negara dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah tidak boleh membiarkan stigma-stigma negatif terhadap para korban ini semakin liar terjadi di lingkup kehidupan masyarakat. Edukasi yang cukup serta seterang-terangnya dari pemerintah akan mampu menghindarkan masyarakat dari sikap anarkis, main hakim sendiri dan tanpa aturan yang dapat menjadi masalah baru dalam dunia penegakan hukum kita.
Dilansir melalui KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memberikan penjelasan mengenai tata cara penguburan jenazah terpapar corona yang aman kepada masyarakat.
"Perlu ada penjelasan yang sejelas-jelasnya dari para ahli dan pemerintah tentang cara dan ketentuan terkait penguburan jenazah terpapar corona yang aman," ujar Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, Kamis (2/4/2020).
Anwar mengatakan, dalam penjelasan itu pemerintah juga perlu memberikan jaminan tidak akan akan terjadi penularan virus kepada masyarakat setempat. Supaya masyarakat dapat mengerti dan memahami secara baik. Dengan begitu, masyarakat bisa merasa tenang.
Menurut kami, pemerintah juga wajib mengedukasi serta mengupgrade masyarakat dari segi pengetahuan maupun keimanannya di tengah perberlakuan Physical Distancing Dan PSBB di berbagai wilayah saat ini. Sikap phobia akut terhadap penularan Corona ini selain butuh pemahaman yang tepat dari segi medis juga harus dilakukan penyadaran dari segi spiritualis. Bahwasanya setiap individu memang wajib melakukan ikhtiar untuk menjaga diri dari tertularnya suatu wabah sebagaimana yang diajarkan Syara' dan dunia kesehatan, namun tidak dibenarkan mempunyai rasa ketakutan yang berlebih terhadap kematian yang pada akhirnya mampu menanggalkan rasa empati dan kemanusiaan.
Selain dari pada itu penting pula bagi umat/masyarakat untuk kembali bersatu secara pemikiran dan perasaan di atas pemikiran dan perasaannya dalam mengahadapi musibah pandemi Corona ini dengan perasaan dan pemikiran Islam. Karena Islam memiliki peraturan yang lengkap dan paripurna sebagai jalan mencari solusi atas segala macam problematika kehidupan umat manusia yang ditata oleh aturan Islam. Kondisi masyarakat saat ini cenderung dikuasai oleh perasaan dan pemikiran sekular yang tidak bertumpu pada akidah/keyakinan dan aturan Islam, yang kerap membuat mereka bersikap dan bertindak di luar batas dari fitrahnya sebagai manusia.
Berangkat dari semua itu, maka yang paling penting adalah bagaimana negeri ini agar segera kembali pada sistem yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Yang dengannya akan terlaksana pemerintahan yang penuh rasa tanggungjawab atas segala urusan rakyatnya, di negerinya akan terbentuk juga pola masyarakat/umat yang bersatu secara perasaan dan pemikirannya dengan perasaan dan pemikiran Islam.
Atas dasar ketaqwaan di dalamnya terbentuk masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulian dan moralitas yang tinggi sehingga mampu menciptakan masyarakat yang cerdas secara intelektual, emosional maupun spiritual yang akan mendukung pula berjalannya kontrol sosial di tengah masyarakat agar tidak gampang terprovokasi oleh pemikiran dan tindakan yang menyimpang dan tidak dibenarkan.
D. Pola penyelesaian perkara pidana dalam rangka pelaksanaan program penanggulangan pandemi covid-19 sehingga diperoleh model win-win solution
Tak cukup sampai di situ, fenomena sejumlah aksi penolakan terhadap jenazah korban virus Corona ini ternyata sampai berbuntut pada penangkapan orang-orang yang dianggap sebagai provokator aksi penolakan. Sebagaimana diberitakan oleh TRIBUNBATAM.id - Polisi di Polda Jateng mengamankan tiga orang yang dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenazah perawat RSUP dr Kariadi. Sebelumnya, heboh penolakan jenazah seorang perawat di Desa Suwakul, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Dari tiga orang yang ditangkap Sabtu (11/4/2020) ini, satu di antaranya adalah Ketua RT. Adapun tiga pelaku yang dibawa untuk dimintai keterangannya adalah P (31), BS (54), dan S (60). Mereka semua adalah tokoh masyarakat setempat. Mereka dijemput personel Subdit III Jatanras Ditreskrimum karena dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenasah seorang perawat RSUP Dr Kariadi Kota Semarang.
Menanggapi fakta ini, salah satu dari penulis (Suteki) yang merupakan salah satu pakar di bidang hukum berpandangan tidak setuju bila Pak RT dan lainnya masuk penjara karena adanya penolakan pemakaman jenazah seorang perawat yang meninggal karena covid-19. Mengapa? Karena boleh jadi mereka tidak tahu atau belum tahu persoalan hukumnya pemakaman jenazah korban covid-19. Mengingat memang belum adanya edukasi yang masif dan terstruktur dari pemerintah terkait bagaimana masyarakat harus menyikapi korban positif atau jenazah korban dari wabah menular virus Corona.
Para pejabat setempat juga harus introspeksi, sejauhmana telah mengkomunikasikan hukum yang terkait dengannya. Bagaimana dengan pejabat yang lalai mengkomunikasikan hukumnya? Perlu sanksi apa tidak? Jadi, meskipun kita menganut asas fiksi hukum, tapi kita harus fair. Tidak semua peraturan hukum yang baru, rakyat telah mengetahuinya, padahal hukum yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu adalah hukum yang tidak bermoral.
Kesimpulannya, jika Ketua RT dan tersangka lainnya dihukum, maka pejabat negara yang lalai terhadap kewajibannya harus dihukum pula. Solusinya bisa dilakukan win-win solution dengan melakukan Restorative Justice.
Sebagaimana kita ketahui, ada dua system hukum dunia:
1. Sistem hukum civil law (continental): hukum berpusat pd UU. Hakim hanya corong UU.
2. Sistem hukum common law (anglo saxon): hakim dapat meciptakan hukum ( judge made law).
Indonesia lebih condong ke civil law tetapi juga membuka diri ke common law dgn dasar: Pasal 5 ayat 1 UU 48 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Jadi, penyelesaian perkara tidak boleh 100 % hanya didasarkan pada bunyi teks UU melainkan nilai-nilai serta kearifan lokal (local wisdom) pun dapat dijadikan basis penyelesaian suatu perkara sehingga tidak semua perkara hukum khususnya pidana berakhir di penjara.
Tingkat hunian penjara dan rutan kita sdh overcapacity. Kondisi ini akan bersifat multiflier effect. Maka, cara yang ditawarkan adalah:
(1) Membuka ruang untuk penyelesaian perkara pidana lewat jalur di luar criminal justice system sejak perkara diselidiki di tingkat kepolisian.
(2) Membuat lembaga tersendiri yang kalau di Australia disebut: NJC (Neighbourhood Justice Center) sebagai tempat untuk warga masyarakat menyelesaikan perkaranya di luar peradilan negara.
Kedua cara tersebut bisa diwadahi dalam konsep. Restorative justice system. Agar hasil yg dicapai dari kedua cara tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum, keduanya harus terhubung dengan lembaga negara resmi yaitu pengadilan untuk menerbitkan penetapan pengadilan.
Negeri Belanda yang dikenal minus narapidana di penjaranya saya yakin bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yang mengandalkan pada offender oriented melainkan telah bergeser ke victim oriented dengan cara mengutamakan pemulihan keadaan (restorasi) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada voluntary principle.
Secara ideologis kita punya Pancasila yang kaya akan nilai ketuhanan, kekeluargaan, kemanusiaan dan musyawarah mufakat, tetapi mengapa hingga kini kita lebih gandrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Berapa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk membiayai penjara yang disebut sudah over capacity ini? Apakah ingin terus melakukan pemborosan keuangan yang besar? Tentu tidak bukan? Maka Restorative Justice System adalah solusinya.
Terkait dengan perkara penangkapan Ketua RT ini, polisi dapat melakukan pendekatan community policing khususnya dengan memanfaatkan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM). Asal ada niat, penulis kira semua bisa dirembug dan dicarikan solusinya.
Dari berbagai uraian pada artikel singkat ini, dapat ditarik sejumlah kesimpulan di antaranya:
1. Dalam persepektif agama, proses penguburan khusus jenazah karena suatu wabah menular dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis, yakni dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafannya.
Sedangkan dari sisi hukum nasional kita juga telah ada aturan terkait dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir—UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19)—secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” (SOP Pemulasaran Jenazah Covid-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta).
2. Faktor dari minimnya ilmu/pemahaman serta suatu mental phobia akut dan berlebihan membuat mereka yang ikut-ikutan menolaknya menunjukkan suatu pola masyarakat yang jauh dari nilai keluhuran budi dan solidaritas sosial yang selama ini jadi kebanggaan bagi bangsa ini. Maka di sinilah letak betapa pentingnya peran tokoh dan pemuka agama setempat untuk bisa mengarahkan masyarakat agar memiliki rasa kemanusiaan dan religius terhadap sesama, apalagi kepada korban COVID-19 dan keluarganya.
3. Menurut kami, pemerintah wajib mengedukasi serta mengupgrade masyarakat dari segi pengetahuan maupun keimanannya di tengah perberlakuan Physical Distancing PSBB di berbagai wilayah saat ini. Sikap phobia akut terhadap penularan Corona ini selain butuh pemahaman yang tepat secara medis juga harus dilakukan penyadaran dari segi spiritualis.
Selain dari pada itu penting pula bagi umat/masyarakat untuk kembali bersatu secara pemikiran dan perasaan di atas pemikiran dan perasaannya dalam mengahadapi musibah pandemi Corona ini dengan perasaan dan pemikiran Islam yang diikat dalam naungan sistem yang menerapkan hukum Islam. Yang di dalamnya terbentuk masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulian dan moralitas yang tinggi sehingga mampu menciptakan masyarakat yang cerdas secara intelektual, emosional maupun spiritual yang akan mendukung pula berjalannya kontrol sosial di tengah masyarakat agar tidak gampang terprovokasi oleh pemikiran dan tindakan yang menyimpang dan tidak dibenarkan.
4. Terkait penangkapan ketua RT dan dua tokoh masyarakat atas perkara penolakan jenazah korban virus Corona, salah satu dari penulis (Suteki) yang merupakan salah satu pakar di bidang hukum berpandangan tidak setuju. Mengapa? Karena boleh jadi mereka tidam tahu atau belum tahu persoalan hukumnya pemakaman jenazah korban covid-19. Tidak semua peraturan hukum yang baru, rakyat telah mengetahuinya, padahal hukum yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu adalah hukum yang tidak bermoral.
Kesimpulannya, jika Ketua RT dan tersangka lainnya dihukum, maka pejabat negara yang lalai terhadap kewajibannya harus dihukum pula. Solusinya bisa dilakukan win-win solution dengan melakukan Restorative Justice.
Bukankah secara ideologis kita punya Pancasila yang kaya akan nilai ketuhanan, kekeluargaan, kemanusiaan dan musyawarah mufakat? tetapi mengapa hingga kini kita lebih gabdrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Maka Restorative Justice System adalah solusinya .[]
Di tengah musibah serangan wabah virus Corona, Indonesia masih dan kian dalam kondisi yang memprihatinkan. Belum tuntas soal polemik minimnya fasilitas kesehatan sehingga banyak suspect COVID-19 yang belum tertangani dengan baik, kini muncul fenomena yang tak kalah memilukan. Ramai-ramai warga di beberapa daerah melakukan aksi menolak jenazah pasien positif ataupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP) COVID-19.
Di antara kejadian yang disorot adalah penolakan jenazah di tempat pemakaman umum (TPU) di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan. Ini berawal dari penolakan warga di sekitar TPU Baki Nipa-nipa, Kelurahan Antang, Manggala, Makassar pada Minggu (29/3/2020). Masih di Manggala, penolakan juga datang dari warga sekitar TPU Pannara pada Selasa (31/3/2020).
Keesokan harinya, penolakan serupa juga datang dari warga Desa Tumiyang Kecamatan Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah. Warga memblokade jalan masuk desa yang berbatasan dengan Desa Karangtengah sejak dini hari. Menurut penuturan seorang warga, penolakan tersebut lantaran warga resah dengan berita adanya pemakaman warga yang terinfeksi COVID-19. Dalam sebuah unggahan video di akun twitter milik @iwanopi, terlihat warga meminta ambulans untuk putar balik.
Dalam unggahan di akun lain milik warganet bernama Cella @AkuDiyem dijelaskan bahwa Dinas Kesehatan Banyumas menguburkan dua jenazah tanpa izin warga terlebih dahulu. Belakangan diketahui, dua jenazah tersebut bukan warga desa setempat melainkan warga Purwokerto. Dua jenazah ini juga sebelumnya ditolak di sana. Hingga akhirnya, keesokan harinya Bupati Banyumas Ahmad Husein sampai harus turun tangan dan ikut menggali kembali kuburan tersebut sampai jenazah berhasil dikebumikan.
Kejadian terbaru yang tak kalah bikin hati terenyuh, yaitu penolakan serupa juga terjadi pada jenazah seorang perawat yang meninggal dikarenakan positif Corona. Sebagaimana diberitakan oleh KOMPAS.com 9/4/2020 - Rencana pemakaman seorang perawat asal Kabupaten Semarang yang meninggal karena positif corona atau Covid-19 yang akan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran Timur, akhirnya berubah.
Perubahan lokasi pemakaman ini karena ada penolakan sebagian warga. Humas Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 Kabupaten Semarang, Alexander Gunawan, mengatakan sebelumnya pengurus RT setempat sudah sepakat dengan pemakaman perawat tersebut di Sewakul. Dan akhirnya pada malam malam harinya dimakamkan di pemakaman keluarga RS Kariadi di Bergota. Dan buntut dari kejadian inipun berujung pada penangkapan beberapa tokoh masyarakat setempat karena dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenazah perawat RSUP Dr Kariadi Kota Semarang tersebut.
Sungguh sederet sejumlah aksi penolakan terhadap para jenazah korban Covid-19 ini teramat membuat sesak dada dan nurani kita. Perlakuan warga yang menolak selayaknya perlakuan kepada seseorang yang menanggung dosa dan aib besar sehingga harus ditolak untuk dikebumikan di tempat pemakaman pada umumnya, tindak pidana apa yang mereka lakukan semasa hidup, hingga sudah meninggal pun harus ditolak dan disia-siakan?
A. Hukum memakamkan Jenazah korban pandemi, baik dari perspektif Agama, Kesehatan dan Hukum Nasional
Sebuah musibah kematian adalah kehendak Allah SWT sebagai penggenggam jiwa setiap makhluk yang bernyawa. Tidak terkecuali bagi meninggalnya orang-orang karena terinfeksi COVID-19 adalah bagian takdir Allah atasnya yang harus diperlakukan sama dengan orang-orang yang meninggal karena penyebab lainnya dengan cara yang dibenarkan dan penghormatan yang baik. Bahkan menurut beberapa pendapat sebagian para ulama mengatakan pasien COVID-19 yang pada akhirnya meninggal dunia yang sebelumnya telah berikhtiar dengan penuh keimanan untuk mencegah dan atau mengobatinya, maka mendapat pahala seperti pahala orang mati syahid.
Dalam persepektif agama, seorang muslim yang meninggal karena wabah sendiri dikategorikan sebagai syahid akhirat. Maka sudah seharusnya jenazahnya dimuliakan dan dipenuhi hak-haknya, mulai dari dimandikan, dikafani, disolatkan hingga dimakamkan. Dengan proses penguburan khusus jenazah karena suatu wabah menular dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis, yakni dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafannya. Menurut beberapa penelitian yang sering disampaikan oleh beberapa ahli di media-media, menjelaskan bahwa virus ikut mati bersama meninggalnya inangnya. Namun untuk kehati-hatian maka bisa dimaklumi jika terdapat ketidaknormalan secara fikih prosedur pemakaman korban covid, misalnya dibungkus plastik, diletakkan dalam peti dan sebagainya.
Terkait dengan masalah ini, kami coba merujuk tulisan Sdr. Ahmad Muntaha AM (NuOnline) yang menyangkut hukum pemakaman jenazah dari sisi agama Islam dan kesehatan. Oleh karena berkaitan dengan kesehatan, tentu kehati-hatian harus merujuk kepada ahlinya, yaitu para dokter yang memang mempunyai basis ilmu kesehatan atau ahlul khubrah fit thibb. Berkaitan hal ini Grand Syekh Ke-24 Al-Azhar, Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq (1917-1996 M) menjelaskan, dokter merupakan bagian dari ahli zikir atau pakar dalam bidang yang menjadi konsentrasinya yang mendapatkan legalitas Al-Qur’an:
قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ تَعْلِيمًا وَتَوْجِيهًا لِخَلْقِهِ:فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء: 7). وَالطَّبِيبُ فِي عَمَلِهِ وَتَخَصُّصِهِ مِنْ أَهْلِ الذِّكْرِ، وَالْعَمَلُ أَمَانَةٌ.
Artinya, “Allah SWT sungguh telah mengajarkan dan mengarahkan makhluk-Nya dengan berfirman, ‘Bertanyalah kepada ahli zikir jika kalian tidak mengetahui’ (Surat Al-Anbiya ayat 7). Dokter dalam aktivitas medisnya dan bidang spesialisasinya merupakan ahli zikir yang masuk dalam ayat ini. Aktivitas medisnya merupakan amanah baginya,” (Jadul Haq Ali Jadul Haq, Fatawa Al-Azhar [tentang Hukum Aborsi], Muharram 1410 H/4 Desember 1980, II/318) dan (Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tentang Covid-19, Nomor:645/PW/A-II/L/III/2020).Demikian juga dari sisi hukum nasional kita juga telah ada aturan terkait dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir—UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19)—secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” (SOP Pemulasaran Jenazah Covid-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta).
Artinya, selama pemulasaran jenazah Covid-19 telah dilakukan dengan benar sesuai SOP yang ada, maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menolak penguburannya. Sebab rujukan sahih dalam urusan ini adalah para dokter dan tenaga medis.
B. Matinya nurani dan rasa kemanusiaan akibat dari minimnya pengetahuan dan pola ketakutan masyarakat yang berlebihan.
Ironis memang, di tengah kehidupan negeri yang disebut-sebut sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam ajaran Pancasilanya ini malah nampak fenomena yang justru jauh dari kemanusiaan, fenomena penolakan warga atas pasien serta pemakaman jenazah pasien yang terjangkit Covid-19 hingga berbuntut pula pada pengucilan terhadap keluarganya di tempat tinggalnya patut mendapat perhatian khusus kita bersama, terutama perhatian dari pemerintah.
Faktor dari minimnya ilmu/pemahaman serta suatu mental phobia akut dan berlebihan membuat mereka yang ikut-ikutan menolaknya menunjukkan suatu pola masyarakat yang jauh dari nilai keluhuran budi dan solidaritas sosial yang selama ini jadi kebanggaan bagi bangsa ini. Maka di sinilah letak betapa pentingnya peran tokoh dan pemuka agama setempat untuk bisa mengarahkan masyarakat agar memiliki rasa kemanusiaan dan religius terhadap sesama, apalagi kepada korban COVID-19 dan keluarganya.
Ketika terjadi musibah suatu wabah menular, aturan Syara' memang memerintahkan kita untuk menghindarinya. Namun sikap penolakan sebagian warga atas dimakamkannya jenazah covid adalah tidak berdasar ilmu dan pemahaman melainkan hanya berpedoman pada dugaan-dugaan yang bersifat halusinatif dan sikap paranoid semata. Dan tentu saja dampak dari sikap yang gegabah atas berbagai aksi penolakan seperti itu akan menambah kesedihan bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
Pernahkah mereka yang ikut menolak berpikir apa yang akan mereka rasakan jika jenazah yang ditolak untuk dimakamkan tersebut adalah dirinya atau anggota keluarganya. Terlebih jika korban yang jenazahnya ikut ditolak tersebut mempunyai jasa mulia semasa hidupnya seperti halnya tenaga medis yg menanagani wabah corona sampai ia juga harus merenggang nyawa. Dan penting untuk difahami sebagai manusia yang beragama bahwa, berlaku dzalim dengan mentelantarkan hak-hak jenazah seorang muslim merupakan pelanggaran hukum Syara' dan akan berakibat pada kemurkaan di hadapan Allah swt.
Dari kejadian ini maka sudah seharusnya semua pihak terutama bagi mereka yang masih punya pikiran untuk menolak jenazah para korban Corona untuk lebih bersikap bijak, cerdas dan relegius. Bertanya dahulu kepada para ahlinya sebelum melakukan tindakan-tindakan ceroboh dan bodoh yang menghilangkan nurani dan rasa kemanusiaan.
C. Strategi edukatif agar menghilangkan phobia akut masyarakat sehingga tercipta kesadaran untuk menerima pemakaman jenazah korban pandemi corona di lingkungannya.
Sederet aksi dari fenomena penolakan terhadap jenazah korban Corona ini tentu saja haruslah menjadi daftar catatan tambahan penting untuk pemerintah di antara berbagai polemik masyarakat dalam menghadapi masa pandemi ini, masih terbatasnya edukasi serta informasi tentang potensi penularan dari jenazah masih kurang jelas tersampaikan kepada masyarakat luas di penjuru negeri ini yang pada akhirnya memunculkan sebuah "stigma" di tengah masyarakat.
Parahnya stigma tersebut tidak hanya ditujukan kepada para korban yang sudah menjadi jenazah saja, namun stigma negatif tersebut juga berlaku terhadap orang-orang yang sakit ataupun yang dianggap membawa risiko menularkan Covid-19, termasuk tenaga kesehatan sendiri. Stigma negatif yang pada akhirnya menanggalkan rasa kemanusiaan dan moralitas terhadap orang-orang yang seharusnya diberikan dukungan semangat dari orang-orang sekitar.
Dari fenomena ini juga hendaknya menimbulkan suatu kesadaran akan masih lemahnya peran negara dalam mengatasi masalah ini. Pemerintah tidak boleh membiarkan stigma-stigma negatif terhadap para korban ini semakin liar terjadi di lingkup kehidupan masyarakat. Edukasi yang cukup serta seterang-terangnya dari pemerintah akan mampu menghindarkan masyarakat dari sikap anarkis, main hakim sendiri dan tanpa aturan yang dapat menjadi masalah baru dalam dunia penegakan hukum kita.
Dilansir melalui KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memberikan penjelasan mengenai tata cara penguburan jenazah terpapar corona yang aman kepada masyarakat.
"Perlu ada penjelasan yang sejelas-jelasnya dari para ahli dan pemerintah tentang cara dan ketentuan terkait penguburan jenazah terpapar corona yang aman," ujar Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, Kamis (2/4/2020).
Anwar mengatakan, dalam penjelasan itu pemerintah juga perlu memberikan jaminan tidak akan akan terjadi penularan virus kepada masyarakat setempat. Supaya masyarakat dapat mengerti dan memahami secara baik. Dengan begitu, masyarakat bisa merasa tenang.
Menurut kami, pemerintah juga wajib mengedukasi serta mengupgrade masyarakat dari segi pengetahuan maupun keimanannya di tengah perberlakuan Physical Distancing Dan PSBB di berbagai wilayah saat ini. Sikap phobia akut terhadap penularan Corona ini selain butuh pemahaman yang tepat dari segi medis juga harus dilakukan penyadaran dari segi spiritualis. Bahwasanya setiap individu memang wajib melakukan ikhtiar untuk menjaga diri dari tertularnya suatu wabah sebagaimana yang diajarkan Syara' dan dunia kesehatan, namun tidak dibenarkan mempunyai rasa ketakutan yang berlebih terhadap kematian yang pada akhirnya mampu menanggalkan rasa empati dan kemanusiaan.
Selain dari pada itu penting pula bagi umat/masyarakat untuk kembali bersatu secara pemikiran dan perasaan di atas pemikiran dan perasaannya dalam mengahadapi musibah pandemi Corona ini dengan perasaan dan pemikiran Islam. Karena Islam memiliki peraturan yang lengkap dan paripurna sebagai jalan mencari solusi atas segala macam problematika kehidupan umat manusia yang ditata oleh aturan Islam. Kondisi masyarakat saat ini cenderung dikuasai oleh perasaan dan pemikiran sekular yang tidak bertumpu pada akidah/keyakinan dan aturan Islam, yang kerap membuat mereka bersikap dan bertindak di luar batas dari fitrahnya sebagai manusia.
Berangkat dari semua itu, maka yang paling penting adalah bagaimana negeri ini agar segera kembali pada sistem yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh. Yang dengannya akan terlaksana pemerintahan yang penuh rasa tanggungjawab atas segala urusan rakyatnya, di negerinya akan terbentuk juga pola masyarakat/umat yang bersatu secara perasaan dan pemikirannya dengan perasaan dan pemikiran Islam.
Atas dasar ketaqwaan di dalamnya terbentuk masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulian dan moralitas yang tinggi sehingga mampu menciptakan masyarakat yang cerdas secara intelektual, emosional maupun spiritual yang akan mendukung pula berjalannya kontrol sosial di tengah masyarakat agar tidak gampang terprovokasi oleh pemikiran dan tindakan yang menyimpang dan tidak dibenarkan.
D. Pola penyelesaian perkara pidana dalam rangka pelaksanaan program penanggulangan pandemi covid-19 sehingga diperoleh model win-win solution
Tak cukup sampai di situ, fenomena sejumlah aksi penolakan terhadap jenazah korban virus Corona ini ternyata sampai berbuntut pada penangkapan orang-orang yang dianggap sebagai provokator aksi penolakan. Sebagaimana diberitakan oleh TRIBUNBATAM.id - Polisi di Polda Jateng mengamankan tiga orang yang dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenazah perawat RSUP dr Kariadi. Sebelumnya, heboh penolakan jenazah seorang perawat di Desa Suwakul, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Dari tiga orang yang ditangkap Sabtu (11/4/2020) ini, satu di antaranya adalah Ketua RT. Adapun tiga pelaku yang dibawa untuk dimintai keterangannya adalah P (31), BS (54), dan S (60). Mereka semua adalah tokoh masyarakat setempat. Mereka dijemput personel Subdit III Jatanras Ditreskrimum karena dianggap sebagai provokator penolakan pemakaman jenasah seorang perawat RSUP Dr Kariadi Kota Semarang.
Menanggapi fakta ini, salah satu dari penulis (Suteki) yang merupakan salah satu pakar di bidang hukum berpandangan tidak setuju bila Pak RT dan lainnya masuk penjara karena adanya penolakan pemakaman jenazah seorang perawat yang meninggal karena covid-19. Mengapa? Karena boleh jadi mereka tidak tahu atau belum tahu persoalan hukumnya pemakaman jenazah korban covid-19. Mengingat memang belum adanya edukasi yang masif dan terstruktur dari pemerintah terkait bagaimana masyarakat harus menyikapi korban positif atau jenazah korban dari wabah menular virus Corona.
Para pejabat setempat juga harus introspeksi, sejauhmana telah mengkomunikasikan hukum yang terkait dengannya. Bagaimana dengan pejabat yang lalai mengkomunikasikan hukumnya? Perlu sanksi apa tidak? Jadi, meskipun kita menganut asas fiksi hukum, tapi kita harus fair. Tidak semua peraturan hukum yang baru, rakyat telah mengetahuinya, padahal hukum yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu adalah hukum yang tidak bermoral.
Kesimpulannya, jika Ketua RT dan tersangka lainnya dihukum, maka pejabat negara yang lalai terhadap kewajibannya harus dihukum pula. Solusinya bisa dilakukan win-win solution dengan melakukan Restorative Justice.
Sebagaimana kita ketahui, ada dua system hukum dunia:
1. Sistem hukum civil law (continental): hukum berpusat pd UU. Hakim hanya corong UU.
2. Sistem hukum common law (anglo saxon): hakim dapat meciptakan hukum ( judge made law).
Indonesia lebih condong ke civil law tetapi juga membuka diri ke common law dgn dasar: Pasal 5 ayat 1 UU 48 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Jadi, penyelesaian perkara tidak boleh 100 % hanya didasarkan pada bunyi teks UU melainkan nilai-nilai serta kearifan lokal (local wisdom) pun dapat dijadikan basis penyelesaian suatu perkara sehingga tidak semua perkara hukum khususnya pidana berakhir di penjara.
Tingkat hunian penjara dan rutan kita sdh overcapacity. Kondisi ini akan bersifat multiflier effect. Maka, cara yang ditawarkan adalah:
(1) Membuka ruang untuk penyelesaian perkara pidana lewat jalur di luar criminal justice system sejak perkara diselidiki di tingkat kepolisian.
(2) Membuat lembaga tersendiri yang kalau di Australia disebut: NJC (Neighbourhood Justice Center) sebagai tempat untuk warga masyarakat menyelesaikan perkaranya di luar peradilan negara.
Kedua cara tersebut bisa diwadahi dalam konsep. Restorative justice system. Agar hasil yg dicapai dari kedua cara tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum, keduanya harus terhubung dengan lembaga negara resmi yaitu pengadilan untuk menerbitkan penetapan pengadilan.
Negeri Belanda yang dikenal minus narapidana di penjaranya saya yakin bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yang mengandalkan pada offender oriented melainkan telah bergeser ke victim oriented dengan cara mengutamakan pemulihan keadaan (restorasi) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada voluntary principle.
Secara ideologis kita punya Pancasila yang kaya akan nilai ketuhanan, kekeluargaan, kemanusiaan dan musyawarah mufakat, tetapi mengapa hingga kini kita lebih gandrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Berapa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk membiayai penjara yang disebut sudah over capacity ini? Apakah ingin terus melakukan pemborosan keuangan yang besar? Tentu tidak bukan? Maka Restorative Justice System adalah solusinya.
Terkait dengan perkara penangkapan Ketua RT ini, polisi dapat melakukan pendekatan community policing khususnya dengan memanfaatkan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM). Asal ada niat, penulis kira semua bisa dirembug dan dicarikan solusinya.
Dari berbagai uraian pada artikel singkat ini, dapat ditarik sejumlah kesimpulan di antaranya:
1. Dalam persepektif agama, proses penguburan khusus jenazah karena suatu wabah menular dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis, yakni dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafannya.
Sedangkan dari sisi hukum nasional kita juga telah ada aturan terkait dengan penguburan jenazah terjangkit Covid-19, SOP (Standard Operating Procedure) pemulasaran jenazah Covid-19 sudah disesuaikan dengan hukum positif mutakhir—UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Surat Edaran Dirjen P2P Nomor 483 Tahun 2020 Tentang Revisi Ke-2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi Novel Corona Virus (Covid-19)—secara terang-terangan menyatakan, “Penguburan dapat dilaksanakan di tempat pemakaman umum.” (SOP Pemulasaran Jenazah Covid-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta).
2. Faktor dari minimnya ilmu/pemahaman serta suatu mental phobia akut dan berlebihan membuat mereka yang ikut-ikutan menolaknya menunjukkan suatu pola masyarakat yang jauh dari nilai keluhuran budi dan solidaritas sosial yang selama ini jadi kebanggaan bagi bangsa ini. Maka di sinilah letak betapa pentingnya peran tokoh dan pemuka agama setempat untuk bisa mengarahkan masyarakat agar memiliki rasa kemanusiaan dan religius terhadap sesama, apalagi kepada korban COVID-19 dan keluarganya.
3. Menurut kami, pemerintah wajib mengedukasi serta mengupgrade masyarakat dari segi pengetahuan maupun keimanannya di tengah perberlakuan Physical Distancing PSBB di berbagai wilayah saat ini. Sikap phobia akut terhadap penularan Corona ini selain butuh pemahaman yang tepat secara medis juga harus dilakukan penyadaran dari segi spiritualis.
Selain dari pada itu penting pula bagi umat/masyarakat untuk kembali bersatu secara pemikiran dan perasaan di atas pemikiran dan perasaannya dalam mengahadapi musibah pandemi Corona ini dengan perasaan dan pemikiran Islam yang diikat dalam naungan sistem yang menerapkan hukum Islam. Yang di dalamnya terbentuk masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulian dan moralitas yang tinggi sehingga mampu menciptakan masyarakat yang cerdas secara intelektual, emosional maupun spiritual yang akan mendukung pula berjalannya kontrol sosial di tengah masyarakat agar tidak gampang terprovokasi oleh pemikiran dan tindakan yang menyimpang dan tidak dibenarkan.
4. Terkait penangkapan ketua RT dan dua tokoh masyarakat atas perkara penolakan jenazah korban virus Corona, salah satu dari penulis (Suteki) yang merupakan salah satu pakar di bidang hukum berpandangan tidak setuju. Mengapa? Karena boleh jadi mereka tidam tahu atau belum tahu persoalan hukumnya pemakaman jenazah korban covid-19. Tidak semua peraturan hukum yang baru, rakyat telah mengetahuinya, padahal hukum yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu adalah hukum yang tidak bermoral.
Kesimpulannya, jika Ketua RT dan tersangka lainnya dihukum, maka pejabat negara yang lalai terhadap kewajibannya harus dihukum pula. Solusinya bisa dilakukan win-win solution dengan melakukan Restorative Justice.
Bukankah secara ideologis kita punya Pancasila yang kaya akan nilai ketuhanan, kekeluargaan, kemanusiaan dan musyawarah mufakat? tetapi mengapa hingga kini kita lebih gabdrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Maka Restorative Justice System adalah solusinya .[]
COMMENTS