sistem pendidikan khilafah
Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)
Penghilangan frasa agama dari peta pendidikan menimbulkan kesimpulan di tengah umat bahwa sekularisme telah mencapai puncak kebenciannya terhadap Islam. Islam bukan saja dipangkas menjadi ibadah ritual saja tetapi ingin dijauhkan dalam kehidupan pribadi kaum Muslimin.
Apa jadinya kualitas umat jika hanya belajar budi pekerti dan budaya saja? Itu namanya mengerdilkan ajaran Islam yang universal (rahmatan lil alamin) menjadi sebatas dua poin saja. Pengajaran Ilmu Agama Islam pada zaman milineal masih kurang.
Di sekolah umum porsi pengajaran agama Islam hanya dua jam dalam sepekan. Tidak cukup untuk membina umat tentang semua Tsaqofah Islam (Tafsir Al Qur'an, Ilmu Hadis, Fiqh, Bahasa Arab, Sejarah Kebudayaan Islam, Adab dan lain-lain).
Jika pelajaran agama diganti dengan Budi Pekerti dan Budaya, Umat akan kehilangan kesempatan belajar Tsaqofah Islam. Umat dibidik menjadi sangat sekuler.
Akibatnya output masyarakat menjadi semakin pragmatis. Lebih mengejar keuntungan materi karena tidak mendapatkan pendidikan agama yang sesuai. Maka cita-cita untuk menjadi bangsa yang besar dan menandingi bangsa lain menjadi mimpi kosong belaka.
Ini berbeda ketika Umat tidak hidup dalam alam sekuler. Ketika Khilafah Islam mengusai 2/3 dunia selama 14 abad lamanya, output pendidikan Islam berhasil mencetak Pemimpin, Ulama dan Ilmuwan Peradaban yang pengaruhnya meluas secara Internasional.
Sejarah Pendidikan Islam yang menjadikan Agama sebagai landasan ideologisnya dimulai ketika Rasulullah SAW melakukan terobosan di dunia pendidikan. Tawanan perang yang mau bebas dari Kaum Muslimin jika tak sanggup membayar tebusan harus mengajari anak-anak Muslim baca, tulis dan berhitung.
Layanan pendidikan saat itu bersifat gratis sejak zaman Rasulullah SAW hingga Khalifah terakhir dari Turki Ustmani diruntuhkan pada 3 Maret 1924 silam.
Sistem Pendidikan Islam menjadikan masyarakat Madinah zaman Rasulullah SAW mampu menguasai jazirah Arab. Pada masa Kekhilafahan Umayyah lebih fokus pada pergerakan militer.
Namun, Pendidikan Islam mendaptkan momentum emasnya pada masa Kekhilafahan Abbasiyah. Peradaban Islam pun menjadi mata air ilmu pengetahuan bagi dunia. Barat pun mengirimkan mahasiswanya ke Khilafah Abbasiyah untuk mendapatkan pendidikan terbaik.
5 kota terbesar dengan kualitas pendidikan terbaik ada di Khilafah Islam. Baitul Hikmah menjadi perpustakaan terbesar ("google"nya) di dunia kala itu dengan koleksi 5 juta buku dengan teknologi percetakan yang masih sederhana. 5 juta buku itu melambangkan kekuatan intelektual Khilafah saat itu belum lagi khazanah pengetahuan yang dimiliki oleh sarjana Muslim kala itu.
Pada masa Khilafah Abbasiyah ini, agama tidak dihapus dan diganti dengan budi pekerti atau budaya. Agama malah menjadi sumber penggerak umat menjadi masyarakat intelektual. Banyak Ulama bermunculan seperti Bukhari Muslim, Imam 4 mahdzab Syafi'i, Hanafi Maliki, Hanbali, serta ilmuwan tersohor seperti Ibnu Khaldun, Al Khawarizmi, Ibnu Batutah, Al Ghazali, Ibnu Sina dan lain-lain.
Aset umat ini tidak muncul karena pendidikan yang sekuler. Mereka tercipta dalam Sistem Pendidikan Islam yang Kaffah. Yang berlangsung 24 jam setiap hari.
Bukan 2 jam sepekan yang menjadikan umat hanya mengejar materi tetapi tidak memperjuangkan agama. Output pendidikan Khilafah Islam itu mmembuat Daulah Islam sebagai negara yang ideal untuk menyebarkan pemikiran Islam.
Dengan demikian jika ingin mewujudkan suatu negeri yang mengalami percepatan emas, sistem pendidikan kapitalis harus diganti. Ketika Sistem Islam diterapkan secara Kaffah, mata air ilmu pengetahuan dan sains akan bergeser ke dunia Islam. Inilah yang harus kita perjuangkan sehingga sistem yang ada tidak saja kuat secara militer, ekonomi dan sosial tetapi menjadi kekuatan pendidikan global. []
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
COMMENTS