Ramadhan 2020
Oleh. Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M.Ag (Mudir Ma’had Uswatun Hasanah Purwakarta)
Dalam artikel sebelumnya, “Bagaimana Cara Menyikapi Fatwa MUI Tentang Covid-19”, penulis telah menjelaskan bahwa pada prinsipnya pemberlakuan hukum itu bergantung pada syarat dan ketentuannya (al-Hukmu Yadûru ma’a al-‘illah wujûd[an] wa ‘adam[an]). Maka jika syarat dan ketentuannya tidak terpenuhi, otomatis hukum itu tidak berlaku, sehingga situasi, kondisi dan keadaan (fakta hukum) sangat menentukan berlakunya hukum tersebut.
Fatwa MUI tentang panduan ibadah ditengah situasi kondisi Pandemi Covid-19 adalah hukum _taklîfi_ yang menjelaskan mekanisme cara beribadah dalam situasi yang tidak normal, maka situasi itu menjadi _illat_ yang menuntut perubahan pelaksaan ibadah ( _rukhshah_ ) dari satu aspek, sedangkan cara penerapan hukum fatwa tersebut (hukum _wadh’i_ ) merupakan aspek lain yang secara tekhnis pelaksanaanya _(tahqîq al-Manâth_ ) dikembalikan pada pelakunya (mukallaf) secara subjektif, atau ditentukan secara objektif oleh seorang ahli berdasarkan situasi, kondisi dan keadaan fakta hukumnya masing-masing.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]: 286.
“ _Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya…”_
Atas dasar itulah maka, hukum
fatwa MUI itu hanya berlaku bagi seorang muslim yang telah memenuhi syarat dan ketentuannya ( _rukhsah_ ), sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan hukum itu, baginya tetap berlaku hukum asalnya ( _azîmah_ ).
Maka orang yang memenuhi syarat dan ketentuan berdasarkan fatwa ini ialah orang-orang yang sakit baik secara subjektif, atau secara objektif dinyatakan sakit oleh dokter, terlebih bagi orang berstatus ODP (Orang Dalam Pengawasan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan) hingga terinfeksi Covid-19 maka statusnya menjadi haram menjalani aktivitas sosial seperti biasanya karena membawa _dharar_ (bahaya) yang mengancam dirinya, juga orang lain. Sebaliknya bagi orang yang sehat dan dinyatakan sehat, maka hukum asal itulah yang tetap melekat pada mereka untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, yang tentunya tetap mengindahkan SOP kesehatan dari pemerintah yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, menghindari kerumunan masa, dan tetap menjaga kesehatan tubuh agar tetap prima.
Bagaimana menghukumi orang sehat?, pertama tentu secara subjektif orang tersebut merasa sehat, tubuhnya tidak bermasalah dan tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit yang keluar dari tubuhnya. Cara kedua dapat diukur dengan alat seperti thermometer untuk memastikan keadaan suhu tubuh secara akurat dan terukur. Hukum asal itu tetap berlaku selama tidak ada perubahan fakta hukum yang mengubahnya (al- _Ashl Baqâ’u Mâ Kâna ‘alâ Mâ Kâna_ ), baik secara subjektif maupun objektif, maka hukum asal itu tetap berlaku baginya; seperti menjalankan shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, shalat jum’at dan ibadah wajib lainnya di Bulan Ramadhan.
Itulah ikhtiar maksimal secara profesional dan proporsional yang dapat dilakukan oleh para pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di tengah Pandemi covid-19 dalam menghadapi Bulan Ramadhan 1441 Hijriyyah.
Jika di perkantoran, lembaga keuangan (Bank), pabrik dilakukan pengecekan suhu pada setiap _customer_ dan pegawainya, maka mengapa tidak dilakukan ikhtiar yang sama pada para jamaah masjid?. Iktiar, Tawakkal dan bersabar berlandaskan iman dalam menjalani ibadah Ramadhan di tengah pandemi merupakan kunci sukses untuk meraih predikat takwa di Bulan Ramadhan tahun ini, mari kita sambut Bulan Ramadhan 1441 H dengan riang gembira! _Marhaban Yaa Ramadhan_ .
COMMENTS