Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani
Oleh : KH Hafidz Abdurrahman
Mesir, khususnya, masyarakatnya unik. Orangnya ramah, meski ngeyelan. Tutur bicaranya luar biasa. Karena itu, orang Mesir dikenal dengan "mujamalah" (bermanis muka untuk mengambil hati). Itu karakter umum yang saya lihat.
Selama saya berinteraksi dengan para masyayikh al-Azhar, sikap tawadhu', akhlak, ketulusan dan kesungguhan mereka dalam berkhidmat untuk ilmu memang luar biasa. Mereka juga mengajarkan kepada saya, dan para asatidz MSH tentang bagaimana memperlakukan santri, sebagaimana tradisi di al-Azhar.
Kebetulan, ketika saya menjenguk anak-anak saya yang sedang kuliah di al-Azhar, saya berjumpa dengan salah seorang Syaikhnya. Ketika beliau bertemu saya di Jamik Azhar, beliau menceritakan anak-anak saya yang belajar keapada beliau. Dengan mengatakan, "Mereka tahu bagaimana cara belajar yang benar." Hati saya langsung, "Tek. Subhanallah."
Cerita lain, ketika Masyaikhah materi Arudh dan Qawafi anak-anak selalu memberi motivasi kepadanya, dan banyak kisah-kisah lain. Semua ini menyentak saya, bahwa di balik kesuksesan al-Azhar mencetak orang-orang hebat, memang ada hubungan yang kuat antara Syaikh dengan para muridnya.
Kedekatan hubungan antara guru dan murid, yang sedemikian tulus, dengan akhlak, sikap tawadhu', dengan dedikasi yang luar biasa ini telah dimodifikasi oleh al-'Allamah Syaikh Taqi dengan konsep ri'ayah, sehingga pengaruhnya jauh lebih dahsyat.
Saya merasakan ri'ayah ini begitu luar biasa, sampai pada hal-hal kecil. Sehingga hubungan Syaikh/Musyrif dengan murid/daris itu tak ubahnya seperti Abun wa Akhun (ayah dan saudara). Sampai urusan menutup pintu kamar mandi, untuk mencuci kaki dan berwudhu, menjaga agar toilet tetap kering, sampai hal-hal detil diperhatikan.
Tak jarang kita ditunjuk menjadi imam untuk mengetahui bacaan, dan hapalan kita. Setelah itu beliau akan beri nasihat dengan cara yang baik. "Sebagai pengemban dakwah, Anda harus begini.. begini.." dan begitu seterusnya.
Begitulah, soal hapalan ayat, hadits dan kebiasaan harian sangat diperhatikan. Sampai soal menggunakan waktu melihat TV di ruang tunggu bandara pun tak luput dari perhatian. Inilah ri'ayah yang dilakukan, layaknya orang tua yang mendidik anaknya.
Begitu juga ketika sakit, atau anak sakit, selalu ditanyakan. Sampai hapal benar, ketika anak saya saat itu sakit-sakitan. Ketika ketemu juga sama, sapaan yang sering disampaikan, "Masya Allah, kaifa haluka ya Rajul Shalih?" Sapaan yang luar biasa.
Ketika hendak memberikan ibrah, melalui kisah, terutama kisah tentang al-'Allamah Syaikh Taqi, beliau bertanya, "Anda pernah berjumpa dengan Syaikh Taqi?" Jauh dari kesan menggurui. Begitulah, akhlak yang saya pelajari.
Bahkan, saking tawadhu'nya, ketika saya tanya, jawabannya kadang tak terduga, "Wa Kaifa Yus'alu Ahmad, wa Hunaka Malik? (Bagaimana Imam Ahmad hendak ditanya, padahal yang bertanya adalah Imam Malik)." Padahal, saya bukanlah siapa-siapa. Hanya debu yang masih banyak tertawan dosa.
Begitulah, tradisi keilmuan, dibalut dengan keikhlasan, akhlak, dedikasi, kesungguhan dan ri'ayah yang luar biasa. Ilmu yang disampaikan dan diemban akhirnya bukan sekedar menjadi knowledge, tapi menjadi tsaqafah yang agung. Terpatri, mengakar dan diperjuangkan begitu rupa.
Kerana pengemban dakwah bukan hanya seorang guru, yang hanya fokus mengajar, atau mufti, yang hanya fokus memberi fatwa, ulama' atau fuqaha' yang belajar agar menjadi sumber ilmu. Tidak. Pengemban dakwah adalah seorang politikus yang mempunyai kewajiban untuk memastikan apa yang disampaikan dan diemban itu benar-benar dilaksanakan oleh murid/darisnya.
Semuanya ini mengingatkan saya pada hubungan Nabi dengan para sahabatnya. Inilah hubungan yang dibangun, bukan sekedar hubungan murid dengan guru, tetapi lebih dari itu.
(Bersambung)
Mesir, khususnya, masyarakatnya unik. Orangnya ramah, meski ngeyelan. Tutur bicaranya luar biasa. Karena itu, orang Mesir dikenal dengan "mujamalah" (bermanis muka untuk mengambil hati). Itu karakter umum yang saya lihat.
Selama saya berinteraksi dengan para masyayikh al-Azhar, sikap tawadhu', akhlak, ketulusan dan kesungguhan mereka dalam berkhidmat untuk ilmu memang luar biasa. Mereka juga mengajarkan kepada saya, dan para asatidz MSH tentang bagaimana memperlakukan santri, sebagaimana tradisi di al-Azhar.
Kebetulan, ketika saya menjenguk anak-anak saya yang sedang kuliah di al-Azhar, saya berjumpa dengan salah seorang Syaikhnya. Ketika beliau bertemu saya di Jamik Azhar, beliau menceritakan anak-anak saya yang belajar keapada beliau. Dengan mengatakan, "Mereka tahu bagaimana cara belajar yang benar." Hati saya langsung, "Tek. Subhanallah."
Cerita lain, ketika Masyaikhah materi Arudh dan Qawafi anak-anak selalu memberi motivasi kepadanya, dan banyak kisah-kisah lain. Semua ini menyentak saya, bahwa di balik kesuksesan al-Azhar mencetak orang-orang hebat, memang ada hubungan yang kuat antara Syaikh dengan para muridnya.
Kedekatan hubungan antara guru dan murid, yang sedemikian tulus, dengan akhlak, sikap tawadhu', dengan dedikasi yang luar biasa ini telah dimodifikasi oleh al-'Allamah Syaikh Taqi dengan konsep ri'ayah, sehingga pengaruhnya jauh lebih dahsyat.
Saya merasakan ri'ayah ini begitu luar biasa, sampai pada hal-hal kecil. Sehingga hubungan Syaikh/Musyrif dengan murid/daris itu tak ubahnya seperti Abun wa Akhun (ayah dan saudara). Sampai urusan menutup pintu kamar mandi, untuk mencuci kaki dan berwudhu, menjaga agar toilet tetap kering, sampai hal-hal detil diperhatikan.
Tak jarang kita ditunjuk menjadi imam untuk mengetahui bacaan, dan hapalan kita. Setelah itu beliau akan beri nasihat dengan cara yang baik. "Sebagai pengemban dakwah, Anda harus begini.. begini.." dan begitu seterusnya.
Begitulah, soal hapalan ayat, hadits dan kebiasaan harian sangat diperhatikan. Sampai soal menggunakan waktu melihat TV di ruang tunggu bandara pun tak luput dari perhatian. Inilah ri'ayah yang dilakukan, layaknya orang tua yang mendidik anaknya.
Begitu juga ketika sakit, atau anak sakit, selalu ditanyakan. Sampai hapal benar, ketika anak saya saat itu sakit-sakitan. Ketika ketemu juga sama, sapaan yang sering disampaikan, "Masya Allah, kaifa haluka ya Rajul Shalih?" Sapaan yang luar biasa.
Ketika hendak memberikan ibrah, melalui kisah, terutama kisah tentang al-'Allamah Syaikh Taqi, beliau bertanya, "Anda pernah berjumpa dengan Syaikh Taqi?" Jauh dari kesan menggurui. Begitulah, akhlak yang saya pelajari.
Bahkan, saking tawadhu'nya, ketika saya tanya, jawabannya kadang tak terduga, "Wa Kaifa Yus'alu Ahmad, wa Hunaka Malik? (Bagaimana Imam Ahmad hendak ditanya, padahal yang bertanya adalah Imam Malik)." Padahal, saya bukanlah siapa-siapa. Hanya debu yang masih banyak tertawan dosa.
Begitulah, tradisi keilmuan, dibalut dengan keikhlasan, akhlak, dedikasi, kesungguhan dan ri'ayah yang luar biasa. Ilmu yang disampaikan dan diemban akhirnya bukan sekedar menjadi knowledge, tapi menjadi tsaqafah yang agung. Terpatri, mengakar dan diperjuangkan begitu rupa.
Kerana pengemban dakwah bukan hanya seorang guru, yang hanya fokus mengajar, atau mufti, yang hanya fokus memberi fatwa, ulama' atau fuqaha' yang belajar agar menjadi sumber ilmu. Tidak. Pengemban dakwah adalah seorang politikus yang mempunyai kewajiban untuk memastikan apa yang disampaikan dan diemban itu benar-benar dilaksanakan oleh murid/darisnya.
Semuanya ini mengingatkan saya pada hubungan Nabi dengan para sahabatnya. Inilah hubungan yang dibangun, bukan sekedar hubungan murid dengan guru, tetapi lebih dari itu.
(Bersambung)
COMMENTS