CATATAN PENTING UNTUK NADIRSYAH HOSEN

Oleh : Buya Alfitri Bismillah. Saya bukan pengurus, aktivis, kader apalagi simpatisan HTI, tapi setelah membaca tulisan beliau...

Oleh : Buya Alfitri

Bismillah.

Saya bukan pengurus, aktivis, kader apalagi simpatisan HTI, tapi setelah membaca tulisan beliau ini, saya melihat ada beberapa catatan yang harus beliau pahami dengan baik, yaitu:

PERTAMA

Kitab Raudhah itu RINGKASAN dari isi kitab al-`Aziz/Fathul `Aziz karya imam ar-Rafi`i. Karenanya, isi kitab Raudhah dipengaruhi oleh isi kitab al-`Aziz.

Jika imam ar-Rafi`i tidak menguraikan sistem Khilafah secara detail di dalamnya, maka logis bila imam Nawawi juga ikut tidak membahasnya secara detail, sebagaimana yang dilakukan oleh imam al-Mawardi. Jika tidak, maka kitab ar-Raudhah tidak lagi menjadi ringkasan.

Jadi, sikap imam Nawawi yang tidak menjelaskan sistem Khilafah secara detail dalam ar-Raudhah, itu tidak bisa dijadikan bukti konkrit untuk mengatakan bahwa beliau tidak mewajibkan menegakkan sistem Khilafah.

KEDUA

Dahulu, pembahasan tentang sistem Khilafah, memang tidak diulas secara detail dalam satu kitab Fikih yang bersifat umum.

Silahkan lihat kitab al-Umm, Mukhtashar al-Buwaithi dan al-Muzani karya imam as-Syafi`i, atau kitab Nihayah al-Mathlab karya imam al-Haramain, begitu juga al-Basith, al-Wasith, al-Wajiz dan al-Khulashah karya imam al-Ghazali. Semua kitab ini tidak membahas detail tentang sistem Khilafah. Nah pertanyaannya, apakah bisa disimpulkan juga bahwa para para ulama pemilik kitab-kitab di atas juga tidak mewajibkan penegakan sistem Khilafah?

Sebenarnya, pembahasan tentang itu biasanya ditulis dan diuraikan dalam satu kitab khusus, seperti yang dilakukan imam al-Mawardi, Abu Ya`la bin al-Farra' dan Badruddin Ibnu Jama`ah. Karenanya, imam al-Mawardi yang jelas menulis kitab al-Hawi al-Kabir, tidak membahas sistem Khilafah secara detail di dalam al-Hawi. Lantas di mana beliau uraikan? Itu beliau uraikan dalam kitab khusus berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah.

Meskipun demikian, ketika membahas tentang masalah al-Baghyu (pemberontakan), seorang penulis kitab Fikih merasa perlu juga menyinggung SEDIKIT tentang pembahasan Khilafah/Imamah.

Contoh konkrit dalam hal ini adalah imam ar-Rafi`i dalam al-`Aziz, yang kemudian diringkas oleh imam Nawawi. Dalam kitab al-`Aziz, imam ar-Rafi`i menjelaskan:

المقدمة الثانية : لما كان البغي عبارة عن الخروج على الإمام بشروط مخصوصة ، فيحتاج في معرفة الباغي إلى معرفة الإمام ، فاستحسن جماعة من الأصحاب أن يتكلموا في الإمامة ههنا ، ورأينا أن نتأسى بهم ، ونورد المقصود باختصار في فصول.

KETIGA

Kalau diperhatikan ulasan singkat imam Nawawi tentang al-Imamah dalam ar-Raudhah, akan ditemukan beberapa poin yang menunjukkan bahwa beliau itu memang berbicara tentang Khilafah dengan sistemnya. Diantara poin tersebut adalah sebagai berikut, yaitu:

1).  Beliau memasukkan 'bersuku Quraisy' (Quraisy) ke dalam syarat Imamah. Jika tidak ada, maka diikuti langkah-langkah berikutnya. Syarat yang seperti ini jelas terkait dengan apa yang disebut sebagai sistem Khilafah.  

Karenanya, kalau dikatakan imam Nawawi tidak mewajibkan penegakan sistem Khilafah, maka tentu syarat seperti ini tidak diperlukan.

2). Beliau juga memasukkan 'beragama Islam' ke dalam syarat Imamah. Lagi-lagi syarat seperti ini jelas terkait dengan sistem Khilafah.

Karenanya, kalau dikatakan Khilafah yang dimaksudkan imam Nawawi itu bukan sistemnya, tapi konsep kepemimpinan secara umum, maka konsekuensinya non-muslim tetap tidak boleh dipilih dan diangkat jadi Kepala Negara.

3). Beliau juga memasukkan 'berkelamin lelaki' ke dalam syarat Imamah. Ini juga terkait sistem Khilafah. Karenanya, kalau ulasan imam Nawawi dalam Raudhah ini dianggap sebagai konsep Kepemimpinan secara umum, maka konsekuensinya wanita tidak boleh diangkat sebagai Kepala Negara.

4). Beliau sering mengutip pandangan imam al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyyah, yang jadi rujukan dalam permasalahan sistem Khilafah. Jika Khilafah/Imamah yang beliau maksudkan itu bukan sistem, maka tidak mungkin beliau merujuk pendapat imam al-Mawardi.

KEEMPAT

Dalam kitabnya yang lain, juga ada poin-poin yang menunjukkan bahwa beliau 'mengimani' sistem Khilafah. 

Contohnya, beliau menfatwakan orang Yahudi tidak boleh diberikan jabatan dalam Bait Malil Muslimin (lembaga keuangan). Jika ada yang sudah diberikan jabatan seperti itu, maka wajib dipecat.

مسألة : رجل يهودي ولي صيرفيًا في بيت مال المسلمين، ليزن الدراهم المقبوضة والمصروفة وينقدها ، ويعتمد في ذلك قوله ، هل تحل توليته أم لا ؟ وهل يثاب ولي الأمر على عزله واستبدال ثقة مسلم بدله ؟ وهل يثاب المساعد في عزله ؟

الجواب : لا يحل تولية اليهودي ذلك ، ولا يجوز إبقاؤه فيها ، ولا يحل اعتماد قوله في شيء من ذلك ، ويثاب ولي الأمر - وفقه الله تعالى - في عزله واستبدال مسلم ثقة ، ويثاب المساعد في عزله.

وقال تعالى : [يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبالاً ودوا ما عنتم] إلى آخر الآيات ، ومعناها : [لا تتخذوا] من يداخل بواطن أموركم [من دونكم] أي : من غيركم وهم الكفار [لا يألونكم خبالاً] أي : لا يقصرون فيما يقدرون على إيقاعه من الفساد والأذى والضرر [قد بدت البغضاء] يقولون : نحن أعداؤكم ، والله أعلم.

Nah, kalau larangan non-muslim diberikan jabatan seperti ini tidak terkait dengan sistem Khilafah, maka itu terkait dengan sistem apalagi?

Dan kalau memang imam Nawawi itu tidak mewajibkan penegakan sistem Khilafah, maka tentu beliau tidak akan mengeluarkan fatwa seperti ini?

Wallahua`lam

NB:

Yang punya link dengan bersangkutan, tolong share tulisan ini kepadanya.🙏