Oleh : Syarifudin Chan Saya melihat ada caption yang berbunyi : " Kita dorong UAS agar mau jadi Cawapres." Banya...
Oleh : Syarifudin Chan
Saya melihat ada caption yang berbunyi :
" Kita dorong UAS agar mau jadi Cawapres."
Banyak macam ragam argumen yang dimunculkan. Anatara lain utk mengantisipasi kemungkinan duet JKW-TGB, sehingga diperlukan cawapres Prabowo juga sekelas ulama alumni al-Azhar juga.
Saya membuat tulisan ini bukan untuk melawan opini tersebut. Bukan juga untuk memecah barisan umat. Ini hanya dalam rangka urun rembuk, mencoba melihat sesuatu lewat kacamat berbeda. Ini perlu, agar opini tersebut lebih terlihat halal haramnya, untung ruginya, maslahat mudharatnya.
Hal pertama adalah maslah Demokrasi-Sekulerisme-Kapitalisme yang tengah diterapkan sebagai sistem dalam negara ini. Jika kita kaji, bahwa sistem ini adalah sistem buatan manusia kafir, yang tidak berlandas pada al-Qur'an dan as-Sunnah, serta melegalkan dibuatnya aturan/hukum baru buatan manusia sebagai pengganti hukum/aturan dari Allah, maka semestinyalah menerapkannya adalah haram.
Ini bisa kita lihat bagaimana Rasulullah menolak tegas-tegas tawaran kepemimpinan Quraisy, hanya karena ketika dia jadi pemimpin, maka sistem yang akan dipakainya adalah sistem Jahiliyah. Walau tidak tertutup kemungkinan setelah jadi pemimpin, Rasulullah mengganti sistem tersebut. Kemungkinan yang menurut akal sangat bisa jadi ini, tidak sedikitpun menjadi pertimbangan bagi Rasulullah. Beliau tidak ingin sedetikpun menjadi pemimpin yang memimpin dengan menerapkan sistem yang bukan berasal dari Allah SWT.
Nah, jika UAS jadi capres kelak, pertanyaannya, dengan sistem apakah beliau akan mengurusi negeri ini ? Pasti Demokrasi-Sekulerisme-Kapitalisme. Kenapa kita mendorong beliau agar melakukan ini, sementara Rasulullah kita dapati menolaknya mentah-mentah ? Bukankah ini atinya kita mendorong beliau untuk menyelisihi Rasulullah ???
Masuk ke hal kedua. Mungkin ada yang kepikiran, dengan masuknya UAS sebagai pendamping Prabowo, minimal umat Islam akan mempunyai wakil di tampuk kekuasaan, sehingga diperkirakan rejim baru nanti tidak akan seberingas rejim saat ini kepada umat Islam. Make sense, mengingat UAS seorang yang vokal dan berani.
Namun harus dipahami bahwa negara punya sistem kenegaraan. Dimana dalam sistem kita yang republik, kepemimpinan itu berada mutlak di tangan Presiden. Wapres itu sejatinya hanyalah sosok pendamping yang paling banter memberi pandangan, tapi tidak bisa jadi pemberi keputusan. Dalam hal ini, Presiden tidak diwajibkan untuk menerima saran dan masukan dari wapres.
Disini terlihat betapa posisi wapres itu tidaklah terlalu berpengaruh. Ini bisa kita lihat dalam sejarah panjang negeri ini, dimana sepanjang masa itu, wapres-wapres yang ada tidak lebih hanya sebagai simbol belaka. Gak ada pengaruh besarnya pada jalan pemerintahan.
Nah, jika Presidennya nanti adalah orang yang memang tidak menolak Demokrasi-Sekulerisme-Kapitalisme, bisa dibayangkan bahwa Wapres tidak akan berkutik untuk lebih menolak sistem yang disukai oleh presiden.
Masuk ke hal ketiga, sementara kita tahu sistem Sekulerisme-Demokrasi-Kapitalisme inilah yang memusuhi Islam. Karena Islam iti punya prinsip sendiri, Islam itu juga sistem sendiri yang bertentangan dengan sistem ini. Maka Presiden yang menerapkan sistem ini, pasti akan memunculkan kebijakan-kebijakan yang emngikuti prinsip-prinsip sistem, tidak perduli itu sesuai atau bertentangan dengan prinsip/aturan/syariat Islam.
Contoh kasus LGBT. Jika menurut prinsip Sekulerisme-Demokrasi-Kapitalisme, LGBT itu sesuatu yang tidak boleh dilarang, karena sesuai dengan prinsip kebebasan berperilaku dari sistem ini. Sementara umat Islam menginginkan LGBT itu dilarang karena bertentangan dengan Islam.
Bisakah pemerintah melarang LGBT ? Walaupun pemerintah punya keinginan untuk melarangnya, namun terhalang oleh prinsip sistem yang ternyata tidak ditemukan satu ketentuan dari sistem ini yang bisa dipakai untuk melarangnya. Yang ada justru banyak sekali ketentuan atau prinsip sistem ini yang menunjukkan bahwa LGBT itu no problem, oke.
Bisakah seorang wapres mengubah ini ???? Tidak ada peluang sama sekali.
Masuk ke hal ke empat. Pemerintah termasuk Presiden dan wapres dalam sistem Republik ini disebut sebagai pihak Executive, atau pelaksana. Melaksanakan apa ? Melaksanakan setiap peraturan/unang-undang yang ada, dan undang-undang yang baru yang dibuat oleh DPR.
Membuat UU baru ? Presiden dan wapres tidak punya wewenang untuk itu. Paling juga sebatas membuat rencana undang-undang/RUU yang harus dimintai persetujuan dari DPR.
DPR itu apa ? DPR itu adalah perwakilan rakyat yang menyusun atau membuat atau menyetujui undang-undang berdasarkan kesepakatan diantara mereka dengan sandaran UUD 45 dan Pancasila.
Jelas kan ? Si pembuat UU saja tidak bersandar pada al-Qur'an dan as-Sunnah, terus bagaimana mungkin seorang yang cuma diamanahi untuk menjalankan UU bisa kemudian bersandar pada al-Qur'an dan as-Sunnah ???
Jadi, dari semua hal di atas, mendorong UAS agar mau jadi cawapres, hanya akan menjadikannya sebagai bumper, tameng, bagi rejim nantinya. Itu akan efektif membungkm umat jika ada kebijakan rejim yang bertentangan dengan keinginan umat.
Umat mau marah ? Yang bakalan dimarahin UAS yang sudah menjadi bagian dari penguasa. Kita yang mendorongnya utk jadi wapres, kemudian dia nantinya akan kita hujat disana karena kebijakan pemerintah tetap tidak mampu mensejahterakan rakyat, karena sistemnya memang bukan sistem yang mampu utk mensejahterakan rakyat.
Bayangkanlah bingungnya UAS kelak. Karena dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghalangi keluarnya kebijakan-kebijakan itu semua. Baliau menangis melihat penderitaan umat di luar, namun di istana, di pemerintahan, beliau tidak bisa berbuat apa-apa, karena beliau cuma seorang wapres yang hanya executor/pelaksana dari semua uu/aturan buatan manusia di DPR.
Sekedar urun rembuk karena rasa cinta pada ulama.
COMMENTS