Kepemimpinan Baru Suriah Dinilai Menuju Jurang Kehancuran: Antara Diplomasi dan Pengkhianatan Revolusi

Damaskus, Suriah – Kunjungan delegasi Kongres Amerika Serikat ke Suriah menuai kontroversi besar di tengah gejolak perubahan politik di negara yang telah lebih dari satu dekade dilanda konflik. Anggota Kongres AS Marlin Stutzman pada Jumat (18/4) lalu menyatakan bahwa kunjungannya ke Damaskus merupakan “pengalaman yang luar biasa” dan menyebut pertemuan yang dilakukannya bersifat positif dan konstruktif. Ia juga menyampaikan akan melaporkan hasil pembicaraan tersebut kepada otoritas di Washington (Sumber: Syrian News Channel via Al-Araby Al-Jadeed).

Kunjungan Stutzman merupakan bagian dari misi diplomatik informal yang bertujuan menjajaki kemungkinan hubungan yang lebih erat dengan pemerintahan baru di Suriah pasca transisi dari rezim Bashar al-Assad. Bersama anggota Kongres lainnya, Cory Mills, ia turut bertemu langsung dengan Presiden Suriah Ahmad al-Shara’a dan Menteri Luar Negeri As’ad al-Shaybani di Istana Rakyat, Damaskus, pada Sabtu pagi (19/4), menurut rilis resmi dari Kepresidenan Suriah (Al-Araby Al-Jadeed, 2025).

Dalam pernyataannya, Stutzman menekankan pentingnya membangun “hubungan pribadi” dengan pemimpin baru Suriah, dan mengatakan bahwa Amerika tidak hanya menginginkan sekutu, tetapi juga “pemimpin yang bersahabat” di kawasan strategis tersebut.

Namun, langkah ini memantik kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk pengamat politik Timur Tengah, aktivis revolusi Suriah, dan kelompok Islam politik seperti Hizbut Tahrir. Kritik utama mereka tertuju pada sikap pemerintah baru Suriah yang dianggap melupakan sejarah panjang intervensi Amerika Serikat di Suriah, termasuk dukungannya terhadap rezim Bashar al-Assad dan peran sentralnya dalam menggagalkan gerakan revolusi rakyat sejak 2011.

Dalam pernyataan resmi yang diterbitkan oleh Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir, Nadzir bin Shalih dari Wilayah Tunisia mengecam tajam langkah pemerintah baru Suriah yang dinilai sedang meniti jalan kehancuran. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin para pemimpin baru itu menyambut baik pihak yang pernah mendalangi konspirasi untuk menghancurkan revolusi umat Islam di Suriah dan menyokong pembantaian terhadap warga sipil.

“Apakah mereka lupa bahwa Amerika adalah pendukung utama sang tiran Bashar al-Assad, dan tangannya berlumuran darah kaum Muslimin di Syam?” tulisnya dalam artikel resmi Hizbut Tahrir.

Ia juga menyinggung dukungan politik, ekonomi, dan militer Amerika terhadap entitas Zionis Israel, yang hingga saat ini masih terus melakukan agresi brutal terhadap rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza. Dalam konteks ini, pemerintah baru Suriah dianggap telah mengabaikan prinsip solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina yang selama ini menjadi simbol perlawanan dunia Islam.

Mengutip Al-Qur’an, Nadzir memperingatkan bahwa sikap tunduk kepada kekuatan asing bisa membawa kehancuran. Dua ayat yang dikutip antara lain QS. Al-Baqarah: 120 – "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka" – serta QS. Ali ‘Imran: 149 – "Jika kamu menaati orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu kamu menjadi orang-orang yang rugi."

Menurut Hizbut Tahrir, sikap pemerintah baru Suriah mencerminkan bukan hanya kelalaian politik, tetapi juga pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Islam dan perjuangan rakyat. Jika mereka terus menapaki jalan normalisasi dan kompromi dengan pihak-pihak yang selama ini menindas dan memerangi umat Islam, maka kehancuran dan kerugian—baik di dunia maupun akhirat—menanti mereka.

Referensi:

Al-Araby Al-Jadeed. (2025). Suriah Terima Delegasi Kongres AS di Damaskus.
Syrian News Channel. (2025). Pertemuan Presiden Suriah Ahmad al-Shara’a dengan Anggota Kongres AS.
Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir. (2025). Pernyataan Resmi Hizbut Tahrir Mengenai Kunjungan Delegasi AS ke Suriah.
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah: 120 dan Ali 'Imran: 149.