Pagar Laut Tangerang: Akar Masalah dan Solusi
Pagar Laut Tangerang: Akar Masalah dan Solusi
Pembongkaran pagar laut di Tangerang memicu berbagai reaksi. Kementerian ATR/BPN mencabut atau membatalkan sebagian sertifikat, Kementerian Kelautan dan Perikanan melempar sanksi atau denda, DPR membentuk panitia penyelidik, dan Kejaksaan Agung mengusut pidananya. Semua langkah ini sah-sah saja. Namun, patut diduga bahwa akar masalahnya—yakni "kesepakatan manis" antara mantan Presiden Mulyono dengan segelintir taipan atau kongsi dagang semasa ia berkuasa—harus turut diberantas. Dari sinilah semua persoalan bermula.
Pagar bambu di laut hanyalah tanda kecil dari sesuatu yang lebih besar. Tanpa "kesepakatan manis," tidak akan ada bisnis triliunan rupiah. Tanpa bisnis triliunan rupiah, mana mungkin "tikus-tikus" akan mengerubungi remah-remah roti? Semakin banyak tikus berkumpul, semakin terancam kedaulatan maritim dan kekayaan alam negeri ini.
Undang-Undang dan Celah Bisnis
Semua bermula dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang didorong secara agresif oleh Mulyono hingga akhirnya disahkan. Undang-undang ini melahirkan PP No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, yang diteken Mulyono pada 2 Februari 2021.
PP ini sangat krusial karena mencabut PP No. 40 Tahun 1996 dan mengubah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Salah satu aspek paling kontroversial dalam PP Mulyono adalah pengaturan soal tanah musnah (Pasal 66).
Pada aturan sebelumnya, reklamasi tidak pernah disebutkan. Jika tanah dengan status HGB musnah, maka HGB otomatis hapus. Namun, dalam PP Mulyono, pemegang hak sebelumnya justru diberi prioritas untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi. Bahkan, jika reklamasi dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain, pemegang hak lama tetap mendapat dana kerohiman. Lebih menguntungkan lagi, pemegang HGB diberikan masa tenggang dua tahun untuk memperpanjang haknya setelah habis masa berlaku.
Modus Operandi: Dari Girik ke Reklamasi
PP Mulyono membuka peluang bagi bisnis "peternakan girik/letter C" yang melibatkan banyak pihak, dari pejabat desa, kantor pertanahan, PPAT, advokat, hingga pengusaha besar. Prosesnya:
-
Pengakuan Tanah
- Seseorang mengklaim kepemilikan tanah lama dengan girik atau letter C.
- Status tanah ditingkatkan menjadi SHM melalui kantor pertanahan.
-
Alih Kepemilikan ke Badan Hukum
- SHM dijual ke perusahaan (PT) melalui Akta Jual Beli (AJB).
- Statusnya diubah menjadi HGB.
-
Penetapan Tanah Musnah
- Ketika tanah yang diklaim ternyata laut, ditetapkan sebagai tanah musnah.
- Pemegang HGB mendapat prioritas untuk melakukan reklamasi.
-
Bisnis Reklamasi
- Dengan dasar hukum PP Mulyono, lahan laut bisa diubah menjadi proyek properti bernilai triliunan rupiah.
Kasarnya, orang berani mengurus girik ke SHM karena dijanjikan ada pembeli. Mereka berani memasang pagar bambu di laut karena aturan mewajibkan pengukuran batas tanah sebelum sertifikat terbit. Pengusaha rela mengeluarkan miliaran rupiah karena ada jaminan keuntungan besar di masa depan, didukung oleh regulasi seperti PP Mulyono.
Siapa Pemainnya?
Sebanyak 234 dari 263 sertifikat HGB (88,9%) di sekitar pagar laut dipegang oleh PT Intan Agung Makmur (IAM), perusahaan yang baru didirikan pada 6 Juni 2023 (Akta No. 5). Komisaris utamanya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan 2004-2009, Freddy Numberi.
Agung Sedayu Group mengakui kepemilikan SHGB yang mereka beli dari masyarakat. SHM-SHM ini berasal dari peningkatan girik sejak 1982, ketika kawasan itu masih berupa daratan sebelum musnah terkena abrasi.
Bisnis properti sangat bergantung pada dua hal: lahan dan uang muka konsumen. Lihat saja laporan keuangan Q3 2024 PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI):
- Aset cadangan lahan: Rp34 triliun
- Penerimaan uang muka konsumen: Rp15 triliun
Dua Solusi untuk Mengatasi Masalah
Akar masalah pagar laut Tangerang ada dua: Mulyono dan PP-nya. Maka solusinya juga dua:
-
Pemeriksaan Mulyono
- Bukan tidak mungkin ada dugaan suap dan korupsi dalam pembentukan PP ini.
- Kejaksaan Agung harus mengusut keterlibatan pihak-pihak terkait.
-
Mencabut atau Mengubah PP Mulyono
- Bisa dilakukan melalui jalur politik, dengan Presiden Prabowo Subianto mencabutnya.
- Bisa juga melalui uji materiil di Mahkamah Konstitusi.
Tanpa langkah ini, semua hanya akan menjadi omon-omon.
Salam.
Agustinus Edy Kristianto
COMMENTS