Fanatisme Represif tragedi kanjuruan
Pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya menimbulkan duka mendalam bagi dunia pesepakbolaan Indonesia. Peristiwa kelam 1 Oktober 2022, Ratusan Aremania dinyatakan meninggal dunia dan lainnya mengalami luka-luka akibat kejadian ini. Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatisme golongan, yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya Berulangnya kerusuhan dalam pertandingan sepak bola seolah menunjukkan pembiaran negara atas hal ini.
Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Hal ini nampak pada penggunaan gas air mata, yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. Tragedi ini tak akan terjadi ketika fanatisme tak menjadi acuan dan aparat bertindak tepat dalam mengatasi persoalan. Presiden Joko Widodo menyampaikan duka cita atas meninggalnya suporter Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang. Jokowi menyesalkan terjadinya kerusuhan yang menyebabkan ratusan korban meninggal dan terluka tersebut.
The New York Times (3 Oktober 2022) menulis judul: "Deadly Soccer Clash in Indonesia Puts Police Tactics, and Impunity, in Spotlight". Artikelnya bagus, ditulis oleh Sui-Lee Wee, Kepala Biro Asia Tenggara yang juga anggota tim yang memenangkan Pulitzer Prize 2021 untuk kategori pelayanan publik. Dia jelas bukan kelas wartawan bodrex yang gampang limbung karena amplop! Lead-nya menusuk ulu hati: "For years, tens of thousands of Indonesian have faced off against a police force that MANY SAY IS CORRUPT, uses brute force to suppress crowds and is accountable to NO ONE." Tragedi yang makan banyak korban jiwa ini patut disesalkan. Ini bukan kejadian pertama dimana suporter rusuh dan memakan korban. Sudah teramat sering korban suporter jatuh di lapangan akibat pengelolaan pertandingan yang ceroboh. Bukankah ini dapat diprediksi sebelumnya mengingat sudah banyak kejadian terjadi sebelumnya?
Pada deskripsi tragedi Kanjuruhan, secara khusus mengenai gas air mata, dipakai istilah "WITHOUT WARNING, sprayed tear gas at tens of thousands of spectators crowded in a stadium." Metode polisi itu yang disebut memicu penyerbuan yang berujung kematian 125 orang---salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga dunia!
Menanggapi kejadian tersebut presiden Jokowi menyampaikan agar kasus itu diinvestigasi tuntas dan diberi sanksi kepada yang bersalah. Namun presiden tidak menyinggung persoalan penggunaan gas air mata oleh aparat. Padah itu adalah tindakan yang memprihatinkan. Apalagi gas itu disemprotkan ke tribune.
Sebetulnya berbagai upaya mencegah kerusuhan sudah dilakukan. Antara lain kepolisian meminta jam pertandingan diusulkan diajukan pada jam 16.30 namun tidak dihiraukan oleh panitia pelaksana pertandingan (detik.com 2/10). Langkah lain juga dilakukan antara lain mencegah suporter Persebaya masuk Kanjuruhan dan ini sudah dilakukan. Maklum ini pertandingan besar derbi klub Jatim yakni Arema Malang dan Persebaya yang termasuk salah satu rivalitas klasik di BRI Liga I Indonesia. Sehingga yang hadir dalam stadion sejatinya hanya suporter Arema. Namun meski demikian ternyata Persebaya berhasil mengalahkan tuan rumah dengan skor 3-2. Ini membawa 'emosi' bagi para suporter disebabkan adanya fanatisme yang berlebihan dari para suporter.
Kelola Surporter
Dunia sepakbola tidak hanya pertandingan melainkan ada kepentingan tim nasional, kepentingan bisnis, marketing politik, dan beraneka kepentingan lain karena mengerahkan massa dalam jumlah besar. Problem krusial yang selalu kurang diantisipasi adalah sebelum pertandingan dimulai dan setelah 2x45 ketika kekalahan dan kemenangan sudah diketahui. Karena setelah pertandingan usai bisa saja penonton yang kecewa lantas memprovokasi dan membuat onar.
Yang terjadi di Kanjuruhan ribuan penonton turun dari tribune dan gagal dicegah aparat keamanan. Sejauh mana kesiapan aparat menjadi tanda tanya besar. Malahan aparat melepaskan tembakan gas air mata. Apakah ada dalam SOP? Mengapa menangani suporter sama dengan pengunjuk rasa. Beredar pula informasi penjualan tiket selama masa pandemi 75 persen dari total kapasitas stadion yakni sebanyak 45.449 penonton. Setelah 2 tahun dicekam pandemi pertandingan sepak bola adalah kartasis sosial. Sayang, pengorganisasian cenderung merugikan suporter. Manajemen massa dalam hal ini suporter menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah. Lalu lintas penonton saat masuk dan keluar stadion harus menjadi perhatian dan diantisipasi sejak awal.
Penggunaan gas air mata yang sudah dilarang FIFA kenapa digunakan? Tragedi Kanjuruhan menyisakan pesan urgensi pembenahan sistemik sepak bola tanah air. Musibah di berbagai negara adalah pelajaran berharga. Musibah di Lima, Peru 1964 dangan 318 korban jiwa, tragedi di Accra, Ghana tahun 2001 dengan 126 jiwa, dan tragedi Hillsborough di Sheffield, Inggris dengan 97 tewas pada 1989, sepatutnya membuat kita sigap membenahi persepakbolaan nasional. Tragedi Kanjuruhan menambah pesan akan urgensi pembenahan sistemik mulai dari hulu sepak bola kita. Jangan sampai nyawa penonton kita menjadi korban sia-sia di kemudian hari (Kompas, 3/10). Tragedi ini memilukan dan sudah saatnya persepakbolaan tanah air berbenah jangan sampai nyawa melayang sia-sia di lapangan kerena kecerobohan pengelolaan dunia sepakbola
Dalam Islam ada beberapa lahwun (permainan), yang bisa memupuk sportivitas akan tetapi sesuai syara” yaitu: berkuda, memanah dan berenang. Olahraga dalam Islam termasuk aktivitas yang diperbolehkan. Olahraga ini dilakukan agar tubuh menjadi sehat dan kuat. Namun saat ini olahraga termasuk sepakbola tidak semata agar badan menjadi tetapi menjadi permainan yang terorganisir. Sepakbola menjadi ajang bisnis dengan banyak kepentingan di dalamnya termasuk juga adanya perjudian. Efek negatif lainnya adalah timbulnya fanatisme suporter terhadap club' bola.
Dari sini kita melihat bahwa sepakbola akhirnya menjadi lahwun yang justru menyibukkan kita pada aktivitas yang mubah bahkan sampai meninggalkan aktivitas yang wajib dan sunnah. Maka dengan demikian, jika permainan sepakbola mempertajam fanatisme kesukuan dan memberikan efek lainnya seharusnya umat Islam bisa mempertimbangkan sisi kemudharatannya. Sehingga umat Islam bisa memilih aktivitas lain yang tidak sia-sia dan membawa pada kemaslahatan. Wallahu a’lam bis showab
COMMENTS