Blt solusi kenaikan BBM
Oleh : Sutiani, A. Md (Aktivis Dakwah Muslimah)
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa negara telah mengalokasikan dana subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp502,4 triliun dan berpotensi ditambah Rp195 triliun. Akan tetapi, pendapatnya hal tersebut masih belum tepat sasaran apalagi sebagian besarnya dinikmati oleh orang kaya.
Sri Mulyani merincikan sebagian konsumen solar adalah rumah tangga dan sebagiannya lagi dunia usaha. Sebanyak 89% dari 15-17 juta kilo liter solar dinikmati oleh dunia usaha dan 11% dinikmati oleh rumah tangga. Dari konsumsi rumah tangga tersebut, sebanyak 95% dinikmati oleh rumah tangga yang mampu dan hanya 5% yang dinikmati oleh rumah tangga tidak mampu.
Situasinya tidak jauh berbeda dengan pertalite beliau menuturkan bahwa total subsidi Pertalite yang besarnya Rp93,5 triliun, sebanyak 86% dinikmati rumah tangga dan sisanya 14% dinikmati oleh dunia usaha. Dari yang dinikmati rumah tangga, sebanyak 80% adalah rumah tangga mampu dan hanya 20% yang merupakan rumah tangga miskin. (wartaekonomi.co.id, 26/08/2022).
Pernyataan tersebut tentunya akan menambah derita rakyat walaupun belum diumumkan secara resmi kemungkinan rencana itu akan ditetapkan meski tidak tahu kapan waktunya hingga menunggu ketok palu kepala negara saja. Belum lagi jika terjadi kenaikan BBM yang akhirnya membawa dampak secara langsung seperti kenaikan harga barang, tuntutan kenaikan gaji, dan membengkaknya biaya produksi. Pemerintah pun turut andil memberikan strategi untuk meredam dampak kenaikan harga BBM subsidi dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat.
Pemberian BLT nantinya akan diambil dari APBN 2022, lagi-lagi makin menipis anggaran tersebut. Namun, pada dasarnya setiap pemerintah memberikan BLT yang terjadi tidak tepat sasaran dan berpeluang menambah masalah baru seperti korupsi dana BLT yang tidak valid. BLT bersifat sementara dengan waktu yang terbatas sedangkan hidup terus berjalan ketika BBM naik maka itu bukan menjadi solusi yang hakiki.
Pernyataan Sri Mulyani menyatakan penikmat BBM adalah orang kaya atau rumah tangga mampu hanyalah sebuah dalih secara tidak halus perlahan-lahan seolah ingin menghapuskan subsidi BBM yaitu dengan perubahan harga pertalite naik dari harga awal Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter, sedangkan solar naik dari Rp5.150/liter menjadi Rp7.200/liter. Begitu juga sektor usaha yang dimiliki orang kaya, tetapi pada kenyataannya jika kenaikan harga BBM yang berdampak adalah rakyat selaku konsumen. Padahal, jikalau kita pandang rasio jumlah penduduk miskin jauh lebih banyak daripada penduduk kaya.
Sejatinya akar permasalahan yang timbul hari ini yaitu masih diterapkan sistem kapitalis-liberal di mana SDA seperti migas dikuasai oleh para pemilik modal asing aseng. Negara seolah lepas tangan dan hanya bertindak sebagai regulator sehingga dikendalikan para pihak swasta yang akhirnya BBM makin mahal dan sulit didapatkan oleh rakyat. Negara hari ini hanya sebagai regulator saja dengan cara membuat UU demi memuluskan kepentingan para oligarki mengeksploitasi SDA layaknya seperti migas.
Jika kita menilik sabda Rasulullah saw. bahwasanya: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api.” (h.r. Abu Daud).
Rasulullah saw. juga bersabda: “Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang lelaki yang ada dalam majelis. ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: (kalau begitu), tarik kembali darinya.” (h.r. Tirmidzi).
Terkait hadis di atas, ulama besar Sheikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal Daulah Khilafah, bahwa ini merupakan dalil larangan atas individu untuk menguasainya, karena hal itu merupakan milik seluruh kaum muslim.
Maka jelaslah hakikatnya bahwa kekayaan SDA seperti migas adalah kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh individu karena milik rakyat seutuhnya. SDA seharusnya dikelola oleh negara dan hasil tersebut diberikan kepada rakyat guna memberikan pelayanan terbaik misalnya subsidi secara langsung seperti menggratiskan BBM, gas, dan listrik. Sedangkan secara tidak langsung negara menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi warganya.
Jikalau pun hendak ingin ekspor migas ketika stok melimpah, maka keuntungan disimpan ke dalam baitulmal yang nantinya akan dipakai untuk keperluan rakyat. Selain itu, keuntungan juga dapat dialokasikan untuk pengadaan sarana dan infrastruktur, riset, eksploitasi, pengolahan hingga penyaluran ke SPBU. Termasuk membayar seluruh kegiatan administrasi baik dari tenaga ahli, karyawan sampai kepada direksi maupun yang terlibat di dalamnya.
Alhasil, jelas tercapainya kehidupan yang sejahtera sehingga turunlah rida Allah di bawah naungan sistem Khilafah Islam dengan akidah yang kuat, tunduk, dan patuh karena pertanggungjawaban yang besar kelak di hadapan-Nya serta senantiasa terus kita menyampaikan kebenaran tentang Islam kafah di tengah-tengah umat.
Wallahualam bissawab.
COMMENTS