Pernikahan dini
Oleh : Isty Da’iyah (Analis Mutiara Umat Institute)
Berbagai strategi dan segala cara dijadikan alat untuk menyerang kaum muslim, dan ajarannya. Embusan ide-ide menyesatkan seputar Islam terus digulirkan, mulai dari Islam moderat, radikal, ekstrimis dan kini moderasi semakin masif digulirkan, untuk menyerang ajaran Islam.
Moderasi beragama sejatinya menjadi salah satu sekuel ide Barat, dalam menjauhkan kaum muslim dari Islam. Moderasi beragama terus di embuskan melalui ide-ide mereka, supaya mereka bisa menancapkan _hadharahnya_ dalam benak kaum muslim, untuk meninggalkan syariatnya. Sehingga kaum muslim akan berkiblat pada Barat dengan sukarela.
Sangat miris, ketika moderasi beragama telah masuk ke dalam ranah syariat Islam. Salah satunya ide moderasi yang berusaha masuk ke dalam sebuah aturan pernikahan. Banyaknya kasus perceraian pada pernikahan di bawah umur, sering dijadikan alasan bagi para pegiat moderasi beragama untuk menyerang hukum syariat. Padahal perceraian terjadi bukan semata karena persoalan usia. Namun, banyak faktor yang mempengaruhinya.
Sebagaimana dikutip dari detik.news yang menyebutkan dalam kurun tahun 2013 sampai 2015, perempuan usia 20 – 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki angka perceraian lebih tinggi dibanding mereka yang menikah setelah usia 18 tahun. Dalam revisi Badan Pusat statistik (BPS) 2017 presentasi perempuan usia 20-24 tahun yang berstatus cerai dan pernah menikah sebelum umur 18 tahun lebih besar 4,53 %, dibanding yang menikah setelah usia 18 tahun yang hanya 3,02 % (DetikNews.com 27/6/21).
Sementara itu, dilansir dari Katadata.co.id, angka perceraian di Indonesia mengalami lonjakan jumlah yang meningkat hingga 53,50 %, pada tahun 2021 dengan kasus 447.7743 kasus, dari tahun sebelumnya. Penyebab perceraian sangat bermacam-macam. Namun, kebanyakan adalah karena faktor ekonomi dan kurang keharmonisan, dan kekerasan dalam rumah tangga (kata data.co.id 28/2/22).
Sebenarnya dari fakta di atas, penyebab perceraian bukan semata dari pernikahan dini. Jadi, bukan sebuah alasan jika pernikahan dini dijadikan alasan sebab tingginya perceraian.
Arus Moderasi Menyasar Pernikahan Dini
United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi atau tidak resmi yang dilakukan sebelum usia 18 tahun. Maka ketika terjadi pernikahan di bawah usia 18 tahun akan dianggap sebagai aktivitas yang melanggar hak anak sehingga solusi yang dibuat adalah dengan mencegah pernikahan dini.
Narasi pernikahan dini pun dianggap sebagai ancaman. Seorang aktivis gender bahkan menilai, pertentangan antara UU-PA dengan UU-P, di mana UU-P nomor 1/1974 masih mengizinkan pernikahan anak perempuan dengan usia 16 tahun. Serta adanya dispensasi pernikahan anak dari pengadilan, sebagai bentuk ketidaktegasan negara untuk keluar dari hukum agama.
Masih menurut pegiat moderasi dan gender, jika semua pihak serius mengakhiri perkawinan anak, maka harus siap melakukan perubahan kultur, struktur dan sistem. Artinya pemahaman masyarakat berdasar agama harus menyesuaikan dengan hukum. Ia beranggapan bahwa dalam UU tersebut masih mengandung nilai agama.
Ayat Alquran (QS. Ath –Thalaq:4, QS. An-Nisa:3, 127), As-Sunnah, Ijma’ yang membolehkan adanya pernikahan sesuai kesiapan pelaku pernikahan, menurut mereka dianggap sebagai sumber masalah. Aturan yang bersandarkan pada syari’at Islam dinilai tak mampu menyelesaikan permasalahan manusia.
Bahkan secara nyata, Kemenag menjadikan KUA bukan sekedar tempat pencatatan pernikahan. Namun juga sebagai rumah moderasi. Revitalisasi ini sebagai program prioritas Kemenag dalam agenda penguatan moderasi beragama. Menag berharap, KUA dapat menjadi media dalam menggerakkan praktik moderasi beragama di tingkat kecamatan. Dengan demikian, potensi konflik keagamaan bisa diantisipasi lebih dini. Maka petugas KUA diharapkan memberikan edukasi masyarakat tentang resiko pernikahan di bawah umur.
Aroma pencegahan pernikahan usia dini sangat terasa sebagai bagian dari produk moderasi beragama ini. UU pernikahan yang selama ini mengatur pernikahan di negeri ini dianggap masih mengandung nilai agama sehingga harus diatur ulang.
Syari’at Islam dan penerapannya, bagi sebagian orang, justru dianggap membawa masalah bagi manusia. Dianggap tak mampu menyelesaikan problematika manusia sehingga aturan agama hanya berada pada ranah pribadi. Tak boleh diterapkan secara publik. Maka aturan negara pun tak boleh berdasar pada syari’at Islam.
Inilah hakikat yang diusung dari moderasi beragama, yaitu moderat dalam sikap beragama. Narasi yang dibangun adalah bahwa orang yang moderat adalah yang sepakat dengan pemisahan agama dari kehidupan, memiliki pandangan bahwa semua agama adalah benar dan menerima ide yang diarahkan oleh Barat.
Jelas, jika moderasi beragama ini semakin menguat di masyarakat maka akan sangat berbahaya. Moderasi beragama akan berpengaruh pada cara pandang dan solusi permasalahan yang seharusnya kembali pada syari’at Islam. Namun beralih ke cara pandang sekuler.
Walhasil hal inilah yang mengubah cara berpikir. Misalnya pernikahan dini di atas. Stigma negatif disematkan pada pernikahan dini yang dianggap membawa banyak risiko, sehingga harus dicegah. Meskipun dalam syari’at Islam diperbolehkan. Banyak masyarakat yang sepakat untuk mencegah hingga menggugat pernikahan dini adalah bukti semakin menguatnya moderasi beragama sebagaimana yang diinginkan Barat.
Cara Pandang Islam
Upaya sistem kapitalis sekuler, dalam mengatasi masalah perceraian dan masalah perkawinan, terbukti hanya menyentuh ranah superfisial saja. Namun, hakikatnya adalah semakin menjauhkan aturan agama dari kehidupan.
Upaya yang ditangani adalah dengan menyelesaikan secara kuratif. Tanpa melihat akar permasalahan munculnya perceraian dan akibatnya. Kebijakan yang ditetapkan bahkan hanya sekedar lips service.
Secara mendasar bisa dikatakan bahwa permasalahan perceraian adalah bersumber pada kesiapan kedua pasangan, baik lahir dan batin. Faktor minimnya ilmu agama, kurangnya pengetahuan, kurang kedewasaan, dan masalah ekonomi yang tak terurai, merupakan penyumbang terbanyak dari kasus perceraian. Namun, sistem Kapitalis sekuler justru membuka lebar terjadinya hal tersebut. Karena sejatinya, tidak diterapkannya syari’at Islam adalah sumber permasalahan manusia.
Sehingga terkait moderasi beragama, maka ini adalah narasi yang harus ditolak. Hal ini dikarenakan dalam Islam mewajibkan kaum mukmin untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh) bukan setengah-setengah apalagi mengikuti Barat.
Tidak boleh beriman pada sebagian dalil dan ingkar pada dalil yang lainnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al Baqarah: 208).
Moderasi beragama adalah persoalan politik, yang juga harus dihadapi dengan politik. Melalui sistem politik Islam, yakni penerapan Islam secara kaffah dalam segala lini kehidupan. Maka jelas, solusi mengatasi persoalan moderasi agama adalah dengan tegaknya sebuah institusi Islam kaffah, dan ini harus diperjuangkan.
Melakukan aktivitas dakwah politik Islam, untuk melawan penjajahan yang merupakan keharusan. Melawan ideologi kapitalis sekuler, dan mewaspadai propaganda mereka demi menghadang kebangkitan Islam.
Walhasil, kaum muslimin jangan sampai terbawa arus moderasi beragama. Terlebih bagi pengemban dakwah. Muslim haruslah bisa membaca bahaya moderasi beragama ini.
Wallahu a’lam bishawab
COMMENTS