Menyoal Berbilangnya Imam di Dunia Islam

Pemerintahan Islam

Menyoal Berbilangnya Imam di Dunia Islam

Pada perkembangannya, dunia Islam dalam konteks masa kini, merupakan sebutan untuk berbagai negara yang mayoritasnya berpenduduk muslim. Terdiri dari lima puluh sembilan (59) negara, yang menempati dua benua besar, yakni benua Asia dan Afrika, dengan populasi sekitar satu koma sembilan (1,9) miliar. Semua wilayah atau negara tersebut realitasnya memiliki penguasa atau otoritas masing-masing, dengan paham nasionalisme sebagai batas wilayah sesuai konstitusi yang ada di berbagai negara itu.

Melihat kondisi dunia Islam tersebut, akal kita mungkin bertanya: Apakah Islam memang membolehkan umat Islam memiliki banyak negara dengan penguasa dan pemerintahan masing-masing sebagaimana realitas hari ini? Atau justru Islam mengharuskan umat hanya memiliki satu negara dengan satu penguasa saja bagi seluruh dunia Islam? Jawaban atas pertanyaan krusial ini, akan sangat menentukan sikap kita dalam menilai dunia Islam hari ini.

Dari hasil penelusuran berbagai literatur, baik yang termasuk kategori turats maupun referensi modern, maka bisa disimpulkan ada dua pendapat dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Pertama, berbilangnya imam pada waktu yang sama, hukumnya haram bagi kaum muslimin. Pendapat ini bercabang dua: ada yang mengharamkan secara mutlak dan ada yang mengharamkan disertai pengecualian. Pendapat ini didukung mayoritas kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kedua, berbilangnya imam pada waktu yang sama, hukumnya boleh bagi kaum muslimin. Pendapat ini didukung sebagian kalangan Mu’tazilah seperti al-Jahizh, sebagian aliran Karramiyyah dari Murji’ah pimpinan Muhammad bin Karram as-Sijistani, begitu pula Abu ash-Shabbah as-Samarqandi. Termasuk juga didukung aliran al-Hamziyyah dari Khawarij, az-Zaidiyyah dan ar-Rafidhah dari Syi’ah.

Mendiskusikan Argumentasi

Tentu dua pendapat tersebut memiliki argumentasi masing-masing; hanya saja karena masalah kepemimpinan dunia Islam ini merupakan bagian dari ajaran Islam, sedangkan ajaran Islam bersumber dari wahyu yang melahirkan berbagai dalil syariah, maka standar benar dan salah sangat ditentukan sumber dan kesesuaian argumentasi tersebut dengan syariah Islam itu sendiri. Karena itu, dalam menilai argumentasi, kita tidak akan mengambil perspektif lain, kecuali hanya menggunakan perspektif syariah Islam semata.

Supaya proporsional, kita akan menelusuri argumentasi pihak kedua terlebih dahulu, yang membolehkan berbilangnya imam bagi kaum muslimin. Kurang lebih ada tiga argumentasi pokok yang diajukan pihak kedua ini, sebagai berikut:

Pertama, mereka beralasan mengangkat imam itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan rakyat, yang hanya bisa dicapai dengan benar dan sempurna jika ditangani banyak imam. Jadi, ketika setiap wilayah ada seorang imam, maka setiap imam di wilayah masing-masing, pasti lebih mampu menjalankan tugas jabatan, melayani, memenuhi kebutuhan rakyatnya dan mengawasi para wali, qadhi, ‘amil serta pejabat lainnya. Sebab, masalah dan problem yang muncul sangat minim, akibat sempitnya wilayah kekuasaanya. (Dr. Muhammad Ra’fat Utsman, Riyasah ad-Daulah fi al-Fiqh al-Islami, h. 249).

Kedua, mereka berlogika dengan kasus berbilangnya para nabi pada masa yang sama, yang ternyata tidak membatalkan status kenabian pihak manapun, sehingga bisa ditarik kesimpulan berbilangnya imam pun tentu lebih boleh lagi, terlebih imamah itu turunan dari kenabian.

Ketiga, ada juga yang berasumsi, pada periode konflik antara ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dengan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ditafsirkan pada klimaksnya jabatan imamah telah diboyong kedua belah pihak masing-masing. (Lihat, Al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, I/273).

Benarkah ketiga argumen tersebut mampu menjadi dalil kebolehan berbilangnya imam? Untuk menjawab pertanyaan ini, bisa kita analisis satu per satu, sebagai berikut:

Mengenai argumentasi pertama, bisa kita pahami kalangan ini tidak menggunakan dalil syar’i sedikitpun, namun hanya menggunakan dalil ‘aqli. Padahal benar dan salah, objektif atau tidaknya suatu pendapat, dalam konteks hukum perbuatan, sangat ditentukan kesesuaiannya dengan dalil syariah. Pasalnya, jika suatu pendapat tidak sejalan dengan dalil syariah, maka pendapat tersebut bukan pendapat Islami, yang pada gilirannya bisa disusupi paham di luar Islam, semisal pemikiran sekularisme, yang memisahkan antara agama dan negara, atau pemikiran sosialisme, yang tidak mengakui agama sama sekali lalu menjadikan materialisme landasan dalam bernegara.

Lebih lanjut lagi, ketika berbicara kemaslahatan; Islam menjadikan posisi kepemimpinan bukan demi mewujudkan kemaslahatan dunia semata, justru posisi kepemimpinan itu digunakan untuk menjaga dan merawat kemaslahatan agama yang saling berdampingan dengan menjaga kemaslahatan dunia. Kondisi terjaganya dua kemaslahatan ini tidak akan terwujud dengan berbilangnya imam di dunia Islam. Maka dari itu, seorang imam yang satu akan mampu menguasai seluruh wilayah kaum muslimin dan menjadikannya satu kesatuan dalam urusan agama dan dunia sekaligus, serta memudahkan untuk saling memperkuat ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjelma menjadi kekuatan besar dalam menghadapi musuh mereka. Adapun perihal saling berjauhannya wilayah kekuasaan, hal ini mudah diatasi dengan keberadaan para wali dan wakil yang diangkat oleh imam, yang bertugas menjalankan kebijakan sang imam tersebut. Jadi kesalahan argumentasi pertama terjadi akibat mengabaikan kemaslahatan agama, terlalu fokus kepada kemaslahatan dunia; ditambah lagi berbilangnya imam sudah pasti menghasilkan kerusakan, perang dan sekat di tengah kaum muslimin. (Syaikh Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, al-Imamah al-‘Uzhma’ ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, h. 561).

Mengenai argumentasi kedua, yang menyamakan antara kenabian dan imamah, jelas logika yang tidak setara alias qiyas ma’al fariq. Logika semacam ini salah, karena para nabi itu kalangan ma’shum yang terjaga dari permusuhan di antara mereka. Berbeda dengan para imam atau para penguasa yang berbilang, keadaan mereka sangat berpeluang menghasilkan konflik dan perpecahan, sesuai karekter alami manusia yang memiliki ambisi berkuasa dan saling mendominasi satu sama lain. Jadi point kedua ini sangat mudah sekali dibantah.

Mengenai argumentasi ketiga, yang beranggapan terjadi pembagian jatah jabatan imamah antara ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, sehingga dianggap ada dua khalifah di wilayah masing-masing, tentu ini sebuah kesalahan memahami sejarah. Karena fakta yang sebenarnya tidak seperti itu. Kala itu berdasarkan ijtihadnya, Mu’awiyah menuntut agar ‘Ali menghukum setimpal sekelompok orang pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Namun ‘Ali punya ijtihad tersendiri yang menunda, pasalnya kelompok tersebut masih memiliki kekuatan dan kondisi masih belum kondusif. Ijtihad ini pula yang mencegah Mu’awiyah membaiat ‘Ali, kecuali jika qishash terhadap pembunuh ‘Utsman dilaksanakan. Adapun baiat penduduk Syam terhadap Mu’awiyah hanyalah berupa baiat dukungan atas ijtihad Mu’awiyah yang meminta ‘Ali menghukum pelaku pembunuhan, bukan baiat mengangkat khalifah. Pasalnya Mu’awiyah sendiri tidak mengklaim khalifah, kecuali setelah mundurnya al-Hasan radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga saat ‘perang’ terjadi di antara keduanya, bukan karena perebutan jabatan khilafah, namun saat itu ‘Ali hendak memberhentikan Mu’awiyah, tapi Mu’awiyah menolak diberhentikan dari jabatan wali, kecuali jika pembunuh ‘Utsman ditemukan. Begitulah masing-masing punya ijtihad tersendiri. (Dr. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis, Hiqbah Min at-Tarikh – Ma Baina Wafat an-Nabi Ila Maqtal al-Husain, h. 206-207).

Berdasarkan analisis terhadap tiga argumentasi pokok pihak yang membolehkan berbilangnya imam, maka bisa disimpulkan: (1) Mereka tidak menggunakan dalil syariah, cenderung kepada logika, (2) keliru dalam memahami kemaslahatan dan (3) keliru memahami sejarah, terlebih sejarah bukan sumber hukum Islam. Dengan demikian argumentasi kebolehan berbilangnya imam bagi dunia Islam tertolak.

Setelah mengetahui kekeliruan tersebut, mau tidak mau selanjutnya harus dikaji pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagai pihak yang mengharamkan berbilangnya imam di dunia Islam, baik dari aspek dalil dan turunan pendapatnya.

Memahami Argumentasi Ahlus Sunnah

Kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah baik generasi terdahulu maupun generasi masa kini, secara tegas menyatakan tidak boleh hukumnya berbilang imam, dalam literatur perbandingan madzhab dasar semisal Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah disebutkan:

الإمامة فرض لا بد للمسلمين من إمام يقيم شعائر الدين، لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في الدنيا إمامان لا متفقان و لا مفترقان

Imamah hukumnya fardhu, kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menjalankan seluruh ajaran agama. Tidak boleh bagi kaum muslimin pada waktu yang bersamaan di dunia ini memiliki dua orang imam, baik keduanya bersepakat maupun tidak. (Syaikh Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi al-Utsmani, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-Aimmah, II/458).

Demikian pula Imam al-Mawardi rahimahullah (w. 450 H) menjelaskan:

وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد، وإن شذ قوم فجوزوه

Jika jabatan Imamah diserahkan kepada dua imam di dua negeri, maka jabatan imamah kedua belah pihak tersebut tidak absah, karena umat Islam tidak boleh memiliki dua imam dalam waktu bersamaan, meskipun ada kalangan berpendapat ganjil yang membolehkan hal itu. (Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, h. 10).

Imam an-Nawawi rahimahullah (w. 676 H) berkata:

واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا

Para ulama bersepakat tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam waktu bersamaan, baik negara Islam itu luas wilayahnya ataupun tidak. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, XII/233).

Pendapat haramnya berbilang imam menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, pada perkembangannya terbagi menjadi dua: (1) pendapat mayoritas Ahlus Sunnah yang mengharamkan berbilangnya imam secara mutlak, dan (2) pendapat minoritas Ahlus Sunnah yang mengharamkan berbilangnya imam disertai pengecualian.

Haram Mutlak Berbilangnya Imam

Dalil pendapat mayoritas Ahlus Sunnah ini sangat banyak, baik dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat maupun dalil aqli.

Pertama, sekumpulan dalil ayat al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam bersatu dan melarang berpecah-belah. Semisal surat Âli ‘Imrân (ayat: 103, 105), surat al-Anfâl (ayat: 46) dan masih banyak ayat lain yang semakna. Ayat-ayat tersebut dimaknai sebagai perintah bersatu dan saling melindungi; serta larangan bercerai-berai, berpecah-belah dan berkonflik, akibat dari perebutan kekuasaan dan kegagalan berkuasa. Artinya, ketika imam itu berbilang, maka pasti akan saling mendominasi dan berebut pengaruh, hal ini menyeret perpecahan dan konflik. Namun jika imam itu tunggal, maka kondisi tersebut tidak akan terjadi. Maka dari itu, imam di dunia Islam wajib tunggal tidak berbilang. Karena, kesatuan kaum muslimin tidak akan sempurna tanpa penguasa tunggal, maka penguasa tunggal itu wajib bagi kaum muslimin. (Al-Imamah al-‘Uzhma’ ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, h. 556).

Kedua, sekumpulan dalil as-Sunnah yang tersurat jelas menunjukkan kewajiban satu imam dan larangan berbilang imam pada saat yang bersamaan, misalnya:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim).

Perintah bunuh tersebut menunjukkan haramnya mengangkat dua imam pada waktu bersamaan, karena hukum bunuh hanya berlaku bagi dosa besar yang sangat berbahaya dampaknya. Maka dari itu, diharamkan akad baiat kepada dua orang khalifah pada waktu bersamaan. Tapi memang, ada sebagian ulama menakwilkan hukum bunuh tersebut bukan hakiki, namun dimaknai dengan pemecatan dan penolakan (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, XII/156). Hanya saja takwil tersebut tidak tepat dan terbantahkan dengan hadits berikut:

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Siapa yang membaiat seorang imam, lalu dia memenuhi baiatnya dengan sepenuh hati, hendaklah dia mematuhinya semaksimal mungkin. Bila ada pihak lain yang ingin mengambil kekuasaannya maka penggallah lehernya.” (HR. Muslim dan lainnya).

Dalil lain dari as-Sunnah mengenai kewajiban satu imam dan larangan berbilang imam pada saat yang bersamaan, misalnya:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dulu Bani Israil diurus para nabi, setiap kali seorang nabi wafat diganti nabi selanjutnya. Namun sungguh sepeninggalku tidak ada nabi lagi, tapi akan ada para khalifah yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan untuk kami?’ Beliau menjawab: “Penuhilah baiat yang pertama, hanya yang pertama, lalu berikan hak mereka, karena Allah akan menanyai mereka tentang apa yang mereka pimpin.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ

“Siapa yang datang kepada kalian sementara kalian telah menyepakati seorang pemimpin, lalu ia hendak merusak kesepakatan kalian atau memecah persatuan kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim).

Ketiga, ijma’ sahabat radhiyallahu ‘anhum, pasca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mengenai larangan berbilangnya imam. Kaum Muhajirin kala itu menolak permintaan kaum Anshar di Saqifah Bani Sa’idah, yang menghendaki mengangkat pemimpin dari kalangan masing-masing. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah riwayat berkata:

هَيْهَاتَ أَنْ يَجْتَمِعَ سَيْفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ

“Mustahil dua pedang masuk dalam satu sarung yang sama.” (Riwayat lain menyebut ini merupakan perkataan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu; lihat, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, XII/153; Al-Imamah al-‘Uzhma’ ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, h. 558).

Setelah itu kalangan Anshar menerima pendapat kaum Muhajirin, maka terjadilah ijma’ di kalangan sahabat mengenai larangan berbilangnya imam. Dalam pidatonya saat itu, terdapat ungkapan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang lebih tegas dari sebelumnya:

وإِنَّهُ لاَ يَحِلُّ أن يَكونَ لِلْمُسْلِمِينَ أَمِيرَانِ، فَإِنَّهُ مَهْمَا يَكُنْ ذَلِكَ يَخْتَلِفْ أمرُهُمْ وَأَحْكَامُهُمْ، وَتَتَفَرَّقْ جَمَاعَتُهُمْ، ويَتَنَازَعُوا فِيْمَا بَيْنَهُمْ، هُنَالِكَ تُتْرَكُ السُّنَّةُ وتَظْهَرُ الْبِدْعَةُ وتَعْظُمُ الْفِتْنَةُ، ولَيْسَ لِأَحَدٍ عَلى ذَلِكَ صَلاَحٌ

“Kaum muslimin tidak diperbolehkan memiliki dua pemimpin negara, maka ketika hal demikian terjadi, keadaan dan pemerintahan mereka akan mengalami perselisihan, kesatuan akan terbelah dan diantara mereka saling berebut kekuasaan. Di sanalah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah merajalela dan konflik membesar, serta tiada pihak manapun saat itu yang mendapat kebaikan.” (Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra’, VIII/145).

Mungkin ada yang bertanya, jika memang sudah menjadi ijma’ sahabat bahkan termasuk konsensus Ahlus Sunnah, mengapa masih ada pendapat lain yang berbeda, semisal kalangan yang membolehkan berbilangnya imam secara mutlak, sebagaimana pihak kedua yang sudah kita jelaskan kekeliruan dan kesalahannya. Maka jawabnya, segelintir dukungan terhadap pendapat keliru dan salah yang menyebut bolehnya berbilang imam, tidak sedikitpun berpengaruh terhadap kehujjahan ijma’ sahabat dan tidak juga membatalkan konsensus Ahlus Sunnah. Pasalnya, syariah hanya memandang ijma’ sahabat sebagai dalil syara’, serta konsensus Ahlus Sunnah sebagai rujukan Sunni, dan tidak menuntut lebih dari itu semisal konsensus seluruh kaum muslimin tanpa kecuali yang tentu mustahil.

Terakhir, dalil ‘aqli menyatakan: (1) Berbilangnya imam bagi umat Islam yang satu, menghantarkan pada perselisihan, perpecahan, persengketaan, timbulnya konflik, kekacauan dan kerapuhan, serta tidak harmonisnya urusan agama dan dunia; hal tersebut tentu tidak boleh terjadi. Maka, haram hukumnya imamah lebih dari satu pada waktu yang bersamaan. (2) Demikian, andai dunia dibolehkan memiliki dua imam, maka akibatnya dibolehkan pula semakin banyak imam: bisa tiga, empat, lima dst. Ketika berbilangnya imam dilarang, maka kekuasaannya sejatinya tidak punya landasan bukti dan pengakuannya tidak dilandasi dalil, ini merupakan kebatilan yang bisa dilakukan siapapun. (3) Jika berbilang imam dibolehkan, maka setiap tahun akan muncul seorang imam, setiap kota dan desa muncul seorang imam, atau setiap orang akan menjadi imam dan khalifah di daerahnya; ini semua merupakan kerusakan total, serta kebinasaan bagi agama dan dunia. (Al-Imamah al-‘Uzhma’ ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, h. 559-560).

Haram Berbilang Imam Disertai Pengecualian

Selain pendapat mayoritas Ahlus Sunnah sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, adapula pendapat minoritas Ahlus Sunnah yang melarang berbilangnya imam, akan tetapi disertai suatu kondisi pengecualian. Artinya, ketika ada suatu sebab yang menghalangi kesatuan imam, maka akibat sebab tersebut berbilangnya imam hukumnya menjadi boleh.

Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah (w. 478 H) menjelaskan sebab-sebab penting yang membolehkan pengecualian tersebut: Diantaranya, meluasnya wilayah, surutnya pengaruh Islam di daerah-daerah yang berbeda, kepulauan-kepulauan yang terhalang samudera ganas; kadang ada daerah yang sangat terpencil dihuni penduduk yang tidak terjangkau pengawasan imam; kadang ada pula suatu wilayah di antara wilayah kaum muslim yang jatuh ke dalam wilayah kufur, akibatnya terputuslah perlindungan imam terhadap kalangan yang jauh dari kaum muslimin tersebut. Jika sepakat dengan penjelasan yang sudah kami sebutkan, maka ketika itu kondisinya berubah menjadi dibolehkan mengangkat imam di daerah yang tidak tersentuh pengaruh kebijakan seorang imam. (Ghiyats al-Umam fi at-Tiyats azh-Zhulam, h. 128).

Perkataan imam al-Juwaini tersebut disandarkan pada pendapat gurunya: Abu al-Hasan al-Asy’ari rahimahullah (w. 324 H) dan al-Ustadz Abu Ishaq al-Isfirayini rahimahullah (w. 418 H). Meski Abu Manshur al-Baghdadi rahimahullah (w. 429 H) menguatkannya, namun pendapat tersebut merupakan pendapat lemah karena berbeda dengan pendapat resmi madzhab asy-Syafi’i yang menyebutkan haram mutlak berbilangnya imam.

Imam al-Qurthubi rahimahullah (w. 671 H) pun senada dengan imam al-Juwaini, beliau menyampaikan alasan pengecualian kesatuan imam menjadi boleh berbilang, yang intinya:

لكن إن تباعدت الأقطار وتباينت كالأندلس وخراسان جاز ذلك

Akan tetapi jika berbagai wilayah saling berjauhan dan diluar jangkauan, seperti Andalus dan Khurasan, maka berbilangnya imam itu dibolehkan. (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I/273).

Jika dicermati ulang, pendapat-pendapat yang membolehkan berbilangnya imam ketika wilayah meluas, sebenarnya disebabkan faktor darurat, tidak lebih dari itu. Ini artinya, ketika faktor darurat tersebut sudah diatasi atau sudah tiada lagi, maka berlaku hukum asalnya yakni kesatuan imamah. Berbilangnya imam hanya dibolehkan karena pengecualian yang serius dan alasan darurat yang mengizinkan. Darurat itu sendiri dinilai secara proporsional dan kalau sebab daruratnya hilang, maka hukum asal kesatuan khilafah wajib berlaku kembali.

Hanya saja, jika dibandingkan dengan periode al-Khulafa ar-Rasyidun, di tengah hambatan saluran informasi dan komunikasi yang ada, serta luasnya wilayah pada masanya, yang mana para pemimpin tersebut tetap sanggup mempersatukan dunia Islam. Maka untuk masa kini, di tengah segala kecanggihan sarana informasi, komunikasi dan teknologi yang ada, justru seharusnya upaya mempersatukan kaum muslimin jauh lebih mudah, sehingga alasan darurat luasnya wilayah yang membolehkan berbilangnya imam, jelas sudah tidak relevan lagi.

Terakhir yang sangat penting diketahui, meskipun hukum mengenai kesatuan khilafah ini belum terlaksana pada masa kini, namun hukum tersebut masih tetap ada dan berlaku. Sesuai dengan kaidah yang disampaikan imam al-Mawardi rahimahullah:

ليس إذا وقع الإخلال بقاعدة سقط حكمها

Ketika terjadi penelantaran suatu ajaran agama, bukan berarti hukumnya menjadi gugur. (Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, h. 339).

Demikianlah pembahasan seputar hukum berbilangnya penguasa di dunia Islam, yang kadang dalam literatur para ulama disebut imam, khalifah atau amirul mu’minin. Dengan kajian ini, semoga bisa memberikan jawaban, mana argumentasi yang benar dan mana argumentasi yang keliru seputar tema besar kesatuan dunia Islam yang kini semakin banyak diperbincangkan. Wallahu a’lam.

Yan S. Prasetiadi
10 Muharram 1444 H

COMMENTS

Name

afkar,5,agama bahai,1,Agraria,2,ahok,2,Analysis,50,aqidah,9,artikel,13,bedah buku,1,bencana,23,berita,49,berita terkini,228,Breaking News,8,Buletin al-Islam,13,Buletin kaffah,54,catatan,5,cek fakta,2,Corona,122,curang,1,Dakwah,42,demokrasi,52,Editorial,4,Ekonomi,186,fikrah,6,Fiqih,16,fokus,3,Geopolitik,7,gerakan,5,Hukum,90,ibroh,17,Ideologi,68,Indonesia,1,info HTI,10,informasi,1,inspirasi,32,Internasional,3,islam,192,Kapitalisme,23,keamanan,8,keluarga,50,Keluarga Ideologis,2,kesehatan,83,ketahanan,2,khi,1,Khilafah,289,khutbah jum'at,3,Kitab,3,klarifikasi,4,Komentar,76,komunisme,2,konspirasi,1,kontra opini,28,korupsi,40,Kriminal,1,Legal Opini,17,liberal,2,lockdown,24,luar negeri,47,mahasiswa,3,Medsos,5,migas,1,militer,1,Motivasi,3,muhasabah,17,Musibah,4,Muslimah,87,Nafsiyah,9,Nasihat,9,Nasional,2,Nasjo,12,ngaji,1,Opini,3555,opini islam,87,Opini Netizen,1,Opini Tokoh,102,ormas,4,Otomotif,1,Pandemi,4,parenting,4,Pemberdayaan,1,pemikiran,19,Pendidikan,112,Peradaban,1,Peristiwa,12,pertahanan,1,pertanian,2,politik,320,Politik Islam,14,Politik khilafah,1,propaganda,5,Ramadhan,5,Redaksi,3,remaja,7,Renungan,5,Review Buku,5,rohingya,1,Sains,3,santai sejenak,2,sejarah,70,Sekularisme,5,Sepiritual,1,skandal,3,Sorotan,1,sosial,66,Sosok,1,Surat Pembaca,1,syarah hadits,8,Syarah Kitab,1,Syari'ah,45,Tadabbur al-Qur’an,1,tahun baru,2,Tarikh,2,Tekhnologi,2,Teladan,7,timur tengah,32,tokoh,49,Tren Opini Channel,3,tsaqofah,6,tulisan,5,ulama,5,Ultimatum,7,video,1,
ltr
item
Tren Opini: Menyoal Berbilangnya Imam di Dunia Islam
Menyoal Berbilangnya Imam di Dunia Islam
Pemerintahan Islam
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBrhuRfeBfTbfPsOGQnhP_FVDNYg2bSvUXFEocO9vZUq8Gx6uh9bxPtkqWYBFn1con-xCSMR8b9jyPTt86R6yeRU0u0pW7LJAOSaOvPRjdUT8x8RtAQIomvAYXsxdkp_JXGDONdV6aL950Hw69lV8eMDJ-2KRO5Ne0FuxyX-vDVBJb0kafozgsozyJ/s16000/PicsArt_08-11-01.29.30_compress16.webp
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBrhuRfeBfTbfPsOGQnhP_FVDNYg2bSvUXFEocO9vZUq8Gx6uh9bxPtkqWYBFn1con-xCSMR8b9jyPTt86R6yeRU0u0pW7LJAOSaOvPRjdUT8x8RtAQIomvAYXsxdkp_JXGDONdV6aL950Hw69lV8eMDJ-2KRO5Ne0FuxyX-vDVBJb0kafozgsozyJ/s72-c/PicsArt_08-11-01.29.30_compress16.webp
Tren Opini
https://www.trenopini.com/2022/08/menyoal-berbilangnya-imam-di-dunia-islam.html
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/
https://www.trenopini.com/2022/08/menyoal-berbilangnya-imam-di-dunia-islam.html
true
6964008929711366424
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy