Hukum Nikah beda agama
Oleh : Asha Tridayana | Muslimah Pekalongan
Di dalam Islam, pernikahan dimaknai dengan peristiwa sakral yang mempersatukan dua insan yaitu laki-laki dan perempuan atas dasar menjalankan perintah Allah swt serta sunnah Rasulullah saw untuk menggenapkan separuh agama. Tujuan menikah pun jelas dalam rangka melanjutkan keturunan dan meraih ridho Allah swt. Menikah juga merupakan ibadah sepanjang hidup sehingga dalam memilih pasangan pun harus jelas visi misi dan latar belakangnya.
Namun, seiring perkembangan zaman ketika masyarakat tidak lagi menjadikan aturan agama sebagai standar kehidupan. Peristiwa sakral ini menjadi banyak arti bahkan telah lepas dari tujuannya. Dari yang hanya menganggap menikah sebagai ajang tren dan gengsi sehingga muncul kasus nikah kontrak. Hingga pernikahan yang tetap dianggap sakral tetapi melanggar hukum agama, seperti menikah dengan sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan), menikah tapi berkomitmen tidak memiliki anak. Termasuk juga menikah tetapi beda agama.
Fenomena tersebut telah marak dalam berbagai segmen masyarakat. Sekalipun sejumlah masyarakat menganggapnya hal wajar tetapi tidak sedikit pula yang resah dan khawatir terutama umat muslim. Apalagi di wilayah Surabaya, pemohon nikah beda agama mendapat persetujuan dari Pengadilan Negeri (PN). Hakim membuat putusan dan memerintahkan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya untuk mencatat perkawinan para pemohon setelah dipenuhi syarat-syarat sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Putusan PN Surabaya ini didasarkan pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: (a) perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan (b) perkawinan warga negara asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan warga negara asing yang bersangkutan.
Tentu hal ini menuai komentar dari berbagai pihak. Salah satunya, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Tholabi Kharlie, menanggapi bahwa putusan tersebut akan menjadi preseden lahirnya putusan-putusan serupa. Terbukti bahwa peristiwa nikah beda agama telah terjadi ratusan bahkan ribuan yang mendapatkan legitimasi dari instansi terkait, hanya saja tidak terekspos ke publik.
Seiring berjalannya waktu, pelaku nikah beda agama semakin meningkat dan menjadi sebuah tren dalam masyarakat. Bahkan pelaku tidak segan mempublikasikan diri dengan berbagai cara hingga mendapatkan legitimasi dari instansi terkait. UU Perkawinan yang dibuat negara memungkinkan celah hukum untuk dimanfaatkan para pelaku. Seperti menundukkan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri untuk menghindari kerumitan aturan di negeri sendiri, menikah di bawah payung organisasi non pemerintah (NGOs), hingga ruang-ruang kepentingan administratif kenegaraan yang meniscayakan pencatatan dalam dokumen negara.
Disamping itu, menurut Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se Indonesia ini menganggap perlu menyempurnakan dan sinkronisasi aturan mengenai perkawinan di Indonesia. Karena norma yang terkandung dalam UU Perkawinan sangat subjektif sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan secara beragam. Pada tataran implementasi norma ini dengan sangat mudah ‘disiasati’ agar dapat dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi negara tanpa perlu meninggalkan agama atau kepercayaan asalnya. (https://nasional.sindonews.com 24/06/22)
Tidak dapat dibayangkan fenomena semacam ini semakin meluas apalagi menimpa umat muslim. Aturan agama dapat dilanggar apalagi aturan negara dengan mudah diperdayai. Hal ini terjadi karena aturan pernikahan dan aturan di segala aspek yang dibuat oleh negara tidak berdasarkan aturan Sang Khalik. Justru menjadikan kebebasan sebagai landasan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kondisi ini tumbuh subur dalam pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi liberal. Sistem yang asasnya memang memisahkan aturan agama dari kehidupan, termasuk dalam hal menikah.
Terlebih lagi, penerapan sistem demokrasi liberal menjadikan setiap individu masyarakat tidak mempunyai pondasi keimanan yang kuat. Keberadaan agama hanya sebatas label dan tidak menjadi acuan kehidupan. Bahkan sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam urusan rakyat. Negara hanya sebagai pembuat kebijakan selebihnya diserahkan kembali pada masing-masing masyarakat.
Sehingga tidak dapat dipungkiri jika fenomena nikah beda agama akan terus meningkat bahkan dampak yang ditimbulkan bisa menjadi bom waktu. Terlihat pada kerusakan yang terjadi saat ini, banyak sekali generasi muda yang menghalalkan segala cara agar bisa menikah. Belum lagi, keturunan dari nikah beda agama tidak memiliki nasab yang jelas karena sekalipun menikah tetap menjadi bentuk perzinaan. Pada akhirnya pun kasus perceraian meningkat. Pasangan beda agama tidak memiliki landasan pernikahan yang kokoh sehingga rentan timbul perselisihan tanpa ikatan yang menguatkan.
Sederet sebab dan akibat maraknya peristiwa nikah beda agama ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan perubahan. Baik perubahan individu, masyarakat, apalagi negara yang notabene sebagai pengatur dan bertanggungjawab penuh akan urusan masyarakat. Berawal dari menggali akar masalah yakni penerapan sistem demokrasi liberal kemudian mencari solusi yang mampu menuntaskannya tanpa menimbulkan masalah baru.
Maka cara efektif yang dapat dilakukan tidak lain mencabut akar masalahnya. Mengganti sistem demokrasi liberal dengan suatu sistem baru yakni sistem yang berasal dari Allah swt. Tidak lain sistem Islam, satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan segala persoalan kehidupan, termasuk fenomena nikah beda agama. Karena sistem Islam bukan buatan manusia yang diliputi hawa nafsu dan kepentingan semata. Sehingga aturan yang dihasilkan pun akan menjamin kemaslahatan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Tidak mudah diperdayai dan memiliki mekanisme sanksi yang tegas dan menjerakan.
Disamping itu, ketika sistem Islam diterapkan dalam level negara maka negara mempunyai peran dalam menjaga keimanan dan ketakwaan individu agar tetap kokoh. Negara berkuasa membatasi hal-hal yang mampu merusak akidah umat. Sementara masyarakat pun akan berfungsi sebagai lingkup yang saling beramar ma'ruf nahi munkar. Bukan tipe masyarakat yang acuh dan tidak peduli sehingga terkotak-kotak tanpa kesatuan sebagai umat yang menerapkan sistem Islam.
Kondisi yang saling bersinergi semacam ini hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Meskipun bukan hal mudah tetapi dengan perjuangan dari segenap kaum muslim dan pertolongan Allah swt tentu tidak mustahil. Terlebih tegaknya sistem Islam telah dijanjikan Allah swt sebagai hukum yang shohih. Allah swt berfirman (artinya) : "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah : 50)
Wallahu'alam bishowab.
COMMENTS