honorer kapitalisme demokrasi
Oleh : Rey Fitriyani
Tampaknya, pemerintah tidak main-main dengan wacana penghapusan tenaga honorer pada 2023 yang sudah bergaung sejak 2020 lalu. Penghapusan tersebut guna memberi kepastian bagi instansi tempat tenaga honorer bekerja, baik secara pengeluaran anggaran untuk upah maupun hasil kinerjanya. Pemerintah tidak lagi mempekerjakan tenaga honorer yang jumlahnya cukup banyak karena dikhawatirkan akan menambah angka pengangguran di tanah air. Dari data Kemenpan RB, per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan CASN 2021) jumlah tenaga honorer (THK-II) ada sebanyak 410.010 orang.
Tenaga honorer diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Sejak tahun 2012 lalu hingga saat ini sudah ada sekitar 1 juta orang yang diangkat sebagai PNS. Tentunya mereka adalah yang lolos seleksi dari ratusan ribu tenaga honorer yang ada di instansi pemerintah. Pemerintah juga membuka opsi kepada honorer untuk menjadi tenaga outsourcing apabila instansi tersebut membutuhkan. Sebelumnya Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah kepada CNBC Indonesia meminta pemerintah mengantisipasi tambahan pengangguran, sebab tidak semua honorer bisa menjadi PNS.
Apalagi sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pemerintah menjadi salah satu penentu dalam tingkat pengangguran. Ini terbukti dengan tidak adanya lowongan CPNS maka pemerintah ikut mendorong adanya pengangguran. (CNBC Indonesia 06 June 2022)
Sebagaimana juga yang telah dikemukakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo beliau menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
Tjahjo menjelaskan, selama ini, pekerja honorer bukan direkrut oleh pemerintah pusat, melainkan diangkat secara mandiri oleh masing-masing instansi. Karena itu, sistem perekrutan dan standar gaji pekerja honorer di setiap instansi itu berbeda-beda pula, tak ada satu standar yang sama. Kini, ujar Tjahjo, dengan penghapusan tenaga honorer pada 2023, maka keberadaan pekerja bisa ditata di setiap instansi.
Kendati demikian, instansi tak bisa serta merta mengangkat pegawai honorer menjadi pekerja outsourcing. Pengangkatannya harus sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan masing-masing instansi.
Tjahjo juga mendorong pekerja honorer yang memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi CPNS dan PPPK pada tahun 2022 dan 2023. Sebelumnya, Tjahjo Kumolo menyurati Pejabat Pembina Kepegawaian di semua instansi pemerintah untuk menentukan status pegawai non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II), hingga batas waktu 28 November 2023.
Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Surat ini diteken pada 31 Mei 2022. Tjahjo menerangkan, penghapusan pegawai non-ASN atau honorer ini merupakan amanat UU No. 5/2014 tentang ASN. Penghapusan ini juga mengacu pada Pasal 96 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
"PP No. 49/2018 diundangkan pada 28 November 2018, maka pemberlakuan 5 tahun tersebut jatuh pada tanggal 28 November 2023 yang mengamanatkan status kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu PNS dan PPPK. Dengan demikian, Pejabat Pembina Kepegawaian diamanatkan menghapuskan jenis kepegawaian selain PNS dan PPPK di lingkungan instansi masing-masing, dan tidak melakukan perekrutan pegawai non-ASN (lagi)," kata Tjahjo. (Republika.co.id, Senin 06 Jun 2022)
Padahal bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak ratusan ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan, menimbulkan masalah sosial ekonomi. Kondisi seperti ini juga menunjukkan terjadinya dikotomi, bahkan lebih mengarah kepada pengastaan posisi tenaga kerja, yakni antara ASN (Aparatur Negri Sipil) dan tenaga honorer. Betapa tidak, menilik dari sisi kesejahteraan upah, gaji ASN lebih memadai daripada honorer. Pun secara jaminan masa depan, dua status ini bertolak belakang. Meski pemerintah sudah mengakomodasi sebagian tenaga honorer menjadi PPPK lewat seleksi, tetap saja hal itu masih menyisakan keresahan.
Pasalnya jika wacana penghapusan yang masih banyak menuai protes ini benar terjadi pada 2023, bukan tidak mungkin malah banyak tenaga honorer yang kehilangan mata pencarian mereka karena tidak ada lagi alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk gaji honorer. Rentang waktu seleksi dan teknis penghapusan status pun belum jelas. Apakah mereka diberhentikan semuanya dulu sebagai honorer lalu tes, atau status masih honorer dan boleh ikut tes, artinya kalaupun tidak lulus apakah masih boleh lanjut menjadi tenaga honorer.
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab ketidaksejahteraan upah tenaga honorer adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler, yakni dalam sistem kapitalisme hubungan antara penguasa dan rakyat mendasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas Negara. Sistem kapitalisme menjadikan Negara abai, bahkan terkesan setengah hati dalam memperhatikan tenaga honorer.
Namun berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam Kepala Negara (Khalifah) akan semaksimal mungkin memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk pada para pegawai yang telah berjasa bagi Negara. Berkenaan hal ini Rasulullah Saw. bersabda,
“Seorang Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Prinsip tata kelola urusan umat dalam sistem Islam berlandaskan aturan sederhana, pelayanan cepat, dan profesionalitas pegawai pemerintahan yang menangani urusan tersebut. Negara menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, terkhusus bagi setiap rakyat yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya, dalam hal ini laki-laki. Sementara, untuk menjadi pegawai di departemen, jawatan, atau unit-unit yang ada, negara tidak mematok syarat kompleks. Terpenting, ia memiliki status kewarganegaraan di negara Islam (Khilafah) dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim.
ASN dalam negara Khilafah adalah pegawai negara yang akan mendapat upah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji layak sesuai jenis pekerjaannya. Tidak ada istilah honorer karena rekrutmen tenaga kerja dilakukan sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Selain itu, melalui ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan riayah(pengurusan) oleh negara, para tenaga kerja akan memperhatikan beberapa poin ini.
Pertama, dari sisi tanggung jawab, mereka adalah pekerja. Pada saat yang sama, mereka adalah pelayan/pengurus rakyat. Kedua, dari sisi pelaksana tugas dengan status pekerja tadi, mereka bertanggung jawab kepada kepala jawatan, yaitu direktur jawatan. Ketiga, dari sisi pelayanan atau pengurusan, mereka bertanggung jawab kepada Khalifah, para penguasa, para wali, dan muawin. Para pegawai negara terikat syariat dan peraturan administratif. Gaji pegawai negara diambil dari kas baitulmal, bila kas baitulmal tidak mencukupi, bisa ditarik dari dharibah atau pajak yang bersifat sementara.
Pengaturan demikian menjadikan status ASN bukanlah satu-satunya profesi yang dikejar rakyat. Umat tidak akan terjebak dalam dilema ASN atau bukan, honorer atau tidak. Sebab, ketenagakerjaan dalam Khilafah menganut sistem rekrutmen berbasis pemenuhan kebutuhan, bukan sekadar status.
Sayangnya, kesejahteraan rakyat seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena hanya sistem Islam dalam naungan Khilafahlah kesejahteraan dan rahmatan lil alamin akan tercipta. Wallahu A’lam Bisshawab.
COMMENTS