kesatuan wilayah islam
Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani adalah satu dari sedikit orang Islam di zaman modern yang berpandangan bahwa umat Islam, hingga era ini, tetap harus memiliki kesatuan politik, kesatuan kepemimpinan, satu imam, satu amir, satu sultan, satu khalifah, satu imamah, satu imarah, satu kesultanan, satu khilafah. (ini sekaligus klarifikasi, bahwa menurut beliau, nama itu tak harus satu, yang penting konsepnya, lihat Nizhamul Hukmi dan Syakhshiyyah 2).
Sejatinya, sebelum era modern, pandangan ini adalah pendapat yang normal, lazim, bahkan -di masa lalu- sangat sedikit yang menyelisihinya. Sampai-sampai, pendapat lain terkesan "nyeleneh" alias tidak umum. Bahkan, di antara ulama-ulama yang sering dikutip membolehkan "ta'addudul aimmah", seperti Abu Ishaq al-Isfarayini atau Abdul Qahir al-Baghdadi, (atau yang lebih belakangan, Asy-Syaukani) berpendapat bahwa kesatuan imamah adalah asal, dan tidak boleh ada lebih dari satu imam kecuali adanya sebab-sebab yang menghalanginya.
Sementara itu, abad modern memang beda. Setelah lama menjadi mangsa kolonialisme Barat, Asia-Afrika dilanda demam nasionalisme dan patriotisme. Ketika kolonialisme menjadi sangat ditentang dan tidak populer akibat tren di atas, di antara garis-garis batas yang ditinggalkan oleh Bangsa Barat di Asia-Afrika itulah berdiri negara-negara bangsa modern, termasuk negara-negara di Dunia Islam.
Setelah sekian lama, negara-negara bangsa itu telah mapan dan menjadi kenyataan yang stabil. Dunia Islam bukan hanya tidak menjadi satu, melainkan telah dianggap tidak lazim untuk disatukan, sebab ada anggapan di kepala kebanyakan orang bahwa, "tiap bangsa kan memang punya hak untuk berdiri sendiri sebagai sebuah negara, ngapain disatukan segala..? Ya udah, ini sudah bener, gak usah macam-macam."
Nah, diakui atau tidak, "kenyataan" tersebut ternyata sangat mempengaruhi pandangan populer tentang wajib atau tidaknya kesatuan politik di dunia Islam. Kenyataan itu dianggap fakta yang perlu diacu dalam menentukan hukum. Sehingga, sejumlah ulama berpendapat tidaklah relevan lagi jika umat Islam masih diwajibkan untuk bersatu dalam satu negara.
Kalau menurut Syaikh Taqiyyuddin, fakta ketidaksatuan di abad modern ini sejatinya bukan kemestian yang dikehendaki oleh faktor-faktor deterministik yang tak bisa ditolak oleh manusia sehingga hukum Islam harus disesuaikan dengan kondisi yang memaksa itu. Sebab, kesatuan politik umat di abad modern tidak dihalangi oleh faktor geografis dan hal teknis lainnya yang tak bisa diapa-apakan lagi. Bahkan, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi sekarang ini justru memberi beribu-ribu kali kemudahan dalam menyatukan negeri-negeri Islam dibanding apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khathab ra dalam menyatukan wilayah Islam yang luas pada masanya.
Faktanya, kesatuan politik itu hanya dihalangi oleh:
1. Paham nasionalisme yang membuat sejumlah umat Islam "mengharamkan diri mereka" untuk bersatu secara politik. Mereka takut kehilangan jati diri, alias apa yang mereka anggap seabgai hakekat diri mereka, yaitu kebangsaan mereka, ketika mereka tidak lagi memiliki entitas politik yang mengejawantahkan kedaulatan bangsa itu.
2. Kemalasan, ketakutan dan kebutuan pikiran untuk melakukan perubahan.
Ada lagi faktor lainnya...??
Apakah hukum yang dipandang kuat, didukung pendapat mayoritas ulama dan didasarkan pada dalil-dalil yang jelas perlu disesuaikan dengan tren nasionalisme yang telah berhasil menciptakan ketidaksatuan, kalau tidak dikatakan keterpecahan, di Dunia Islam itu?
By : Ramane Ranu
COMMENTS