Pemekaran papua
Oleh: Laily Ch. S.E (Aktivis Muslimah)
DPR menargetkan pengesahan 3 Rancangan Undang-Undang Pemekaran Papua pada Juni 2022 mendatang. Menurut Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Muhammad Rifqinizamy Karsayuda atau biasa disapa Rifqi, pengesahan ditargetkan Juni 2022 agar 3 provinsi baru tersebut bisa ikut Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Pasalnya, setiap daerah otonomi baru, maka daerah tersebut memiliki daerah pemilihan tersendiri yang perlu diatur dengan cepat sehingga bisa menyesuaikan dengan tahapan Pemilu Serentak 2024.
Rifqi mengatakan, 3 RUU Provinsi Pemekaran Papua sudah disahkan DPR sebagai RUU usulan inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada 12 April 2022. DPR sedang menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk segera membahas 3 RUU tersebut, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah (Lapago).
Senada dengan itu, Ketua Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul mengatakan, target pengesahan Juni 2022 karena dikaitkan dengan anggaran dan tahapan Pemilu Serentak 2024. Pasalnya, pembahasan anggaran dan pelaksanaan tahapan pemilu sudah dimulai pada Juni 2022. Menurut dia, jika melewati waktu tersebut, maka faktor pendorong pembentukkan 3 provinsi mulai berkurang. (Beritasatu.com, 12/4/2022)
Ketua DPR RI Puan Maharani juga mendukung rencana pemekaran wilayah tiga provinsi baru di Papua ini. “Penambahan provinsi di Indonesia bagian timur dimaksudkan untuk mempercepat pemerataan pembangunan di Papua dan untuk melayani masyarakat Papua lebih baik lagi,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Parlementaria. Politisi PDI-Perjuangan itu menambahkan, pemekaran wilayah di Papua juga bertujuan agar ada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua. Dengan penambahan provinsi, Puan berharap Papua bisa semakin maju. “RUU yang mengatur pemekaran 3 wilayah baru ini juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua,” ucapnya. (Dpr.go.id, 8/4/2022)
Demi Kepentingan Siapa?
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menilai RUU pemekaran Papua ini cacat hukum. Menurutnya, DPR di satu sisi menjadikan pasal 76 ayat 2 UU 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua sebagai acuan. Namun, di sisi lain mereka melupakan, bahwa pasal itu juga mensyaratkan adanya aspirasi masyarakat Papua. “Di sini secara tegas dan secara terang benderang, mereka mengabaikan frasa aspirasi masyarakat yang ada dalam redaksi pasal 76 ayat 2. Indonesia kan negara hukum. Akan sangat tidak logis dan tidak berdasar hukum, apabila perumusan RUU yang cacat hukum itu dipertahankan,” ujar Gobay.
Selain mencemarkan pamor lembaga legislatif, karena khawatir dunia internasional akan menyangsikan kualitas legislator dalam menyusun kebijakan tanpa mengikuti aturan yuridis yang berlaku, Gobay berpendapat bahwa jika RUU ini diteruskan akan menunjukkan bahwa UU Otonomi Khusus Papua, dalam konteks perumusan kebijakan pemekaran, bersifat anti demokrasi.
Masyarakat Papua sendiri menggelar sejumlah aksi demonstrasi penolakan pemekaran di sejumlah tempat. Di Jayapura dan Manokwari aksi berlangsung pada 8 Maret 2022, disusul di Wamena pada 10 Maret. Berlanjut ke Paniai pada 14 Maret, Yahukimo pada 15 Maret, Lani Jaya pada 30 Maret, Nabire pada 31 Maret. Sementara Sorong, Merauke, Kaimana dan Jayapura serentak berdemo pada 1 April lalu. Sikap penolakan pemekaran ini menjadi bukti bahwa perumusan RUU pemekaran Papua anti demokrasi.
Sementara itu Fraksi Partai Demokrat menyampaikan pandangan fraksinya meminta agar aspirasi rakyat Papua dalam hal ini diperhatikan. Selain itu melihat biaya pemekaran yang triliunan rupiah, juga harus menjadi pertimbangan, seperti disampaikan juru bicaranya, Debby Kurniawan. (Voaindonesia, 13/4/2022)
Demikian pula Amnesty International Indonesia (AII) menilai tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait pemekaran wilayah di Papua adalah kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid, pemekaran wilayah adalah keputusan yang sangat strategis di dalam memastikan perlindungan hak-hak orang asli Papua (OAP). Oleh karena itu, pemekaran wilayah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, harus atas persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP).
Usman menerangkan, penyelenggaraan Otsus di Papua dibentuk oleh MRP yang merupakan representasi kultural OAP. “Karena itulah pemekaran wilayah yang dilakukan tanpa Majelis Rakyat Papua, tanpa persetujuan dari lembaga representasi kultural ini, merupakan sebuah pelanggaran terhadap otonomi khusus," tegas dia.
Secara keseluruhan, tutur Usman, kalau melihat dari skala nasional, tengah terjadi pemusatan lagi kendali pemerintahan daerah ke tangan pemerintahan pusat. Termasuk UU Cipta Kerja yang kelihatan sekali ingin menarik Papua ke Jakarta. Dia mencontohkan secara umum, misalnya dalam urusan perizinan usaha. Banyak sekali perizinan usaha yang sekarang ini tidak lagi bisa langsung melalui pemerintah daerah (pemda), melainkan harus lewat pemerintah pusat. (Tirto.id, 12/04/2022)
Persoalan Lama Belum Tuntas
Telah jamak diketahui bahwa persoalan keamanan di Papua hingga hari ini belum mampu diselesaikan dengan baik oleh pemerintah pusat. Keberadaan KKB OPM sebagai kelompok bersenjata yang terus menerus membuat teror bahkan menghilangkan nyawa baik dari kalangan sipil maupun militer bahkan kalangan nakes sama sekali tidak dipandang oleh pemerintah pusat sebagai sebuah ancaman yang harus segera diberi tindakan tegas.
Telah nyata aktivitas KKB OPM sudah terkategori bughat (pemberontak). Mereka telah mengangkat senjata dan bertahan di suatu tempat tertentu, serta memiliki kekuatan militer tertentu yang melawan negara. Namun label teroris pun tidak diberikan kepada mereka. Bahkan salah seorang pejabat menyatakan bahwa KKB OPM adalah saudara kita jadi seharusnya kita rangkul. Sungguh pernyataan yang sangat aneh. Mengingat apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap terduga teroris saja sangat tegas bahkan langsung baku tembak hingga nyawa terduga teroris tersebut melayang tanpa ada peradilan yang membuktikan apakah mereka benar-benar teroris. Sedangkan keberadaan KKB OPM ini telah nyata meresahkan dan mengancam kedaulatan tapi pemerintah sangat lamban hingga terkesan membiarkan. Jelas menunjukkan adanya kepentingan politik tertentu baik pembiaran KKB OPM terus eksis maupun 3 RUU Provinsi Pemekaran Papua.
Mengapa tidak menuntaskan dan menghentikan kekerasan OPM dan menyejahterakan rakyat Papua dengan pembangun berbasis rakyat bukan berbasis korporasi? Semua ini menegaskan paradoks rezim demokrasi yang lebih mementingkan penyelamatan dan peningkatan perolehan kursi dibanding fokus pada penyelamatan kedaulatan, nyawa dan penciptaan keamanan serta kesejahteraan.
Pemekaran Wilayah Dalam Islam
Wilayah negara Islam adalah wilayah yang dinamis. Adanya kewajiban dakwah dan jihad dalam islam telah mampu menjadikan wilayah islam semakin luas. Futuhat atau pembebasan yang dilakukan oleh pasukan islam menjadikan wilayah islam hampir mencapai 2/3 dunia.
Perluasan wilayah dalam konsep penaklukan (futuhat) dan jihad jauh berbeda dengan penjajahan ala Barat. Futûhât dan jihad di dalam Islam telah memberikan berbagai kebaikan kepada umat manusia. Penerapan aturan Islam yang adil kepada masyarakat yang ditaklukkan membuat mereka (yang ditaklukkan) tidak pernah merasa berbeda dengan yang menaklukkan mereka. Pasalnya, Khilafah Islam memberikan jaminan kebutuhan pokok, kesejahteraan dan keamanan yang sama bagi seluruh warganya; tanpa melihat apakah dia merupakan rakyat yang ditaklukkan atau tidak. Mereka sama-sama hidup sejahtera di bawah naungan Islam.
Pada umumnya, rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan menjadi pembela Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan para pejuang Islam yang membela agamanya. Kalau Islam dianggap penjajah, barbar, menumpahkan darah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkannnya?
T.W. Arnold menuturkan bagaimana ketika Konstantinopel yang merupakan pusat Kristen Ortodox ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II: “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian Pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil,” (The Preaching of Islam).
COMMENTS