sistem pendidikan dalam islam
Oleh: Umi Fia ( Aktifis Muslimah Peduli Umat).
Sejak dilakukan uji publik revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tidak mencantumkan kata madrasah, telah menuai banyak kritik dan protes dari berbagai pihak. Walaupun Mendikbudristek Nadiem Makarim beserta Menag Yaqut Cholil Qoumas telah turun tangan untuk menjelaskan folemik ini. Namun sebagian pihak yang terkait, telah terlanjur menduga bahwa penghapusan kata madrasah merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melemahkan keberadaan madrasah dengan menghapus legal standing madrasah sebagai lembaga pendidikan formal di negeri ini.(liputan6.com, 31/3/2022)
Kemendikbudristek kembali mendapat sorotan publik. Terkait penyusunan draf awal RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tidak mencantumkan kata madrasah.
Meski akhirnya berencana direvisi, tetapi RUU ini kadung menggelinding bak bola panas. Sebagian masyarakat berpandangan, pihak pemerintah, terutama Kemendikbudristek tidak menganggap penting perasaan dan aspirasi umat Islam.
Bahkan penghapusan kata madrasah pada draf awal RUU Sisdiknas seakan menjadi test the water untuk mengukur respons umat Islam yang mayoritas. Ketika ternyata memunculkan kontroversi, pemerintah pun buru-buru merevisi. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka sangat akomodatif terhadap masukan dari masyarakat.
Ketua Tanfidzyah PBNU, Ahmad Fahrurrozi mengusulkan agar pondok pesantren dan madrasah masuk dalam draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang kini tengah digodok oleh Kemendikbudristek.
Hal itu ia sampaikan merespons polemik draf RUU Sisdiknas yang menghapus frasa madrasah dan sejumlah satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar serta menengah.
Sebagaimana diketahui, dalam UU Sisdiknas tahun 2003 yang saat ini berlaku, kata Madrasah tertulis dengan jelas pada Ayat 2 Pasal 17 tentang Satuan Dasar Pendidikan. Ayat itu berbunyi “Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.”
Adapun draf awal RUU Sisdiknas hanya menyebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar dilaksanakan sebelum jenjang pendidikan menengah. Jenjang ini dilaksanakan melalui sub Jalur Pendidikan persekolahan, Pendidikan persekolahan mandiri, atau Pendidikan kesetaraan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo sempat menyatakan bahwa kata madrasah memang tidak dicantumkan lewat pasal dalam draf awal RUU Sisdiknas. Akan tetapi di bagian bawah atau bagian penjelasan, nama satuan pendidikan madrasah ini dicantumkan bersama nomenklatur satuan pendidikan lainnya.
Hanya saja, berbagai pihak memandang penghapusan nama madrasah dalam draf pasal-pasal RUU Sisdiknas justru dikhawatirkan akan menimbulkan problem baru. Antara lain, mempertajam dikotomi sistem pendidikan nasional, memperlebar kesenjangan mutu pendidikan, dan memicu disintegrasi bangsa.
Terlebih, tak dipungkiri jika selama ini madrasah seringkali dipandang dengan sebelah mata. Madrasah ‘hanyalah’ sekolah bagi masyarakat kelas bawah. Kualitas pendidikannya rendah, sarana prasarana apa adanya, dan kualifikasi lulusannya pun alakadarnya.
Realitasnya memang demikian. Madrasah memang diakui sebagai salah satu sarana penting pendidikan formal masyarakat hingga keberadaannya diakui dalam UU Sisdiknas 2003. Namun perhatian pemerintah tampak tidak sebagaimana perhatian mereka pada satuan pendidikan formal lainnya.
Terbukti aturan yang ada menempatkan madrasah pada situasi yang sulit untuk berkembang dibandingkan satuan pendidikan lainnya. Khususnya, aturan menyangkut sumber dana bagi pengembangan sarana prasarana, serta penyediaan unsur-unsur penting pendidikan seperti tenaga guru berkualitas dan yang lainnya.
Wajar jika banyak pihak berharap aturan terbaru akan memperkuat posisi madrasah. Sekaligus memperkuat integrasi sekolah biasa dengan madrasah. Namun, alih-alih menguatkan, pemerintah melalui Kemendikbudristek justru melemahkan dengan menghapus penyebutannya dalam UU.
RUU ini juga dibuat untuk mengharmonisasi tiga UU yang mengatur sistem pendidikan nasional. Yakni UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Ketiga UU ini dinilai saling tumpang tindih dan tidak relevan lagi dengan perkembangan situasi dan arus modernisasi. Melalui upaya harmonisasi ini, pihak pemerintah berharap Indonesia akan memiliki satu aturan tentang sistem pendidikan nasional. Sekaligus memiliki payung hukum terhadap berbagai inovasi sektor pendidikan, demi merespon dan mengantisipasi perubahan.
Masalahnya, problem RUU ini sebenarnya bukan sebatas soal harmonisasi. Kritik terhadapnya pun tidak boleh dibatasi hanya pada soal teknis legalisasi atau pada hal-hal cabang lainnya. Seperti apakah RUU mengakomodasi kepentingan semua pihak atau tidak. Termasuk apakah kata madrasah ini dihapus atau tidak.
Sesungguhnya ada hal paradigmatis yang lebih penting untuk dikritisi. Yakni soal spirit RUU yang tampak hanya fokus pada aspek fisik dan pertimbangan soal kemajuan material semata. Sementara persoalan mendasar dari sistem pendidikan nasional, berikut problem-problem yang muncul darinya justru tidak menjadi prioritas.
Sejatinya, persoalan pendidikan bukan semata soal ketertinggalan di bidang teknologi dan bagaimana menjawab tantangan persaingan di era global. Akan tetapi bagaimana pendidikan bisa memelihara fitrah manusia agar senantiasa ada dalam kebaikan di tengah ancaman krisis moral akibat dominasi budaya sekuler dan liberal yang menghancurkan sisi-sisi kemanusiaan.
Sehingga cita-cita pendidikan bangsa ini yang bertujuan untuk membentuk karakter generasi bangsa berdasarkan iman dan takwa akan semakin sulit diraih. Mengingat sistem pendidikan saat ini menerapkan sistem pendidikan sekuler sebagai peta jalan pendidikan, sehingga cenderung melahirkan generasi yang berkarakter makin sekuler.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat terhadap tujuan dan cita-cita utama pendidikan yang harus diwujudkan. Yaitu mengembalikan fitrah generasi pada spirit dan paradigma Islam agar tetap menjadi muslim yang taat kepada Allah SWT di tengah-tengah gempuran budaya sekuler liberal, yang telah menghadang kebangkitan Islam menuju umat terbaik di alam semesta ini.
Kita harus terus berupaya menjadi ‘uyunul ummah yang terus berusaha menjadi mercusuar umat. Untuk membimbing penguasa dan umat meraih keberhasilan pendidikan. Sebab keberhasilan pendidikan sebuah negara tergantung kepada sistem pendidikan yang diterapkan. Apalagi di negeri ini masyarakatnya adalah mayoritas muslim. Sudah selayaknya sistem yang di terapkan adalah sistem pendidikan Islam. Yang telah terbukti sejak jaman Rasulullah saw. sampai masa kegemilangannya di masa kekhilafahan Abbasyiah telah mampu mewujudkan tujuan dan cita-cita pendidikan berdasarkan tujuan keagamaan. Yang menjadikan aktivitas mengajar dan belajar semata-mata karena Allah dan mengharapkan keridaan Allah SWT. Sehingga gelar umat terbaik yang Allah SWT sematkan kepada umat Islam akan segera terwujud. Allah SWT berfirman di dalam surat Ali Imran ayat 110,
{ كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ }
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik“ (QS. Ali ‘Imran: 110).
Wallahu a’lam bishshawab.
COMMENTS