hukum membunuh begal
Oleh : Hani Handayani, A.Md
Bulan suci tidaklah membuat hati para pembegal menghalangi niat jahat mereka untuk melakukan kejahatan. Kali ini nasib naas dialami Murtede alias Amaq Sinta (34) yang sedang berkendara motor seorang diri saat diadang empat begal di Jalan Raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (10/4/2022) dini hari sekitar pukul 24.00 Wita. Dihadang empat orang begal yang membawa senjata tajam dan mengancam nyawanya, demi melindungi dirinya dari serangan para pelaku begal, Amaq Sinta melakukan perlawanan hingga menyebabkan dua begal tewas.
Kasus ini pun menjadi viral, saat Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan yang dilakukannya kepada pembegal. Masyarakat banyak menyayangkan penetapan tersangka kepada Amaq Sinta karena ada kejanggalan. Oleh karena itu, berdasarkan perkembangan terakhir, Amaq Santi akhirnya dibebaskan dari tahanan Kepolisian Resor (Polres) Lombok Tengah, setelah keluarga mengajukan permohonan penangguhan penahanan.
Bila menilik kasus ini, apa yang dilakukan Amaq Sinta hannyalah untuk membela diri dari serangan para begal. Dia tidak akan membunuh bila nyawanya tidak terancam. Dimana para pelaku menggunakan senjata tajam untuk menyerang untuk mendapatkan kendaraan roda dua yang dibawanya. Demi menyelamatkan diri, satu-satunya cara yang bisa dilakukan yakni melawan hingga menyebabkan dua begal tewas.
Hukum yang diterapkan di negeri ini membuat ambigu, lihat saja status tersangka Amaq Sinta yang menewaskan pembegal di dalam KUHP dikenal dengan OVermacht . Pakar Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram Samsul Hidayat, Menyatakan seseorang yang disangkakan melakukan tindakan pidana harus didasarkan pada tindakan pidana.
Menurut Samsul melihat kasus ini maka tindakan Amaq Sinta belum bisa dikatakan tindakan pidana. Benar bila berdasarkan rumusan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, tetapi dia memiliki alasan penghapusan pidana, bisa berupa alasan pembenaran atau alasan pemaaf, misalnya membela diri secara terpaksa. Hal ini diatur dalam pasal 49 KUHP tentang alasan penghapusan pidana.
Menurutnya, berdasarkan perspektif Ilmu Hukum Pidana, seseorang bisa ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana jika memenuhi dua syarat. Pertama, melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang pidana. Kedua, tidak ada alasan penghapus pidana pada diri pelaku, kompas.com (15/4/2022).
Pandangan Islam
Fikih Islam memandang, kejahatan begal diistilahkan dengan hirabah yang diartikan sekelompok manusia yang membuat keonaran, pertumpahan darah, merampas harta, merampas kehormatan, merampas tatanan, serta membuat kekacauan di muka bumi. Sementara dalam kitab Fathu al-Qarib al-Mujib, Abu Syuja’ menyebutnya degan qath’u thariq dengan definisi yang sama. Juga masuk definisi qath’u thariq para pengganggu jalanan walau hanya sekadar menakut-nakuti.
Tetapi, jika perbuatan mengambil harta dilakukan tanpa menggunakan senjata dan sembunyi-sembunyi, tidak dikatakan perbuatan begal, melainkan tindakan pencurian yang berbeda hukumannya dengan pembegalan (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Saat ini nikmat rasa aman dan damai dari tindakan kejahatan sangat langka, sistem saat ini membuat manusia-manusia hilang akal sehat dan imannya, demi memuaskan kebutuhan dunia sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Terlebih hukuman yang diberikan kepada mereka tidak menimbulkan efek jera, alhasil kejahatan begal ini terus berulang.
Sementara Islam sangat tegas dalam memberikan sanksi kepada para pelaku yang membuat kerusakan di muka bumi ini, sebagai firman Allah SWT, yang artinya “Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara menyilang, atau dibuang dari muka bumi. Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33).
Maka pendapat para ulama terkait ayat ini ada tiga: Pertama, Negara akan menentukan pelaku apakah akan dibunuh tanpa disalib, dibunuh dan disalib, dipotong tangan dan kaki secara menyilang atau dibuang dari negerinya, (Pendapat Said bin Musayyib, Mujahid, Atha, dan Ibrahum An-Nakha’i)
Kedua, Negara akan menghukum pembegal sesuai sifatnya, dimana pimpinan yang merupakan dalang komplotan yang mengatur, membuat rencana atas kejahatannya, dia akan dibunuh tanpa ada maaf, laku di eksekusi potong tangan dan kaki secara menyilang. Sementara begal yang hanya sebagai pelaksana bukan dalang dibuang dari negeri dan dipenjara, (Pendapat Imam Malik bin Anas dan para ahli fiqih Madinah).
Ketiga, negara akan menghukum pembegal sesuai aksi yang dilakukan, bukan sesuai sifat pembegal. Maka pelaku yang membunuh sekaligus mengambil harta dibunuh dan disalib, yang membunuh tanpa mengambil harta dibunuh tanpa disalib, yang mengambil harta tanpa membunuh dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, yang ikut serta membegal untuk menakut-nakuti korban tanpa membunuh tanpa mengambil harta dihukum menurut kebijakan pemerintah (ta’zir). (Pendapat Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qotadah, As-Sudy, dan Imam As-Syafi’i rahimahumullah).
Hukum Islam
Dimasa Rasulullah pun kasus begal pernah terjadi dan ditanyakan sahabat sebagai diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?” Beliau bersabda, “Jangan kau beri padanya.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?” Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.”“Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya.“Engkau dicatat syahid”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”, ia bertanya kembali. Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140).
Inilah ketika hukum Islam yang dipakai dalam menyelesaikan kasus begal, maka bila memakai kacamata Islam, kasus Amaq Sinta akan dapat diselesaikan dengan tidak menjadikannya sebagai tersangka, karena itu adalah bentuk perlawanan diri hal ini pun telah ditegaskan Rasulullah.
Maka, seyogianya hukum Islamlah yang mampu menyelesai berbagi persoalan kejahatan saat ini, agar para pelaku tidak terus bertambah dan mengulangi kejahatannya dan masyarakat mendapatkan rasa aman ketika mereka beraktivitas di luar rumah.
Wallahu a’lam
COMMENTS