vaksin booster syarat mudik
Oleh : Habiba Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Vaksinasi booster bagi masyarakat, telah diwajibkan oleh pemerintah bagi yang ingin mudik di hari raya Idul Fitri 2022. Sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada konferensi pers secara virtual (23/03/2022) bahwa syarat mudik lebaran adalah jika telah mendapatkan vaksinasi dua dosis dan satu dosis vaksin booster. Jika pemudik baru mendapatkan dosis pertama maka harus menunjukkan tes PCR yang hasilnya negatif, sedangkan jika sudah vaksin dua kali maka harus menunjukkan tes antigen negatif.
Berbeda dengan persyaratan di ajang nasional sebelumnya, sebut saja di acara MotoGP. Di acara tersebut, pembalap dan kru yang terlibat hanya perlu menunjukkan bukti vaksinasi pertama dan kedua tanpa harus pemeriksaan swab sebagaimana pemudik. Juga tidak disyaratkan harus sudah selesai vaksinasi boster. Wajar, jika hal ini menuai berbagai protes dari masyarakat dan beberapa pejabat.
Menanggapi protes tersebut, Pak Jokowi melarang membandingkan antara persyaratan mudik dengan MotoGP. Alasannya, jumlah pemudik jauh lebih banyak dari penonton MotoGP. Jokowi mengatakan, “Tidak boleh membandingkan dengan acara-acara yang lain, acara misalnya MotoGP yang 60 ribu. Tidak bisa 60 ribu dibandingkan 79 juta sehingga penanganan harus hati-hati.”
Padahal, secara ilmu kedokteran, penularan akan terjadi jika ada kontak erat dengan durasi yang lama dan ventilasi ruangan yang kurang baik. Selain itu, hanya butuh kontak dua orang untuk terjadi penularan. Maka, siapa saja yang kontak erat meskipun tampak sehat akan bisa menularkan kepada orang lain, baik itu jumlahnya sedikit ataukah banyak.
Anehnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi justru membela pernyataan Presiden. Siti mengatakan bahwa MotoGP sebagai kerumunan, sedangkan mudik sebagai mobilitas yang bersamaan sehingga prasyarat vaksinasi perlu diperketat. Padahal keduanya memiliki satu kondisi yang mirip. Kerumunan juga berpotensi menyebabkan penularan.
Selain itu, Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito juga mengatakan bahwa salah satu alasan pemerintah memberlakukan prasyarat vaksin booster adalah untuk meningkatkan capaian vaksinasi Covid-19 di daerah. Padahal, ketersediaan vaksin boster juga belum merata, selain juga harus disesuaikan dengan jenis vaksin sebelumnya. Pantas, jika banyak masyarakat yang masih mengeluhkan untuk bisa mendapatkan vaksinasi boster secara mudah.
Belum lagi ada syarat jarak waktu antara vaksin kedua dengan booster, yaitu minimal tiga bulan. Sedangkan peraturan vaksin booster untuk syarat mudik ini baru diumumkan sekitar sebulan sebelum lebaran. Sebagaimana data Kemenkes per Kamis (24/3/022) ketika peraturan itu diumumkan, baru 8,71% masyarakat Indonesia yang sudah menerima vaksin booster. Artinya, 91,29% penduduk Indonesia tidak memenuhi syarat mudik jika jarak vaksin kedua mereka kurang dari tiga bulan.
Di sisi lain secara ekonomi, peraturan ini pun sangat memberatkan. Bagi masyarakat yang belum memenuhi syarat mendapatkan vaksin booster, mereka harus melakukan tes antigen ataupun PCR. Meskipun harganya sudah turun, jumlah tersebut masih sangat besar bagi sebagian besar rakyat Indonesia di kalangan menengah ke bawah. Tentu saja akan menambah ongkos perjalanan mudik terlebih di tengah lonjakan harga BBM dan kebutuhan pokok rakyat.
Ada dua hal yang setidaknya bisa kita soroti dari kebijakan ini. Pertama, Sebagai pemerintah seharusnya bersikap adil dan konsisten dalam menerapkan kebijakan. Yang kedua, sebagai penguasa dari negeri yang mayoritas muslim harusnya lebih mengutamakan untuk memberikan kemudahan daripada mempersulit umat Islam. Terlebih, di beberapa kondisi memang sering adanya ambivalensi ketika menyangkut kepetingan umat Islam selain masalah mudik. Contoh saja, dipebolehkannya konser musik ketika pengajian justru dilarang. Pelarangan adanya sholat idul Fitri, Idul Adha dan penyembelihan korban sedang di lain pihak pemilihan pemimpin daerah tetap digelar.
Patutlah dipertanyakan, mengapa alasan vaksin dan swab tersebut justru mencuat ketika terkait dengan kepentingan umat Islam? Seolah hanya umat Islam yang dapat menularkan covid-19? Adanya kebijakan yang inkonsisten sebenernya bukan hal yang pertama, namun sejatinya sudah terus berulang. Namun, sekali lagi haruskah hal ini akan dipertahanakan? Padahal, inkonsistensi kebijakan ini lah yang menyebabkan masyarakat apatis, bahkan abai terhadap setiap kebijakan protokol kesehatan yang ditetapkan.
Tak bisa dipungkiri, kebijakan yang sering ambivalen dan inkonsisten adalah buah dari penerapan sekulerisme. Sekaligus menjadi potret suram dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini menjunjung tinggi asas kebermanfaatan, sehingga keputusan yang lebih menguntungkan yang akhirnya diberlakukan. Termasuk untuk menyelesaikan pandemi bukan untuk menyelamatkan nyawa tetapi tetap pertimbangan ekonomi yang diutamakan.
Demikianlah, salah satu fakta bagaimana kapitalisme telah menimbulkan diskriminasi, terutama bagi umat Islam. Seharusnya bisa membuka mata umat Islam untuk kembali kepada sistem kehidupan yang adil dan menyejahterakan. Sebuah kemaslahatan yang terwujud dari adanya aturan dari Rabbnya manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq)
Penanganan wabah bukanlah penanganan medis praktis semata, namun berkenaan dengan arah pandang manusia terhadap kehidupan. Kapitalisme memandang denagn aspek ekonomi sedang Islam memandang betapa berharga satu nyawa manusia sehingga penanganan wabah harus dengan langkap yang cepat, tepat dan mencegah adanya penyebarannya hingga seperti kondisi saat ini. Strategi penanganan wabah dalam sistem kehidupan Islam sangat komprehensif dan terbukti berhasil. Hal ini karena didukung sistem ekonomi Islam yang handal dan sistem politik Islam termasuk berkenaan dengan kebijakan publik yang mengutamakan kemaslahatan ummat.
Maka marilah momen perubahan dalam Ramadan 1443 H ini kita manfaatkan untuk melakukan perubahan mendasar dengan mengambil sistem kehidupan Islam secara totalitas. Dengan penerapam Islam secara kaffah dalam seluruh sendi kehidupan maka Insya Allah akan ada kemaslahatan dan keberkahan di dalam negri ini. Wallahu alam bi showab
COMMENTS