penceramah radikal
Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pengarahan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Selasa (1/3/2022) membuat kehebohan di tengah masyarakat. Di situ, Jokowi mengingatkan kepada para istri-istri personel TNI dan Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal dengan mengatasnamakan demokrasi. Jokowi juga mengingatkan bahwa istri-istri para personel juga termasuk dalam tubuh satuan sehingga kedisiplinannya berbeda dengan kedisplinan masyarakat sipil. Oleh karena itu, perlu adanya koordinir oleh kesatuan, termasuk dalam hal mengundang penceramah.
Ditambah lagi dengan pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, pada Minggu (6/3/2022) bahwa apa yang disampaikan Jokowi sudah tepat karena paham-paham radikal saat ini jika diibaratkan dengan kanker, sudah sampai pada tahap stadium empat jadi perlu tindakan yang tegas agar tidak menyebar.
Kehebohan berlanjut dengan tersebarnya daftar nama penceramah yang dinilai radikal sebanyak 180 nama. Meski belum terkonfirmasi kebenarannya, tetapi daftar itu sudah terlanjur tersebar dan menggegerkan masyarakat. Karena dengan tersebarnya daftar tersebut maka menginfokan kepada masyarakat untuk tidak mengundang nama-nama yang tercantum dalam mengisi ceramah dan kegiatan keagamaan lainnya. Padahal jika melirik daftar yang dimaksud, terdapat beberapa nama penceramah terkenal dan sering muncul di media baik online maupun offline. Bahkan saat mengundang penceramah-penceramah tersebut, antusias masyarakat sangat luar biasa bahkan sampai panitia mengaku kewalahan untuk menyediakan tempat. Jika masyarakat sangat menunggu materi ceramah yang akan disampaikan maka dimana letak radikalnya ?
Untuk memahaminya, maka kita perlu tahu apa arti dari kata “Radikal”. Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka radikal memilki 3 arti yaitu 1) perubahan yang secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berpikir atau bertindak. Kalau secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, “Radix/radici” yang berarti akar. Dalam politik, istilah “radikal” mengacu pada individu, Gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan social atau sistem politik secara mendasar atau keseluruhan. Jadi sejatinya, radikal itu istilah yang umum, bukan kata yang bermakna jelek atau dipakai untuk menghina orang. Jika kata radikal itu diberikan pada penceramah maka yang perlu disorot adalah dasar perubahan yang diinginkan. Apakah dasar perubahan itu akan mengajak ke arah yang baik atau tidak ?
Tidak heran jika saat salah satu penceramah yang disebut di daftar, diundang di suatu tempat malah menjadi rebutan masyarakat untuk hadir. Kenapa ? Selidik punya selidik, ternyata materi penceramah tersebut membuat masyarakat lebih dekat dengan Penciptanya. Membuat masyarakat bisa lebih baik dan tenang dalam menjalani kehidupannya yang carut marut akibat kepentingan para kapital. Serta membuat masyarakat menjadi sosok yang alim dan sholeh meski tontonan tv malah menyuguhkan hal sebaliknya. Bukankah ini sudah membantu pemerintah untuk membentuk kondisi masyarakat ?
Seharusnya pemerintah bersyukur jika masyarakat tersadarkan dengan Islam. Coba kalau masih banyak remaja yang pacaran dan membuka aurot seperti yang disuguhkan di tv nasional, maka akan banyak angka aborsi di negeri ini. Bisa juga akan banyak kriminalisasi akibat banyaknya public figure yang menampilkan kemewahan hidupnya sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan segala cara atas nama kemewahan.
Justru yang perlu diwaspadai itu, perubahan yang menuju ke arah sebaliknya. Seperti berubah menjadi komunis, atheis, sesat, sekuler, liberal, hedonis, kriminal dan sebagainya yang mengarah ke arah negatif yang mengundang murka Allah. Itu jauh berbahaya. Jadi sangat disayangkan jika ada orang atau organisasi yang berusaha menyelamatkan Indonesia menjadi lebih baik malah dianggap sebagai radikal.
Coba kita tengok kepada mereka yang mengaku cinta mati pada negeri ini tetapi mereka terbukti telah merampok uang negara (korupsi), telah menjual aset negara, menodong masyarakat dengan berbagai macam biaya hidup atas nama kepentingan bersama sehingga semakin mencuramkan strata social di negeri ini. Bukankah ini juga bisa disebut sebagai kaum radikal ? yaitu kaum radikal ke arah negatif.
Malah menjadi pertanyaan besar, apakah pemerintah melakukan tudingan kepada pihak yang dicap radikal ini karena dianggap mengganggu stabilitas kursi mereka ? Dan ingin menunjukkan kalau mereka itu anti kritik ?
Wallahu a’alam
Oleh : Dwi R Djohan
COMMENTS