Tolak Ikn
Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd (Penulis Ideologis Wilayah Riau)
Publik dibuat takjub dengan deklarasi Ibu Kota Negara baru untuk Indonesia yang disepakati bernama Nusantara. Namun, dibalik itu semua suara-suara netizen bertebaran akan adanya isu oligarki di sebalik pengesanan UU IKN yang tergesa-gesa disahkan ini. Pandemi Covid-19 yang bahkan belum benar-benar berakhir, rupanya tidak menghentikan langkah Pemerintah untuk melanjutkan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Oligarki yang dimaksud adalah adanya struktur kekuasaan yang hanya terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara organisasi. Semua bentuk pemerintahan, seperti Demokrasi, Teokrasi, dan Monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Adanya konstitusi atau piagam formatif serupa tidak menghalangi kemungkinan oligarki memegang kendali yang sebenarnya atas pemerintahan. Secara umum, oligarki bekerja untuk membangun kekuatan mereka sendiri dengan sedikit atau tampa memperhatikan kebutuhan masyarakat. (internasional.kompas.com, 24/09/2021)
Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) resmi disahkan menjadi undang-undang (UU). Pengesahan RUU itu disepakati dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (18/1/2022). Dengan diresmikannya UU ini, rencana pemindahan ibu kota negara "Nusantara" dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, kian nyata. (nasional.kompas.com, 18/01/2022)
Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) disahkan dengan beragam penolakan, juga diiringi inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan sumber anggarannya yang pada awalnya tidak membebani APBN malah kini akan menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sedianya untuk pemulihan ekonomi pasca Covid. (nasional.kompas.com, 19/01/2022)
Keterlibatan swasta dalam skema pembangunan IKN telah tampak jelas bahwa pemerintah memberi ruang seluas-luasnya pada swasta untuk menguasai sebagian aset Negeri ini. Dan ini menarik pendapat Esther Sri Astuti Suryaningrum (Peneliti Ekonomi dari INDEF) bahwa Ibu Kota Negara Baru tidak urgen. (niaga.asia.com, 01/04/2021)
Beberapa pendapat masyarakat lainnya yang menolak UU IKN ini yang dipublis di https://web.facebook.com/KendariBertaqwa1 :
1. Ardiansyah, S.H (Kadiv Humas LBH Pelita Umat Sultra) mengatakan bahwa “RUU IKN yang telah disahkan menjadi UU ini sesungguhnya cacat formil sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 jo No. 15 Tahun 2019 tentang norma pembentukan perundang-undangan. Kemudian secara substansi mengandung berbagai macam problem. Oleh karena itu, rakyat wajib menolak UU IKN ini”.
2. Ir. Ahmad Ismean, M.Si (Pengamat Kebijakan Publik Sultra) mengatakan bahwa “Percepatan RUU IKN yang telah disahkan menjadi UU ini, yang dilakukan ditengah derita sosial ekonomi rakyat adalah realitas yang menjelaskan sistem yang sedang mencengkeram negara ini adalah sistem kapitalis yang berpihak kepada oligarki, dengan mengesampingkan kepentingan rakyat dan kedaulatan negara”.
3. Ustadz Yuslan Aziz Abu Fikri, S.E (Pembina Asosiasi Pengusaha Muslim Indonesia Sultra) mengatakan bahwa “Bau busuk permainan Oligarki begitu sangat menyengat dalam proyek perpindahan IKN. Para pemilik modal begitu sangat diuntungkan. Adapun rakyat begitu sangat disusahkan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang menambah derita. Inilah akibat diterapkannya Sistem Kapitalisme Liberal. Penerapan Sistem Islam Kaffah adalah solusi tuntasnya. ”
4. Nur Jamal, S.H (Ketua LBH Pelita Umat Sultra) mengatakan bahwa “RUU IKN yang telah disahkan menjadi UU ini harusnya dibatalkan, mengingat banyaknya proyek yang mangkrak dan nirfungsi, dan hal ini harusnya membuat DPR memanggil Presiden untuk meminta kejelasan dan menyuarakan pendapat bahwa Presiden telah melanggar Konstitusi.”
TATA KELOLA NEGARA DALAM ISLAM
Jika Negara dipimpin oleh sistem shohih (benar) yang berasal dari Allah swt yakni Khilafah Islam. Daulah Khilafah adalah Negara yang akan menerapkan Islam Kaffah untuk mengurusi rakyatnya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Dalam Islam, untuk membiayai pembangunan infrastruktur, Al-‘Allamah Syeikh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwaal fii Dawlah al-Khilaafah, menjelaskan bahwa ada tiga strategi untuk membiayai proyek infrastruktur :
1. Meminjam kepada Negara Asing termasuk Lembaga Keuangan Global
2. Memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang
3. Mengambil pajak dari umat/rakyat
Pertama, mengenai pinjaman dari Negara Asing atau Lembaga keuangan Global, maka strategi ini jelas keliru, dan tidak dibenarkan oleh syari’at Islam. Terlebih ini adalah jalan penjajah untuk menguatkan hegemoni (pengaruh) mereka.
Kedua, mengenai memproteksi kepemilikan umum, yaitu memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas, dan tambang misalnya. Khalifah (kepala negara) bisa menetapkan kilang minya, gas, dan sumber tambang tertentu, seperti fosfat, emas, tembaga dan sejenisnya, pengeluarannya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Strategi ini boleh ditempuh oleh Khalifah (kepala negara). Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat, untuk memenuhi kebutuhan dana yang digunakan dalam pembangunan infrastruktur.
Ketiga, mengenai menarik pajak, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur, strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal (APBN) tidak ada kas/dana yang bisa digunakan. Itupun hanya digunakan untuk membiayai saran dan prasaran vital, dan hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki dan mampu.
Islam sangat memperhatikan aspek kemandirian dan tidak menggantungkan pembiayaan pembangunan dari hasil pinjaman. Terlebih saat berbicara pembangunan Ibu Kota yang erat kaitannya dengan eksistensi Negara. Pasalnya Ibu Kota Negara bukan hanya berbicara mengenai tata kota, pembangunan infrastruktur pendukung, pelayanan Negara yang baik, lebih jauh lagi Ibu Kota adalah simbol dari kekuatan Negara.
Di luar dari kesan tergesa-gesanya Pemerintah dalam memindahkan Ibu Kota Negara, harapan pemulihan ekonomi dengan menggaet swasta masuk sebagai pemain dalam pembangunan Ibu Kota bukanlah jalan keluar. Terlebih langkah ini justru menunjukkan Pemerintah mandul dalam menjalankan perannya sebagai pengurus rakyat.
Jika ingin memulihkan ekonomi Negeri yang kian menyusahkan rakyat banyak dengan pengaruh hegemoni asing dan aseng, seharusnya Pemerintah telah membuang jauh seluruh mindset ekonomi yang kapitalistis ini. Sebab, hanya Khilafahlah solusi yang paling realistis untuk memulihkan ekonomi sekaligus jalan keluar atas seluruh masalah negeri ini jika Sistem Islam ini diterapkan sebagai Sistem yang menyeluruh bukan sekedar solusi pragmatis semata.
COMMENTS