stigma pesantren radikal
Oleh : Yusra Ummu Izzah (Pendidik Generasi)
Narasi perang melawan terorisme, masih terus bergulir meski telah berganti tahun. Padahal, publik sampai detik ini belum juga mengetahui kejelasan apa dan siapa yang termasuk dalam kategori teroris. Sebab, penegak hukum dan pejabat negara ketika menyeru perang melawan kelompok teroris, mereka memberikan data dan bukti yang minim terkait narasi terorisme itu sendiri.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar mengatakan, sedikitnya terdapat 198 pondok pesantren terafiliasi dengan sejumlah terorisme, baik dalam dan luar negeri, termasuk 1S1S. Hal ini ia sampaikan dalam rapat dengan komisi III DPR pada (25/1/2022). (CNN Indonesia, 27/1/2022)
Lebih lanjut, Boy mengungkap, dari total 198 pesantren, 11 di antaranya terafiliasi dengan jaringan organisasi Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), 68 pesantren terafiliasi Jemaah Islamiyah (JI), dan 119 terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau simpatisan 1S1S. Namun, Boy tidak mengungkap nama-nama pesantrennya.
Menimbulkan Keresahan
Banyak pihak mempertanyakan pernyataan BNPT yang mengaitkan pesantren dan terorisme. Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan salah satunya, “Atas dasar apa pendataan tersebut? Apa metodologinya? Apakah merupakan hasil kajian resmi BNPT?” tanyanya. (CNN Indonesia, 27/1/2022)
Menurutnya, informasi yang tersebar ke publik ini berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat. Seharusnya, BNPT melakukan tindakan preventif bersama lembaga terkait dan menjelaskan pada publik agar tidak timbul stigma terhadap pesantren. Sebab, bagaimanapun, pesantren adalah salah satu tempat putra-putri bangsa menimba ilmu.
Selain menimbulkan keresahan, BNPT pun dianggap tidak adil karena kerap melabeli Islam dengan terorisme. Melansir dari Detik News (26/1/2022), selama 2021, BNPT bersama Densus 88 telah menindak 364 terduga teroris yang semuanya berafiliasi pada kelompok Islam.
Akan tetapi, perlakuannya berbeda terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, misalnya, yang telah jelas membakar masjid-masjid ataupun membunuhi banyak warga sipil, mereka tidak diumumkan pada publik sebagai kelompok teroris.
Alhasil, Karena menuai banyak kritik, BNPT pun mengklarifikasi dan meminta maaf atas pernyataannya tersebut,
"Saya menyampaikan permohonan maaf karena penyebutan nama pondok pesantren diyakini melukai perasaan pengelola pondok, umat Islam yang tentunya bukan maksud untuk itu," ujar dia pada Kamis, 3 Februari 2022. (tempo.co)
Stigmatisasi dan Islamofobia
Lebih dari menimbulkan keresahan, stigmatisasi pesantren akan berdampak pada makin terinjeksinya islamofobia di tubuh umat. Para orang tua yang memondokkan anaknya akan resah dengan adanya informasi tersebut. Bukan tidak mungkin, ke depannya, kepercayaan umat terhadap lembaga pendidikan berbasis agama akan makin berkurang.
Artinya, stigmatisasi pesantren akan merugikan bangsa pada masa depan karena kita akan kehilangan putra-putri terbaik yang terdidik oleh para ulama. Lebih dari itu, kita akan kehilangan generasi yang akan membangun peradaban cemerlang pada masa mendatang. Bukankah ini kerugian besar? Lantas, mengapa stigmatisasi dan islamofobia terus gencar terjadi?
Pengalihan Isu?
BNPT sendiri tidak menyebutkan secara terperinci pesantren mana yang sudah teridentifikasi dan terbukti berafiliasi dengan jaringan terorisme. Lalu, timbul pertanyaan pada publik, mengapa sudah teridentifikasi, tetapi masih dibiarkan?
Melansir Detik News (26/1/2022), anggota DPR Jazilul Fawaid telah meminta BNPT untuk menindak pesantren tersebut dan memublikasikan daftar pesantren pada publik agar masyarakat bisa ikut mengawasi aktivitasnya. Namun, daftar tersebut tidak kunjung diumumkan. Padahal, banyak pihak pesantren yang ingin daftar tersebut dipublikasikan sebagai jaminan bagi orang tua santri bahwa pesantren yang mereka kelola adalah aman dan bukan sarang teroris.
Dengan kata lain, jangankan menindak, mengumumkannya saja tidak. Pendataannya pun masih belum jelas, mulai dari kriteria hingga metodologi penelitian. Alhasil, pengungkapan ini terkesan tergesa-gesa. Wajar saja umat berprasangka, “Jangan-jangan pernyataan BNPT ini adalah semacam ‘pengalihan isu’ saja?”
Kita pun patut menduga bahwa isu-isu terorisme sering kali muncul ketika ada isu besar yang harus tertutupi. Pengesahan UU Ibu Kota Negara, misalnya, yang kental dengan kepentingan oligarki dan korporasi. Bukan tidak mungkin isu terorisme kali ini dikeluarkan untuk menutupi hal itu. Sebab, penolakan terhadap pemindahan ibu kota makin kencang dari berbagai kalangan.
Khatimah
Stigmatisasi terhadap umat Islam dan ajarannya terus diaruskan, sehingga memicu islamofobi yang akan merugikan umat. Umat akan makin menjauh dari agamanya yang kafah.
Tentu saja Bagi Barat, islamofobia adalah hal yang sangat menguntungkan. Sebab, makin jauh kehidupan umat dari ajaran Islam, Barat akan makin berkesempatan besar mengisi kehidupan umat dengan peradaban Barat. Tujuannya satu, yaitu untuk memuluskan seluruh kepentingan mereka menguasai dunia.
Itulah penyebab “perang melawan terorisme” menjadi agenda global yang sejatinya untuk menghadang kebangkitan Islam. Negeri-negeri muslim terpaksa tunduk mengikuti arahan Barat melalui “pemimpin boneka”. Jadilah para pemimpin yang seharusnya menjaga umat, malah menjadi komprador yang setia menjaga kepentingan Barat
Wahai umat Islam, dimanapun kalian berada haruslah menyadari bahwa Islamofobia adalah bagian agenda global “perang melawan terorisme”. Stigmatisasi terhadap umat Islam dan ajarannya akan terus mengarus deras, termasuk terhadap pesantren, lembaga pendidikan yang notabene melahirkan generasi rabani. Bahkan, sebisa mungkin sedari dini umat terjauhkan dari pemahaman Islam politik. Tidak heran jika mereka menuding PAUD berbasis Islam sebagai bibit terorisme.
Demikian pula Kurikulum Moderasi yang sejalan dengan pemikiran Barat, harus ada di sekolah, kampus, dan pesantren. Semua ini demi menjaga agar generasi terhindar dari ajaran Islam kafah. Barat sangat paham, jika generasi menguasai kehebatan ajaran Islam, akan mengancam keberadaan mereka sebagai penguasa dunia.
Sungguh, penghinaan mereka terhadap umat Islam dan ajarannya amatlah besar. Tudingan mereka bahwa pesantren berafiliasi dengan terorisme merupakan penghinaan yang amat besar terhadap ajaran Islam. Dalam pesantren, ada para ulama dan santri yang sebagai ahlul ilmu yang harus kita jaga kehormatannya.
Selama dunia dalam setiran peradaban Barat, islamofobia dan penghinaan terhadap Islam akan terus ada. Walhasil, memperjuangkan terwujudnya peradaban Islam menjadi kewajiban umat yang mendesak untuk dilakukan. Semoga dunia kembali berada dalam naungan peradaban Islam. Wallahualam.
COMMENTS