booster vaksin omicron
Blunder dan dilemma. Inilah yang sedang dihadapi Pemerintah dalam mengatasi ancaman gelombang ke 3 Omicron. Sesumbar Menteri Luhut Binsar Pandjaitan yang juga selaku Koordinator Penanggulangan Pandemi COVID 19, menyampaikan tidak danya pengetatan di wilayah Indonesia. Namun tetap meminta semua pihak jangan lengah, menyusul kasus varian Omicron di Indonesia terus menanjak. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi mengimbau masyarakat agar waspada dengan varian Omicron yang penyebarannya lebih cepat daripada varian Delta. Dalam waktu singkat, kasus Omicron sudah mencapai 572 kasus dan di antaranya menginfeksi anak-anak. (idxchanel, 14/1/2022)
Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan Kepemudaan dan Olah Raga (Dikmudora) Kendari, Makmur mengaku pihaknya telah melakukan evaluasi Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Dan memutuskan untuk melihat proses PTM sebulan ke depan. Karena belum ditemukan kluster sekolah sampai saat ini.
Di sisi lain, para ahli telah memprediksi adanya serangan gelombang ketiga di akhir tahun, mulai terbukti. Karena melihat meningkatnya angka kasus di luar negeri ini. Sejumlah pakar memprediksi Indonesia akan kembali menghadapi puncak kasus COVID-19 atau gelombang ketiga beberapa bulan mendatang. Ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono menyebut hal ini akan didorong mobilitas masyarakat yang kembali meningkat, meski cakupan vaksinasi sudah mencapai lebih dari 50 persen.
Rapuhnya Sistem Pendidikan Dan Kesehatan, Gagal Atasi Serangan COVID19
Bulan September lalu pandemi Covid-19 di tingkat global sedang menghadapi gelombang atau puncak III. Saat ini AS tengah mengalami gelombang III dengan kurva yang sudah melambat. Pola gelombang I dan III di AS mirip dengan pola global. Berikutnya adalah Malaysia dan Jepang. Kedua negara itu memiliki pola yang mirip dengan pola kasus global. Dua hari berturut-turut Singapura melaporkan harian kasus COVID-19 di atas seribu.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Hermawan Saputra menilai pemerintah perlu mengevaluasi ulang wacana pembukaan sekolah dengan adanya mutasi virus Corona asal Inggris. Ia memperingatkan agar Indonesia tak mengulang kesalahan ketika meremehkan kasus Covid-19 di awal pandemi. Pemerintah hendaknya tidak menutup mata tentang peningkatan kasus cluster sekolah di luar negeri. Yang harus jadi acuan adalah kebijakan terbaik apa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini. Tentu saja, berorientasi pada keselamatan nyawa, bukan kepentingan pemilik modal apalagi pariwisata.
Memutuskan pembukaan sekolah tatap muka di masa pandemi memang tak mudah. Di satu sisi, ada risiko penularan Covid-19 di klaster sekolah. Namun, jika pembelajaran dari rumah dilanjutkan, ada risiko penurunan kualitas pendidikan yakni loss learning. Padahal, pendidikan adalah investasi sumber daya manusia yang bersifat seumur hidup. Sekali pendidikan salah digariskan, kerusakan akan menimpa generasi demi generasi. Masa depan negara dan masyarakat ditentukan oleh kebijakan pendidikan hari ini, karena para murid hari ini adalah pemimpin di masa depan.
Saat omicron mengancam, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan dalam membuat kebijakan. Kebijakan PTM yang menuai kontroversi di orang tua murid, menjadi dilemma tersendiri. Problem pendidikan sebenarnya bukan dimulai saat pandemi. Jauh sebelum dunia terjangkiti wabah, potret buram pendidikan begitu terlihat jelas. Mulai dari problem kurikulum yang hanya fokus pada kuantitatif, mahalnya biaya sekolah, hingga fasilitas sekolah yang timpang antara kota dan desa. Belum lagi jebolan sistem pendidikan sekuler yang tidak memiliki fondasi agama, menyebabkan kriminalitas kerap juga dilakukan oleh individu berpendidikan.
Setelah ada pandemi, problem pendidikan semakin tidak karuan. Mulai dari sarana dan prasarananya yang buruk sehingga BDR (belajar dari rumah) tidak berjalan lancar. Infrastruktur berpusat pada kota sehingga desa tidak cukup memiliki perangkat untuk melaksanakan BDR. Begitu pun kualitas pengajar yang kurang siap dengan teknologi, serta masih banyak kendala lainnya. Bukankah semua ini yang menyebabkan learning loss?
Tidak bisa dimungkiri, pendidikan daring di masa pandemi ini telah menghambat tersalurkannya ilmu kepada para siswa. Bukan karena ketakmauan, tetapi minimnya fasilitas dan sistem membuat anak-anak dan pendidik kesulitan mengikuti pembelajaran daring. Ketahanan sistem pendidikan saat ini sangat diuji oleh pandemi. Kerapuhan kurikulum pendidikan tampak jelas hari ini meskipun sudah bergonta-ganti. Maka, kebijakan pendidikan harus konsisten dan berkesinambungan. Nyambung antara satu keputusan dengan keputusan berikutnya, bukan saling bertentangan. Semisal belajar dari rumah (BDR), kebijakan ini diputuskan sendiri oleh pemerintah begitu pandemi melanda. Kini, kebijakan BDR ini dikritisi sendiri oleh pemerintah dan dianggap biang kerok ketertinggalan. Blunder bukan?
Belum lagi persoalan cakupan vaksinasi, yang tidak semua daerah melampaui target. Kebijakan vaksinasi bagi seluruh civitas akademik juga tidak menjamin mereka terlindungi dari virus. Sebab, mereka masih berisiko terinfeksi meski sudah divaksinasi. Kalau sudah begini, bagaimana negara dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi rakyatnya? Efek dari antibodi pasca divaksinasi dan pasca terinfeksi COVID-19, tentu juga harus diperhitungkan. Keduanya membantu laju penularan kasus COVID19 di masyarakat meski tak setinggi beberapa waktu lalu. Karena yang divaksinasi sudah meningkat, yang terinfeksi sudah meningkat, bisa dikatakan bahwa trennya menurun. Sedangkan angka testing tracing belum optimal. Hal tersebut tidak bisa dimaknai kondisinya terkendali, tetapi dikatakan oleh para pakar kondisinya menurun. Kondisi ini tetap harus waspada akan lonjakan kasus COVID-19 jika protokol kesehatan kerap diabaikan.
Rapuhnya sistem kesehatan juga menjadi penyebab gagalnya semua Negara dalam mengatasi serangan COVID19. Kegagalan global dalam mengatasi pandemi saat ini bukti nyata rusaknya sistem kapitalisme sekuler, dimana bukan kemaslahatan manusia yang menjadi orientasi keselamatan jiwa, melainkan keselamatan ekonomi keuangan yang menjadi dasar penanganan pandemi. Setiap Negara berlomba-lomba agar ekonomi negaranya selamat, termasuk dalam pengadaan vaksinasi. Akibatnya ribuan nyawa manusia menjadi korbannya, tak terkecuali tenaga kesehatan. Sampai kapan kerapuhan dan ketidakkonsistenan sistem seperti ini dipertahankan? Sampai berapa gelombang COVID19 yang akan dialami umat manusia di dunia?
Butuh Sistem Yang Konsisten Untuk Hadapi Gelombang Varian Omicron
Pandemi Covid-19 memang sudah menjadi qadha dari Allah SWT. Namun, para pendidik bisa mengubah tantangan (thread) yang ada menjadi kesempatan emas (chance) untuk mengoptimalkan upaya edukasi kepada anak didik, khususnya pembinaan kepribadian anak. Membina anak-anak menjadi generasi tangguh menghadapi ujian pandemi, menjaga keselamatan jiwa, terbiasa menjaga kebersihan, peduli lingkungan, semangat berbagi, beribadah, dan yang lainnya. Demikianlah, pendidikan kita butuh visi besar sehingga kebijakan yang dihasilkan simultan, tidak maju mundur.
Jika opsi sekolah tatap muka yang diambil, maka banyak factor yng patut diperhatikan, khususnya persoalan sarana dan prasarana. Begitu juga mengenai vaksinasi pada anak didik. Tak hanya vaksinasi, tes massal juga dibutuhkan, sehingga dipastikan murid yang sekolah hanya yang negatif Covid-19. Juga pemberian masker standar secara gratis setiap beberapa jam dan semua hal teknis lainnya butuh dipastikan, bukan sekadar diinstruksikan. Adapun berhubungan dengan rencana pembelajaran tatap muka saat ini, sesungguhnya itu sangat riskan bagi kesehatan dan keselamatan anak didik dan pendidik, juga berbahaya terhadap keluarga yang memungkinkan terbentuknya klaster baru penyebaran Covid-19 karena penularannya saat ini tak terkendali.
Adapun sistem kesehatan saat ini, tidak ada yang berhasil mengatasi pandemi, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Serangan COVID19 gelombang 2 bulan juni tahun lalu semestinya membuka mata kita semua, bagaimana mitigasi telah gagal. Kalang kabutnya rumah sakit, minimnya BOR (Bed Occupancy Rate), gugurnya nakes, munculnya klaster baru, menjadi perhatian tersendiri. Seharusnya pemerintah mengoptimalkan dulu upaya 3T (Tracing, Testing, dan Treatment) untuk memutus rantai penularan Covid-19 selain melakukan 3M (Menggunakan masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak). 3T yang dimaksud yaitu pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan ke orang lain. Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif Covid-19. Setelah diidentifikasi petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Ini semua butuh sistem yang konsisten dalam menghasilkan kebijakan, dan seruan dalam satu komando yaitu pemimpin yang cakap membuat keputusan penting dalam kondisi genting. Pemimpin yang menjadikan kemaslahatan rakyat adalah hal utama, bukan kepentingan pribadi, apalagi para pemilik modal. Pemimpin yang melakukan tugas riayah (pengaturan) urusan umat sesuai dengan ketentuan syariat, bukan malah kufur nikmat. Dan tentu saja, ketika sistem dengan model kepemimpinan yang seperti ini dijalankan, maka tidak perlu dikhawatirkan terjadinya serangan COVID19 gelombang ketiga. Sebab, sistem ini hanya ada ketika Islam dijadikan landasan dalam kehidupan manusia. Inilah sistem paling konsisten dan antikolaps baik bagi kesehatan maupun pendidikan.
Penulis:
Drg Endartini Kusumastuti (Alumnus FKG Unair dan Anggota PDGI Cabang Kendari)
COMMENTS