pengelolaan SDA Sumber Daya Alam
Oleh : Fahima Ziyadah (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Kebijakan)
Pemerintah di awal tahun 2022 memberlakukan kebijakan larangan sementara ekspor batu bara mulai tanggal 1 hingga 31 Januari melalui surat yang dikeluarkan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021.
Larangan ekspor batu bara dipicu oleh tidak dipenuhinya pasokan dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan bagi para pengusaha untuk memasok batu bara ke Perusahaan Listrik Nasional (PLN) sebesar 25 persen dari total produksi per tahun dengan harga 70 dolar AS per metrik ton (tirto.id).
Kelalaian Berujung Krisis
Kalimantan Selatan sebagai salah satu provinsi penopang batu bara di Indonesia terkena imbas kebijakan. Menyusul kebijakan larangan ekspor tersebut, presiden melalui Kementerian ESDM telah meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi kepatuhan dalam ekspor batu bara agar DMO terpenuhi.
“Kami akan melakukan pengawasan atas kebijakan ekspor batu bara di Kalimantan Selatan,” kata Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Selatan, Rudy M. Harahap. Pemantauan pemenuhan DMO secara harian dengan Sistem Continuous Monitoring (CM) juga diusulkan, terutama dalam kondisi DMO yang kritis saat ini (infobanua.co.id).
Kebijakan larangan ekspor ini dinilai tergesa-gesa dan menuai kritikan dari berbagai pihak. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI-ICMA) dan Kamar Dagang Industri (Kadin) menilai bahwa kebijakaan ini dilakukan terlalu cepat tanpa pembahasan dengan para pelaku usaha batu bara dan justru akan berdampak pada pemulihan ekonomi akibat pandemi dan belum stabilnya perekonomian (kumparan.com).
Di sisi lain, kebijakan ini layaknya pahlawan bagi krisis listrik dalam negeri. Jika pemenuhan DMO tak segera dilakukan maka otomatis stabilitas perekonomian dalam negeri akan lebih bermasalah yang berdampak pada terhambatnya aktivitas masyarakat pada berbagai sektor.
Menyikapi berbagai pro kontra tersebut pemerintah mengambil jalan tengah dengan membuka secara bertahap ekspor batu bara per tanggal 12 Januari. Keputusan ini kembali menuai pertanyan bagi banyak pihak. Wakil Ketua DPR-RI Eddy Soeparno menyatakan inkonsistensi pemerintah.
“Kami berharap kedepannya Kementerian ESDM juga mementingkan aspek konsistensi, jangan sampai nanti efektivitas dari kebijakan pemerintah itu menjadi rendah karena diputuskan di satu saat, tidak lama kemudian direvisi,” kata beliau (kompas.com).
Jika kita simpulkan, tata kelola batu bara untuk kebutuhan listrik dalam negeri adalah karena kelalaian dalam pemenuhan DMO, baik kewajiban oleh pelaku usaha ataupun pengawasan oleh negara. Mengapa bisa terjadi kemungkinan ancaman krisis ? Ironi bahwa negeri ini adalah peringkat ketiga di dunia yang kaya sumber daya batu bara. Ancaman krisis listrik rakyat di depan mata adalah masalah yang perlu dicari penyebab mendasar agar tak berulang.
Swastanisasi SDA dalam Sistem Kapitalisme
Kesalahan mendasar sebenarnya adalah swastanisasi pengelolaan SDA batu bara. Ketika sistem pengelolaannya meniscayakan para korporasi swasta leluasa menguasai sumber daya. Maka wajar bila DMO tidak terpenuhi karena berorientasi bisnis. Hal ini bermula atas diterapkannya sistem kapitalisme yang bertujuan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Kapitalisme yang tegak atas landasan pemisahan agama dari kehidupan telah menimbulkan kaidah bahwa manusia berhak mengatur dan membuat sendiri peraturan atas kehidupan dunia. Manusia, baik individu maupun kelompok dalam pengelolan SDA telah diberi ruang oleh kapitalisme –sekuler, dalam wujud para korporat selama mempunyai modal untuk bebas memiki lahan batu bara dan mengelolanya untuk menambah pundi materi.
Pemerintah dalam bentuk negara tak ubahnya tangan yang melindungi pengusaha melalui kebijakan untuk memuluskan jalan, meski berujung pada kesengsaraan rakyat lainnya. Bukan hal baru bahwa kapitalis ini sadis sebab celah ketimpangan si kaya dan si miskin; si kaya makin berjaya, si miskin makin melarat selalu ada.
Kesalahan teknis tak bisa dihindari, penguasa pusing sendiri tentang dampak yang akan terjadi. Kebijakan larangan ekspor batu bara nyatanya hanya sebagai pemanis atas peran negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat akan krisis. Kebijakan yang ada sekadar pragmatisme sesaat tanpa solusi yang tepat, berakibat pada pengulangan siklus jika tak ditangani dengan solusi hakiki.
Islam Solusi Tepat
Islam memandang bahwa batu bara sebagai kategori bahan tambang merupakan milik umum yang harus dikelola sebaik dan setepat mungkin. Pengelolaan batu bara dalam menjamin kebutuhan listrik diatur agar dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Negara sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengelolanya, harus melalui lembaga negara yang berfungsi sebagai pelayanan bukan institusi bisnis memperkaya individu dan kelompok.
Rasulullah SAW Bersabda dari Ibnu Abbas :
“Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api,” (HR. Abu Dawud).
Pengaturan yang tepat berdasarkan syariat selain menjamin kesejahteraan masyarakat juga akan menjamin konsistensi negara dalam mengatur urusan umat. Tidak akan ada polemik kebijakan yang pelik antara negara dengan korporat hingga negara harus mengambil jalan tengah yang terkesan plin-plan; tarik ulur kebijakan. Sebab negara lah aktor utama dalam mengelola aset negara.
Jaminan akan hadirnya negara secara utuh sebagai pelayan umat ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah oleh negara dalam bentuk Pemerintahan Khilafah. Khilafah meniscayakan aktivitas pengelolaan SDA berkaitan dengan sistem lainnya seperti sistem kebijakan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan yang lainnya. Sehingga jika hanya sebagian saja yang diterapkan maka bukan memberikan solusi utuh, bahkan tidak ada bedanya dengan ketika tidak memakai sistem Islam.
Penerapan islam kaffah merupakan urgensi di tengah kondisi bangsa yang pelik. Islam mengatur secara menyeluruh aktivitas kehidupan manusia. Bukan hanya sebagai agama yang mengatur perkara spiritual penganutnya. Islam juga memiliki solusi terkait pengelolaan Sumber Daya Alam dan pemenuhan kebutuhan bagi manusia seluruhnya, dengan mekanisme yang sesuai dengan syariat Islam. Maka tepatlah Islam disebut sebagai rahmatan lil aalamiin -rahmat bagi seluruh alam-. Menjadi rahmat bagi manusia muslim ataupun non muslim, stabilitas bagi kehidupan, dan kelestarian sumber daya alam bahkan bagi tumbuhan dan hewan.
COMMENTS