kenaikan harga pangan
Oleh: Ernawati (Aktivis Dakwah Jogja)
Lagi-lagi terjadi lonjakan harga berbagai bahan pangan yang tidak terkendali sebagai "kado" pahit setiap akhir dan awal tahun dari pemerintah. Sayangnya, hal ini tidak menjadi perhatian khusus dari pemerintah guna mengantisipasi lonjakan harga.
Bagi masyarakat yang terdampak, mau tidak mau menerima dengan penuh duka. Bayangkan saja, harga minyak goreng, cabai, hingga telur mengalami peningkatan menjelang akhir tahun. Ketiga komoditas bahan pokok ini diperkirakan merangkak naik hingga Januari 2022.
Sampai-sampai Peneliti Core Indonesia Dwi Andreas mengatakan harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai tembus Rp100.000 per kg. Harga minyak goreng curah lebih dari Rp18.000 per kg dan harga telur mencapai Rp30.000 per kg. (liputan6.com, 26/12/2021).
Terus berulang setiap tahun terjadi, harga-harga pangan meningkat. Para pejabat negara yang berwenang bersembunyi di balik kalimat, “Ada faktor yang membuat harga tidak stabil selain pandemi, yaitu terjadi kelangkaan bahan dan faktor iklim serta cuaca saat ini (musim hujan) yang mengakibatkan gagal panen.”
Masyarakat sudah “kenyang” mendengar alasan tersebut. Betapa tidak, alasan itu selalu diberikan pada masyarakat tanpa ada langkah-langkah konkret demi mengantisipasinya. Bukti riil di lapangan justru menunjukkan bahwa masyarakat masih saja mendapati harga terus melonjak tanpa bisa ditolak. Tetapi, apa daya, demi memenuhi kebutuhan, mereka pun membeli berbagai bahan pokok meski dengan harga tinggi. Gagalnya pemerintah melakukan antisipasi menunjukkan buruknya riayah penguasa terhadap rakyatnya.
Lonjakan harga tentu sangat membuat rakyat menderita karena menambah beban hidup mereka. Belum usai pandemi membuat ekonomi rakyat babak belur, kini ditambah lagi dengan lonjakan harga pangan. Tampak sekali penguasa memang minim empati, tidak bertanggung jawab atas kondisi demikian. Padahal, rakyat butuh kepastian untuk memenuhi kebutuhan bahan pokoknya sehingga seharusnya pemerintah memerhatikan harga kebutuhan pokok di pasar yang meliputi tingkat permintaan, ketersediaan stok, baik dari produksi domestik juga impor, dan kelancaran dalam distribusi hingga ke retail.
Namun, justru yang terjadi pemerintah hanya berkutat pada perkara teknis dalam kebijakannya. Alih-alih mengantisipasi lonjakan harga pangan dengan menggelar operasi pasar, operasi pasar yang menyasar konsumen dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga yakni korporasi. Lagi-lagi menguntungkan korporasi meski seolah-olah sedang membantu menaikkan daya beli masyarakat.
Masyarakat harus menyadari bahwa masalah lonjakan harga bersumber dari lemahnya fungsi negara mengatur sektor pertanian pangan. Sistem rusak saat ini memandulkan peran negara. Pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator, tidak sebagai pengurus urusan rakyat.
Berbeda halnya dengan Islam yang terbukti mampu mewujudkan jaminan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat. Islam memiliki beberapa mekanisme jitu mengantisipasi gejolak harga. Pertama, menjaga ketersediaan stok pangan agar permintaan dan penawaran menjadi stabil. Negara dalam Islam berperan penting dalam mengatur sektor pertanian demi menjamin produksi pertanian di dalam negeri berjalan maksimal.
Di samping itu, Negara dalam Islam menggunakan teknologi yang mampu memprediksi cuaca serta iklim, melakukan mitigasi bencana alam yang dapat memengaruhi kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, Negara dalam Islam menjaga rantai tata niaga dengan mencegah dan menghilangkan distorsi pasar, mengharamkan penimbunan, mengharamkan riba serta praktik tengkulak dan kartel.
Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Namun, negara juga tidak akan mengambil kebijakan penetapan harga karena hal tersebut dilarang dalam Islam. Rasul saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
COMMENTS