moderasi agama
Oleh : Sri Wahyuni, S.Pd.I
Wakil Gubernur (Wagub) Sumatra Utara (Sumut) Musa Rajekshah mengingatkan tentang pentingnya sikap moderasi dalam beragama. “Moderasi beragama ini penting agar kita menyadari ada perbedaan dan keanekaragaman. Kita juga tahu negara kita adalah negara Pancasila yang dalam sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bangsa kita ini adalah bangsa yang beragama.” Ungkap Wagub Musa Rajekshah saat menjadi pemateri pada seminar nasional ‘Literasi Kebangsaan Moderasi dan Toleransi Beragama’ di Hotel Santika, Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan, Sabtu(9/10).
Wagub menjelaskan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi berarti pengurangan kekerasan dan penghindaran keesktriman. Karena itu, menjadi moderat adalah menjadi orang yang tidak ekstrim dan selalu mengambil posisi tengah, adil dan tidak ekstrim kanan atau kiri. “ karenanya jika moderasi beragama ini dikelola dengan baik, maka tentu bisa menjaga kerukunan umat beragama,” jelas Musa Rajekshah yang akrab disapa Ijeck. “ Kita lihat di Indonesia ini banyak memiliki adat istiadat yang berbeda. Karenanya kita tentunya tidak mengharapkan lagi ada daerah yang sampai terjadi konflik,” terangnya.
Sedangkan Radikalisme, papar Ijeck, selalu mengklaim kebenaran tunggal, kemudian mengutamakan ibadah secara penampilan, menggunakan cara kekerasan, mudah mengkafirkan orang lain, tertutup kepada masyarakat, dan apolitik atau tidak mau mengikuti kebijakan pemerintah. Pernyataan demikian, seakan mengatakan bahwa umat Islam dengan ajarannya kurang menyadari adanya perbedaan dan keberagaman dengan sikap intoleransi yang mereka lakukan terhadap pemeluk agama lain, misalnya dalam interaksi pada perayaan ibadah dan ucapan-ucapan yang khas, sehingga perlu dimoderatkan.
Hingga hari ini, topik moderasi beragama masi terus mengarus deras diberbagai forum dan media massa. Bahkan, pidato para pejabat masi mengangkat narasi ini dengan berbagai pendekatan. Tekad presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai “ poros moderasi Islam dunia” yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi(KTT) Islam tiga tahun lalu tampaknya memang tak main-main. Terbukti, proyek moderasi beragama ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) tahun 2020-2024. Bahkan kemenag menyatakan tahun 2021 harus menjadi tahun implementasi moderasi beragama di Indonesia. Oleh karna itu, pihaknya sudah siap meluncurkan Peta Jalan Moderasi Bergama yang telah disusun tim pokja khusus agar proyek ini berjalan sesuai harapan.
Peta jalannya tidak hanya diperuntukan untuk kemenag saja, proyek ini menyasar semua lini massa, mulai dari kalangan pejabat, pegawai pemerintah/BUMN, termasuk guru dan dosen, mahasiswa dan pelajar, ulama, ustadz dan ustazah bahkan majelis taklim ibu –ibu rumah tangga. Demi suksesnya moderasi beragama, pihak pemerintah telah melakukan berbagai langkah, mulai dari riset-riset, diktat-diktat, training for trainer, sosialisasi konten diberbagai kanal medsos, hingga memastikan agenda-agenda dialog antaragama dilakukan diberbagai level. Begitu istimewanya proyek moderasi ini, khususnya moderasi Islam bagi pemerintah sekarang, proyek ini digadang-gadang bisa menjadi solusi problem utama bangsa. Bahkan dipandang amat penting bagi kemajuan Islam.
Masalahnya, apa yang dibaca sebagai problem utama bangsa tak lain adalah sikap intoleransi dan radikalisme beragama yang terus ditudingkan kepada Islam. Sikap ini dianggap sebagai akar perpecahan bangsa, sekaligus memicu munculnya aksi-aksi teror atas nama Islam yang mencederai ketentraman dan persatuan. Pertanyaannya, benarkah Intoleransi dan Radikalisme adalah problem utama bangsa? Dengan berpikir objektif, maka akan tampak bahwa problem utama bangsa ini sejatinya bukan intoleransi, radikalisme, terorisme sebagaimana yang ditudingkan. Fakta-fakta itu nyatanya hanyalah satu cabang dari masalah besar berupa penerapan sistem yang sekuler.
Sistem ini jelas – jelas telah memproduksi berbagai keburukan diberbagai aspek kehidupan. Terbukti sebagaimana yang terjadi saat ini, dunia terus dilanda krisis. Mulai dari krisis politik yang membuat kehidupan masyarakat menjadi serba tidak jelas, dan krisis ekonomi yang terus membebani mayoritas keluarga muslim dengan kehidupan serba sulit. Juga krisis moral akibatnya merebaknya budaya hedon dan permisif yang kian menjerumuskan mayarakat pada kerusakan. Atas nama HAM tindakan amoral pun bisa dilegalkan. Tidak heran jika perzinahan dan LGBT semakin meningkat dari hari ke hari.
Bagi umat Islam, moderasi beragama tentu tidak bisa dianggap biasa. Selain ada sisi politis yakni melanggengkan kepentingan para antek penguasa, narasi ini nyatanya telah menyasar pada hal-hal yang sangat prinsip dalam Islam. Pemikiran seperti ini adalah hasil dari sekulerisme-liberal, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, mengakui agama tapi dipisahkan dari kehidupan sehingga melakukan tawar menawar syari’at agar cocok dengan kehidupan liberal.
Dalam Penerapan Islam kaffah, tidak akan ada kita jumpai pemikiran moderat seperti ini, terbukti Islam sudah mempraktikan toleransi dengan baik sejak 15 abad yang lalu hingga semua pihak merasakan kerukunan umat beragama dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Oleh karna itu, umat Islam tidak memerlukan parameter dan ukuran –ukuran yang lain. Dan mengimani bahwa Islam terlalu sempurna untuk dipoles dengan dalih moderasi.Cukuplah akidah dan syariah Islam menjadi ukuran dan pegangan hidup. Keduanya menjadi kunci kebangkitan suatu bangsa. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa dengan berpegang teguh pada akidah dan syariat Islam umat Islam tampil sebagai umat terbaik yang membawa rahmat bagi seluruh alam.. wallahu’alam .
COMMENTS