upah dalam islam
Oleh: Arini F. Aprila
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan upah minimum 2022 naik sebesar 1,09 persen. Penetapan upah minimum tersebut mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (Kompas.com 21/11/2021).
Penetapan ini menuai konflik antara kaum buruh dan pengusaha. Pengusaha mengatakan bahwa penetapan ini sudah adil bagi kedua pelah pihak, namun buruh menilai kenaikan upah 1,09 persen ini tidak akan mampu menutupi kebutuhan hidup mereka. Konflik ini tentu saja kembali berujung dengan turunnya buruh ke jalan, agar tuntutan mereka dipenuhi.
Lagi dan lagi, kondisi seperti ini tak terjadi satu dua kali, namun terus berulang, seolah tak menemui solusi. Masalah sesungguhnya adalah para buruh tidak bisa hidup dengan layak, apalagi sejahtera. Namun, pertanyaannya siapakah yang bertanggungjawab dan menjamin kehidupan yang layak untuk mereka? Apakah perusahaan?
Upah Dalam Islam
Bekerja merupakan salah satu sebab kepemilikan harta yang dihalalkan oleh syara’. Salah satu aktivitas dari bekerja adalah ijarah yaitu kontrak kerja.
Ijarah pada dasarnya adalah upaya seorang majikan (musta’jir) mengambil manfaat (jasa) dari dari seorang pekerja (ajir) dan upaya seorang pekerja untuk mengambil harta (upah) dari majikan. Artinya, ijarah adalah akad (transaksi) jasa dengan adanya suatu kompensasi (An-Nabhani, Taqiyyudin. Sistem Ekonomi Islam, 2015).
Upah ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama antara pemberi kerja dan pekerja sesuai dengan besarnya manfaat (jasa) pekerja yang harus diberi kompensasi. Karena itu upah bagi masing-masing pekerja akan beragam sesuai dengan manfaat (jasa) yang bisa ia berikan.
Dalam buku Fikih Ekonomi Umar Bin Khathab karya Dr. Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi disebutkan ketika Umar Radhiyallahu Anhu ingin mempekerjakan seorang pemuda yang miskin, maka beliau menawarkan kerjanya dan mengatakan "Siapakah yang akan mempekerjakan atas namaku pemuda ini untuk bekerja di ladangnya?" Maka seorang dari kaum Anshar berkata "Saya, Wahai Amirul Mukminin!" Beliau berkata "Berapa kamu memberinya upah dalam sebulan?" Ia menjawab "Dengan demikian dan demikian!" Maka beliau berkata "Maka, ambillah dia!"
Dalam penjelasan ini menjadi jelas bahwa upah adalah bagian dari transaksi kontrak kerja. Upah didapat atas kompensasi dari jasa yang diberikan pekerja. Dengan demikian, besarnya upah seorang pekerja bisa mencukupi kebutuhannya, bisa berlebih atau bahkan bisa saja kurang. Karena itu, upah yang diterima pekerja bukanlah penjamin seseorang dapat hidup layak atau tidak.
Lalu, bagaimana jika upah yang diterima pekerja tidak mencukupi kebutuhan hidupnya? Siapa yang akan menjamin hidup mereka?
Peran Negara Dalam Islam
Negara adalah ra'in dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Ra'in adalah pengurus, negara berfungsi mengurusi dan menjamin seluruh keperluan rakyatnya.
Negara dalam Islam wajib menjamin kebutuhan pokok rakyatnya baik kebutuhan individu (sandang, pangan, papan) maupun komunal (pendidikan, kesehatan, keamanan), melalui mekanisme yang sudah ditetapkan Allah.
Dalam menjamin kebutuhan individu rakyatnya, negara menjamin adanya pekerjaan bagi kepala keluarga agar mampu menghidupi keluarganya. Jika upah dari pekerjaan tidak mampu untuk menghidupi keluarganya, maka ia termasuk pada golongan fakir. Negara akan memenuhi kebutuhannya dari pos zakat di baitul mal.
Negara juga menjamin kebutuhan komunal bagi rakyat, yaitu pendidikan dan kesehatan tanpa pungutan biaya, karena pembiayaan pada fasilitas ini diambil dari pengelolaan kepemilikan umum. Dengan demikian, rakyat termasuk pekerja di dalamnya akan hidup dengan layak, bahkan sejahtera.
Negara yang mampu menjadikan rakyat sejahtera ini adalah negara Khilafah, negara yang berasaskan akidah Islam dan menerapkan seluruh aturan yang Allah turunkan. Khilafah juga akan mampu menghapus konflik yang tak kunjung usai antara pekerja dan perusahaan.
Berbeda dengan negara demokrasi kapitalisme saat ini, ia berlepas tangan pada pemenuhan kebutuhan rakyatnya, dan menyerahkan tanggungjawab kepada perusahaan, yang kemudian memicu konflik yang tak akan pernah menemukan solusi.
Wallahu'alam bi shawab.
COMMENTS