permendikbud ppks multitafsir
Oleh : Fathimah A S
Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang baru diundangkan memunculkan beragam kontra dari berbagai pihak. Permen ini diteken oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan pertimbangan banyak munculnya kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, dalam Permen ini ditemukan adanya notasi ambigu.
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai terbitnya Permendikbud ini tidak tepat lantaran mencantumkan persoalan 'persetujuan' atau 'consent' yang berarti bahwa beraneka tindakan akan masuk dalam konteks kekerasan seksual apabila tidak terdapat persetujuan dengan korban (news.detik.com, 06/11/2021). Sehingga, Permendikbud ini cenderung "berperspektif korban" yaitu adanya jaminan perlindungan untuk korban dan saksi kekerasan seksual. Aturan ini dilegalkan bukan menjadi dasar untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual, namun untuk melindungi korban. Dengan kata lain, adanya Permendikbud ini justru menjadi acuan peraturan yang berbahaya, karena dapat menjadi dasar kebolehan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual apabila dilakukan antara suka sama suka.
Selain itu, dalam penerapan Permen ini nanti juga terdapat Satuan Tugas yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Terkait hal ini, Pakar Kebijakan Publik, Prof. Dr. Purwo Santoso, mengungkapkan kerangka kebijakan Permen ini masih tidak jelas, yaitu terkait adanya Satuan Tugas tersebut. Menurut Prof. Purwo, sanksi ini masih menimbulkan pertanyaan, apakah perguruan tinggi akan mengambil alih tugas polisi dalam penindakan terjadinya kekerasan seksual, atau bagaimana?. Kemudian adanya muatan liberal yang terkandung dalam Permen tersebut, yaitu definisi kekerasan seksual yang menegaskan kata consent atau persetujuan (republika.co.id, 5/11/2021).
Adanya Permen ini justru berpotensi menjadi pintu legalisasi perzinaan di perguruan tinggi. Sebab, dalam pendefinisian kekerasan seksual pada pasal 5, menegaskan adanya consent atau persetujuan atau kesepakatan. Maksudnya adalah berbagai tindakan akan dikategorikan kekerasan seksual jika tidak dikehendaki oleh korban. Akan tetapi pertanyaannya adalah bagaimana jika dengan persetujuan korban?. Jika mengacu pada definisi tersebut berarti itu bukan kekerasan?. Akan tetapi, walau dengan persetujuan, apakah hal tersebut boleh dilakukan?. Inilah yang menjadi permasalahan, mengakibatkan adanya multi tafsir. Permen tersebut hanya mengatur ketika tindakan tersebut tidak dikehendaki. Akan tetapi, tidak mengatur apabila consent atau dikehendaki. Inilah yang berbahaya.
Padahal dalam Islam, baik itu dikehendaki atau tidak dikehendaki, sama-sama merupakan kejahatan. Apabila tindakan tersebut tidak dikehendaki maka termasuk pemerkosaan. Sementara, jika tindakan tersebut dikehendaki maka termasuk perzinaan. Keduanya merupakan kejahatan dan apabila dilakukan akan diberlakukan sanksi yang tegas.
Munculnya kasus kekerasan seksual di kampus ini juga merupakan efek ide liberal (serba bebas) yang menyasar kampus. Terlebih lagi, dengan adanya Permen ini, kini kampus menjadi objek liberalisasi seksual. Dan yang berbahaya adalah jika kasus yang muncul justru menjadi yang consent. Padahal, kampus seharusnya menjadi wadah untuk melahirkan generasi cemerlang yang mampu membawa pada perbaikan. Menuntut ilmu seharusnya bertujuan untuk ibadah, dan kampus menjadi bagian yang mengemban tugas mulia tersebut. Kampus berperan sebagai pendidik generasi ber-tsaqafah Islam yang mengoptimalkan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan problem umat. Hanya dengan penerapan Islam-lah tujuan pendidikan, yaitu melahirkan generasi bertakwa yang taat pada aturan Allah, dapat tercapai. Tidak seperti sekarang, yang mana kampus justru erat dengan liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dan menjauhkan generasi dari tujuan pendidikan yang seharusnya.
Wallahu A'lam Bi Shawwab
COMMENTS