pendidikan masa pandemi
Oleh: Rifdah Reza Ramadhan
Pandemi Covid-19 bukan hanya memberi dampak pada bidang kesehatan tapi juga tentunya berdampak pada bidang ekonomi. Yang mana banyak keluarga merasa kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidup termasuk salah satunya memenuhi biaya pendidikan. Hal itu membuat banyak sekali mahasiswa terpaksa harus berhenti kuliah, bahkan informasinya lebih dari setengah juta mahasiswa terpaksa berhenti kuliah di masa pandemi Covid-19 ini.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah (16/8). Beliau mengatakan angka putus kuliah sepanjang tahun lalu di Indonesia menyentuh angka 602.208 orang. Beliau juga mengatakan bahwa “Kita tahu kondisi saat ini bagaimana krisis pandemi Covid-19 menyebabkan angka putus kuliah naik tajam”. Informasi tersebut beliau dapatkan dari Layanan Pendidikan Kemendikburistek dan angka mayoritas mahahsiswa yang putus kuliah adalah dari perguruan tinggi swasta. Beliau pun mengatakan bahwa angka putus kuliah sebelumnya adalah 18%, sedangkan di masa pandemi Covid-19 naik drastis hingga 50%.
Adapun beasiswa yang biasanya ada adalah berfokus pada asnaf fakir, miskin atau fisabilillah. Tapi pada masa pandemi Covid-19 ini banyak sekali mahahsiswa yang terdampak sehingga mempengaruhi mereka untuk berhenti kuliah, yaitu merasa kesulitan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya kuliah lainnya pada saat pandemi Covid-19 ini. Bahkan menurut survei yang dilakukan oleh BEM Universitas Indonesia, 72% dari 3.321 mahasiswa mengaku kesulitan membayar biaya kuliah. Bahkan jauh sebelum pandemi pun sebetulnya biaya kuliah sudah dinilai mahal dan tidak disangka bahwa Indonesia termasuk pada 15 negara dengan biaya pendidikan termahal menurut survey HSBC. Indonesia masuk pada peringkat ke 13 dari daftar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia (16/04/2018).
Sebetulnya pada saat sebelum pandemi Covid-19 pun sudah banyak anak muda di Indonesia yang tidak memiliki kesempatan untuk menjalani pendidikan. Hal itu bisa dilihat dari minimnya penyediaan infrastruktur sekolah, perguruan tinggi, universitas dan fasilitas pendidikan berkualitas lainnya. Dan saat pandemi Covid-19 ini anak muda semakin kesulitan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan tersebut.
Padahal di masa muda ini pemuda memasuki masa keemasan. Di sini lah pemuda seharusnya dapat memaksimalkan pikirannya, kekuatannya dan juga kemampuannya untuk menyiapkan diri bagi masa depan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa masa depan negara bahkan dunia ada ditangan pemuda saat ini yaitu salah satunya ada di tangan mahasiswa. Bila kuliah harus putus di masa pandemi Covid-19 ini, maka akan berdampak pula pada kualitas pemuda.
Bila pendidikan pemuda terhambat maka akan melahirkan pemuda yang minim akan kesadaran dan dikuasai ketidakmengertian, seperti yang dikatakan oleh Aab Elkarimi bahwa “Akar masalah yang terjadi sebenarnya adalah ketidakmengertian yang dibiarkan. Dan pembiaran ini secara otomatis telah menjual masa depan yang padahal masih sangat mungkin kita perbaiki”.
Lantas bila pemuda kehilangan potensi intelektualnya, maka jelas akan berdampak besar pada generasi-generasi yang akan datang. Ini menjadi sebuah masalah yang serius bagi negara dan menunjukan pula bahwa pandemi Covid-19 ini sangat amat berdampak luas ke berbagai bidang, bahkan hingga sampai berdampak pada mahasiswa-mahasiswa di seluruh Indonesia.
Ini merupakan salah satu akibat pula dari kapitalisasi pendidikan yang mana menyebabkan carut marut mahalnya biaya kuliah. Negara dibuat tidak mampu membiayai penyelenggaraan urusan masyarakat pada sistem ini. Pada sistem ini pula mengaharuskan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada pihak swasta. Semua sektor dijadikan lahan bisnis yaitu dengan dibukanya sector untuk swasta, termasuk pendidikan. Maka jika pun ada beasiswa maka tidak akan bisa dirasakan oleh seluruh mahasiswa, sebab banyak keterbatasan kuota dan lainnya. Ditambah negara belum mampu menyiapkan perguruan tinggi yang berkualitas dan malah semakin besarnya kepentingan pasar pada dunia pendidikan.
Hal ini semakin menegaskan bahwa negara belum mampu menangani permasalahan pendidikan ini, padahal pendidikan adalah perkara penting dan fatal sekali bila tidak kunjung mendapatkan solusi.
Tentu solusi yang dibutuhkan adalah solusi yang menyeluruh, mengakar dan dapat menyelesaikan, bukan solusi yang hanya mampu membenahi sebagaian sedang membiarkan yang lainnya semakin mengakar dan rusak. Kita bisa melihat pada sistem pendidikan di era Kehilafahan dahulu, yaitu banyak lembaga pendidikan yang terus menerus berkembang hingga sekarang, bahkan nama-nama lembaga pendidikan Islam mengalami puncaknya, yaitu puncak kejayaan sekaligus menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam.
Karena Islam sangat menganggap penting pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar. Di dalam Islam pendidikan dijamin terpenuhi dan mewajibkan negara untuk dapat memberi pelayanan yang terbaik kepada rakyatnya. Itu karena di dalam Islam menuntut ilmu merupakan kewajiban.
Pendidikan di era Islam bisa dilihat pada era keemasannya, yang mana memberikan bukti dan pengakuan dunia serta menariknya pendidikan terbaik ini diberikan secara gratis pada masa itu kepada seluruh rakyat. Tapi hari ini pendidikan yang kita rasakan seakan berbanding terbalik. Pendidikan gratis dan berkualitas itu bisa diwujudkan di dalam sistem Islam. Yang mana menggunakan hasil kekayaan yaitu dikelola langsung oleh negara. Hal tersebut membuat rakyat mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan juga layanan publik yang layak.
Maka begitulah kondisi hari ini yang terjadi, semua permasalahan seakan menularkan kepada masalah yang lain dan berdampak serius. Mudah-mudahan kita dapat segera mengambil solusi yang tepat yaitu solusi yang menuntaskan berbagai permasalahan termasuk masalah pendidikan. Yaitu dengan solusi Islam lah dapat terealisasikan dan terselesaikan.
COMMENTS