cek saldo tabungan bayar
Oleh: Nur Rahmawati, S.H. | Penulis dan Pemerhati Kebijakan
Beredar kabar akan diberlakukannya pengenaan biaya cek saldo dan tarik tunai di ATM Link pada 1 Juni 2021 akan diundur. Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Kementerian BUMN memberikan putusan untuk mengundur rencana tersebut guna sosialisasi ke masyarakat dapat masif dilakukan.
Dilansir dari Detik.com, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dan Staf Ahli Menteri BUMN Arya Sinulingga memberikan pernyataan, "Memang kita undur," Dia menyebutkan alasan pengunduran atau penundaan jadwal ini agar sosialisasi ke masyarakat bisa cukup dan masif. (29/5/2021).
Rencana tersebut tidak lantas menghilangkan kekecewaan masyarakat. Biaya yang seharunya tidak dibebankan pada masyarakat atas jasa dari pihak bank, tetap diberlakukan. Mengingat bahwa masyarakat telah membayar jasa bulanan atas fasilitas yang ditawarkan oleh bank, seharusnya wajar jika nasabah menerima jasa tersebut tanpa tambahan biaya kembali.
Rencana biaya yang akan diberlakukan, cek saldo melalui ATM Link dikenakan biaya Rp 2.500, sementara tarik tunai Rp 5.000, dari sebelumnya Rp 0 alias gratis. Untuk transfer tak mengalami perubahan yakni Rp 4.000. Walaupun diklaim bahwa biaya tersebut lebih murah daripada transaksi selain ATM Link.
Apakah ini cara baru memalak uang masyarakat secara otomatis ketika cek saldo atau tarik tunai? Bayangkan jika satu orang saja cek saldo dan tarik tunai untuk sekali transaksi menjadi Rp. 7.500, bayangkan jika puluhan, ratusan bahkan ribuan orang melakukan transaksi setiap harinya, maka bank benar-benar panen uang nasabah. Banyak alasan yang dikemukakan oleh pihak berkepentingan soal ini tak dapat diterima, pasalnya penggunaan ATM Link sebenarnya telah membantu dan mempermudah pihak bank dengan mengurangi penuh sesaknya nasabah mengantri di bank akhirnya dapat teratasi. Namun, ironinya kemudahan ini justru dikenakan biaya lagi kepada nasabah yang seharusnya gratis.
Jika diamati, ini akan menjadi gaya baru dalam menarik uang masyarakat. Padahal sebagian orang hidup susah, berharap menggunakan jasa bank untuk memudahkan transaksi justru harus dibebankan biaya lagi dan lagi. Sejatinya negeri kita kaya akan sumber daya alam yang dapat dijadikan sumber biaya negara guna memberikan pelayanan publik yang gratis dan terbaik. Sayangnya, saat ini sumber tersebut diintervensi oleh asing dan kita si pemilik tidak berkuasa atau bahkan lebih parahnya tidak dapat menikmatinya secara benar.
Inilah buah dari sistem kapitalisme, yang menjadikan si pemilik modal berkuasa. Mereka yang kuat akan dapat menyetir sesui keinginannya, meski akan merugikan rakyat. Mengusai sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat hanya tersurat dalam pasal yang minim implementasi.
Berbeda dengan sistem Islam, yang menjadi kemaslahatan umat sebagai prioritas, dengan menjadikan Al Qur'an, As-sunah, Ijma dan Qiyas sebagai sandaran hukumnya. Sumber Daya Alam (SDA) yang ada benar-benar akan dikelola oleh negara guna pembiayaan negara untuk mengurusi urusan umat, memenuhi kebutuhan rakyat di semua aspek. Tak terkecuali dengan pelayanan publik yang pembiayaannya dibebankan oleh negara. Sehingga, rakyat tidak lagi dipusingkan soal pelayanan publik.
Pada pengelolaan SDA pun tidak ada intervensi pihak asing, negara berkuasa penuh untuk mengelola dan memanfaatkannya untuk rakyat. Inilah salahsatu cara mendapatkan modal untuk membiayai negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Bukan membebankannya pada rakyat yang semestinya menjadi tanggungjawab negara.
Maka, sudah saatnya mengambil Islam sebagai solusi semua problem kehidupan. Baik kehidupan individu, masyarakat dan negara. Sehingga, kesejahteraan hidup menjadi sebuah keniscayaan.
Wallahu alam bishawab.
COMMENTS