pajak dalam islam
Oleh Umi Jamilah (Aktivis Muslimah)
Hutang dalam Islam diperbolehkan, asal sesuai dengan syariah Islam. Akan tetapi apabila berhutang untuk hal yang tidak urgen dalam pengurusan umat maka tidak dibenarkan. Seperti yang terjadi baru-baru ini, bahwa pemerintah banyak berhutang dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Nyatanya hutang sudah diambang batas normal sehingga harus mencari dana untuk pemasukan kas negara dan berencana akan mengambil pajak dari rakyat.
Rencana dari kebijakan Kemenkeu, Sri Mulyani yang akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako dan sekolah. Rencana ini akan diatur dalam revisi UU nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (cnnindonesia.com, 12/06/2021).
Dari rencana tersebut, banyak penolakan dari masyarakat luas. Pasalnya, kebutuhan pokok sembako dan pendidikan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Saat pandemi belum berakhir seperti ini, untuk memenuhi keutuhan akan makan saja susah, apalagi ketika kebutuhan tersebut dikenakan pajak, maka rakyat makin tercekik.
Inilah imbas dari negara yang sumber daya alamnya dikuasai asing dan kebijakannya 'disetir' asing, menjadikan pemenuhan kebutuhan rakyat jadi terabaikan dan hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang saja yaitu para kapitalis.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta pemerintah untuk membatalkan rencana tersebut. Pengenaan pajak PPN secara otomatis akan membuat harga sembako dan pendidikan akan naik tajam.
Di sini Islam tidak akan menzalimi rakyatnya dan akan mengatur sumber-sumber pemasukan sesuai syariah. Islam akan mengambil pajak ketika kas negara (Baitul mal) dalam keadaan kosong dan hanya mengambil pajak pada kaum laki-laki muslim yang berkelebihan harta (kaya). Harta orang kaya adalah harta yang merupakan sisa dari pengeluaran kebutuhan primer dan sekunder.
Beberapa sumber pemasukan Baitul mal antara lain : Fa'i, Ghonimah, Anfal, Kharaj, Jizyah dan pemasukan dari hak milik umum, pemasukan hak milik negara, Usyur, Khumus, Rikaz, Tambang serta zakat. Akan tetapi harta zakat hanya untuk delapan kelompok (ashnaf) yang telah disebutkan dalam Al-Quran.
Harta pemilikan umum juga akan diletakkan pada Baitul mal yang khusus dan harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan umat. Sedangkan harta yang lain juga masuk pada pos-pos Baitul mal yang lain. Apabila tidak cukup, maka negara boleh mewajibkan pajak (dharibah) atas seluruh kaum muslim.
Sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan oleh syariah untuk Baitul mal. Sesungguhnya telah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka, Sehingga tidak perlu lagi memungut pajak. Meskipun demikian, syariah telah mengklasifikasi kebutuhan umat.
Di dalam kitab Nidzom Iqtisodi karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani mengklasifikasikan kebutuhan umat menjadi dua, yaitu : pertama, kebutuhan yang difardukan sebagai sumber pendapatan tetap. Kedua, kebutuhan yang difardukan atas kaum muslim sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari mereka.
Pajak (dharibah) sebenarnya merupakan harta yang difardukan oleh Allah SWT atas kaum muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Allah telah menjadikan imam/Khalifah sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan membelanjakan kebutuhan sesuai syariah. Rasulullah Saw bersabda.
"Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” (HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7)
Islam memperbolehkan pengambilan pajak tetapi melarang pengambilan bea cukai (mukus) dari kaum muslim atau non-muslim (kafir dzimmi). Karena tidak boleh mengambil harta seorang muslim sedikit pun selain dengan cara haq sesuai syariah. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S. An Nisa:29)
Pajak dalam Islam diambil berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara. Karena masalah belanja negara akan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyat dan kemampuan kaum muslim ketika membayarnya. Ketika kebutuhan pokok rakyat belum terpenuhi maka rakyat tersebut tidak diwajibkan. Inilah keadilan dalam Islam ketika memenuhi kebutuhan rakyat saat menjalankan aturan yang datangnya dari Rabb semesta alam.
Wallahualam bissawab.
COMMENTS