jaksa pinanki potongan hukum
Oleh: Mustaqfiroh | Ibu rumah tangga
Publik kembali menyorot Pengadilan Tinggi PT Jakarta setelah keputusan penyunatan hukuman jaksa pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Padahal, dirinya telah terbukti sebagai aparat penegak hukum yang melakukan korupsi dan tindak pencucian uang.
Beberapa pasal yang dinyatakan telah dilanggar Pinangki yakni, Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pasal 15 dan pasal 13 UU Tipikor tentang pemufakatan Jahat. Dan juga melanggar pasal pencucian uang, yakni pasal 3 UU Nomor 8 tahu. 2010 tentang pencegahan dan TPPU.
Keputusan bulat diambil oleh lima hakim tinggi yakni, Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Laffat Akabar, dan Reny Hilda Ilham Malik. Keputusan itu diambil lantaran terdakwa telah menyesali perbuatannya dan ia adalah seorang wanita dan ibu yang memiliki anak masih balita (4 tahun) sehingga layak mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil termasuk diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.(detik.com 20/06/2021).
Dilansir dari detik com, Minggu 20/6/2021, nama- nama tersebut tercatat hakim yang kerap menyunat hukuman para terdakwa kasus korupsi. Salah satunya pembobol Jiwasraya, Syahmirwan selaku kepala Devisi investasi dan keuangan Asuransi Jiwasraya dari dakwaan seumur hidup menjadi 18 tahun penjara.
Kasus Mantan Jaksa Pinangki telah mencederai rasa keadilan di masyarakat dan semakin menunjukkan kuatnya mafia peradilan di Indonesia. Rasa kekecewaan masyarakat di tunjukkan dengan sudah lebih 16.542 orang yang telah menandatangani petisi agar jaksa mengajukan kasasi atas vonis Pinangki yang sudah disunat. Banyak dari mereka yang meminta agar hukuman itu ditambahkan dan juga disertai pemiskinan.
Harapan kosong di sistem Kapitalisme
Kasus Pinangki, salah satu kasus dari banyaknya kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Dalam sistem kapitalisme – demokrasi, wajar terjadi. Sebab, sistem hukum buatan manusia mengandung banyak kelemahan, rentan untuk dipermainkan dan selalu digunakan sesuai kepentingan, sehingga harapan kosong di sistem ini untuk bisa meraih rasa keadilan dan mencegah kejahatan.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, ketidakadilan hukum di pertontonkan layaknya sebuah drama. Hukum mudah sekali perjualbelikan sesuai kepentingan. Hukum pun mudah diganti sesuai pesanan orang yang berkepentingan. Jika hukum sudah ter nodai dengan kepentingan kekuasaan, maka saat itu hukum tidak bisa lagi melihat mana yang benar dan mana yang salah. Pada akhirnya, kebenaran di tentukan oleh mereka yang memegang kendali kekuasaan. Bagaimana mewujudkan keadilan, sementara hukum bisa berubah sesuai kepentingan manusia?
Islam mewujudkan keadilan hukum
Islam memandang kata adil yakni menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Keadilan akan terwujud ketika sesuatu ditempatkan pada yang seharusnya. Agar terwujud, juga diperlukan standar untuk menilai adil dan keadilan tersebut. Hanya Allah SWT yang merupakan zat yang maha adil dan memiliki keadilan. Oleh karena itu, standar keadilan harus bersumber dari Allah SWT yakni syariah Islam. Jika kita mengambil standar dari selain Allah SWT, maka kezaliman yang akan terjadi. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya dalam surat Al Maidah ayat 45 yang artinya;
“siapa saja yang memutuskan perkara tidak dengan Wahyu yang Allah turunkan, itulah kaum yang zalim”.
Sejak awal, sistem hukum Islam mampu mendeskripsikan mana yang masuk bagian kejahatan dan menetapkan sanksinya. Sanksi di dalam Islam tidak hanya sebagai hukuman semata, namun sebagai penebus dosa dan pemberi efek jera, agar yang lain tidak melakukan hal serupa.
Legislasi hukum di dalam tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Sebab berasal dari Allah SWT, sehingga tidak seorang pun yang bisa memanipulasi ataupun mengotak katiknya.
Dengan demikian, keadilan di tengah masyarakat hanya bisa terwujud dengan diterapkan syariat Islam secara Kaffah serta menghakimi segala perkara dengan syariah Islam. Seorang pengadil (Qadhi) dalam memutuskan setiap perkara memiliki integritas atas dasar keimanan dan rasa takut kepada azab Allah SWT kelak di akhirat, sehingga akan memutuskan secara adil.
Selain itu, dengan penerapan syariah Islam Kaffah, suasana keimanan akan terbangun melingkupi individu dan masyarakat. Dengan itu, semua akan terlibat di dalamnya baik penuntut dan yang dituntut akan diliputi suasana keimanan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita saling bahu-membahu dalam memperjuangkan penerapan syariah Islam Kaffah, agar keadilan meliputi seluruh kehidupan kita.
Wallahu’alam bish showab.
COMMENTS