hukum penista agama
Oleh: Pipit Agustin (Koordinator JEJAK)
Viral sebuah video seorang Youtuber, Jozeph Paul Zhang (JPZ) mengaku sebagai nabi ke-26. JPZ menyampaikannya dalam forum diskusi zoom yang disiarkan di kanal YouTube pribadinya dengan tema "Puasa Lalim Islam".
Dalam video tersebut, JPZ membuat sayembara bagi siapa saja yang melaporkannya kepada polisi dengan mengaku sebagai nabi ke-26.
Ucapannya dalam video telah menyinggung umat Islam apalagi di tengah kekhusyukan menjalani ibadah puasa Ramadan.
Lagi-lagi, kaum muslim terus diteror penistaan. Kerusakan moral dan humanisme baik di sektor privat ataupun publik, menjadi realitas yang kini dihadapi. Umat beragama saling menista ajaran dan kesucian simbol-simbol agama tanpa ada yang bisa menghentikannya.
Masyarakat dunia serempak memiliki penyakit mental yang berawal dari pembangkangan mereka terhadap ajaran agama dan memisahkannya dari kehidupan (sekuler). Padahal aturan agama (syariat Islam) diturunkan bersifat sederhana dan kompleks dalam menjaga keharmonisan relasi sosial kehidupan masyarakat.
Watak liberal yang disandang sekularisme turut memberi andil terhadap penistaan agama. Islamofobia yang keras menekan para pembenci Islam untuk semaunya berbuat angkaramurka.
Mereka jumawa mengolok-olok Islam. Peradaban sekuler juga telah mereduksi nilai-nilai sakral agama; hanya dianggap berharga di rumah ibadah semata.
Para penista agama memiliki kepercayaan diri yang tinggi bahwa mereka akan selamat dari jerat hukum. Hal ini berkaca dari kasus penistaan yang terjadi sebelumnya. Belum satupun mendapat proses hukum yang memadai (adil) apalagi membuat jera. Jadi, JPZ tidak sendirian. Ia menambah barisan para penista makin panjang dan makin kebal hukum.
Bisa jadi masyarakat akan tetap memberi apresiasi atas kinerja pihak yang berwajib dalam memproses pelaku penistaan. P0lri turun tangan menindaklanjuti kasus itu, kemudian memburu keberadaan pria tersebut yang terindikasi berada di Jerman.Saat ini status Joseph sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim P0lri terkait dugaan tindak pidana penodaan agama dan terancam pasal berlapis.
Namun demikian, publik juga pantas pesimis, sebab kasus penistaan agama sebelumnya tak kunjung tuntas. Sanksi terhadap pelaku seringkali membuat publik kecewa karena tak membuat pelaku jera. Bahkan menambah jumlah pelaku baru yang tak kalah kejinya.
Begitu berat hidup sebagai muslim meski di negeri mayoritas. Tak pelak, turut berkembang perilaku defensif apologetik demi dianggap tidak berbeda dengan agama yang lain, cenderung cuek terhadap para penista hingga akhirnya tidak mampu berbuat apa-apa.
Dengan menganggap "sama" semua agama, bagaimana kaum muslim mampu mewujudkan kemuliaan Islam yang telah diberikan Allah Swt.? Apalagi kini dunia maju telah tertimbun dekadensi moral, yakni jumlah kerusakan dahsyat perilaku manusia.
Fatalnya, saat spirit toleransi beragama digaungkan, justru manusia sekuler melakukan penistaan masif terhadap Islam, baik ajaran agamanya, nabinya, hingga simbol-simbol agamanya sebagai gaya hidupnya atas nama HAM dan prinsip kebebasan.
Khatimah
Inilah fenomena kerusakan yang dirasakan di seluruh penjuru dunia. Bagaimanapun, demokrasi sekuler adalah sistem destruktif yang menghancurkan tatanan masyarakat.
Untuk menghentikan destruksinya, butuh solusi struktural bukan individual ataupun komunal. Ini bukan sekadar soal sanksi hukumnya. Namun, soal tata nilai kehidupan kita yang salah jalan. Kita latah membebek pada Barat dengan mengadopsi aturan sekuler, memisahkan agama dalam mengatur kehidupan. Kita lebih percaya pada nilai-nilai liberal dan kebebasan dalam platform demokrasi daripada petunjuk Wahyu. Hingga pada akhirnya, para penganjur kebebasan itu menjerumuskan kita pada kehinaan dan menginjak-injak kemuliaan agama kita, nabi kita, dan syariat Islam yang mulia.
Umat Islam patut berkaca pada para pemimpin di masa Islam, yakni para Khalifah. Mereka telah memberi teladan kepada umat Islam dalam menyikapi para penista agama. Adalah Khalifah Abu Bakar ash- Shiddiq misalnya, pernah memerintahkan untuk membunuh penghina Rasulullah saw.. (Lihat: Abu Daud rahimahullah dalam Sunannya hadis No. 4363)
Begitupula dengan Khalifah Umar bin Kaththab ra. Beliau pernah mengatakan, “Barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia!” (Diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah yang bersumber dari Mujahid rahimahullah)
Di abad 19, Sultan Hamid II, sultan ke-34 dari Kekhalifahan Utsmaniyah pun pernah marah terhadap Prancis. Saat itu, surat kabar Prancis memuat berita tentang rencana pertunjukan teater yang menampilkan sosok Nabi Muhammad saw.. Sultan mengatakan, “Ini penghinaan terhadap Rasulullah. Aku tak akan mengatakan apa pun. Mereka menghina Baginda kita, kehormatan seluruh alam semesta.”
Bahkan, Sang Sultan mengatakan, “Aku akan menarik pedang ketika sedang sekarat. Aku akan menjadi debu dan terlahir kembali dari debuku, dan berjuang bahkan jika mereka memotong leherku, mencabik-cabik dagingku demi melihat wajah Baginda Nabi saw.. Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut,”.
Sultan Abdul Hamid berkata dengan nada geram sambil melemparkan koran kepada delegasi Prancis. (Film Payitaht bersumber dari catatan harian Sultan Abdul Hamid saat menjabat sebagai Khilafah).
Hari ini, dunia benar-benar butuh Khilafah. Negara yang memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada prinsip kebebasan kufur internasional. Khilafah memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam kafah, menjaga toleransi yang sesungguhnya, dan memuliakan agama serta penganutnya dengan jaminan yang tiada duanya.
Hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan kehidupan ketika demokrasi sekuler hanya menciptakan kesemrawutan relasi beragama tanpa pernah bisa menyelesaikannya.
COMMENTS