Pembangunan Manusia Basis Gender
Oleh : Yuniasri Lyanafitri
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan tahun 2019 masih berada di bawah laki-laki yaitu 69,18, sedangkan nilai IPM laki-laki 75,96. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyebutkan bahwa angka tersebut menunjukkan realita masih banyaknya ketimpangan yang dihadapi perempuan hingga saat ini, mulai dari ekonomi hingga kasus kekerasan yang menimpa perempuan. (kemenpppa.go.id 25/03/2021)
Menurut Menteri Bintang ada faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya nilai IPM perempuan yaitu konstruksi sosial patriarki. Konstruksi sosial ini menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki, atau bisa disebut dengan warga kelas dua.
Perempuan lebih diberi beban tanggung jawab dalam urusan rumah tangga. Bahkan, sering terdengar pernyataan bahwa perempuan itu hanya memiliki peran di dapur, sumur, dan kasur. Sehingga hal ini ikut serta menimbulkan dampak ketertinggalan perempuan yang kurang produktif secara finansial dibandingkan dengan laki-laki.
Apalagi berdasarkan pernyataan McKinsey Global Institute Analysis, bahwa Indonesia dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 135 miliar per tahun di tahun 2025, dengan catatan partisipasi ekonomi perempuan terus ditingkatkan pula. (kemenpppa.go.id 25/03/2021)
Oleh karena itu, pembangunan manusia berbasis gender dinilai bisa menjadi solusi atas ketimpangan IPM ini. Karena pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Dan dalam prosesnya akan sangat bergantung pada kualitas manusia itu sendiri, sebagai makhluk hidup yang hidup di dalam perubahan tersebut. Ditambah, isu kesetaraan gender merupakan hal penting yang telah menjadi tujuan perencanaan pembangunan berkelanjutan baik pada tingkat nasional maupun global.
Ketimpangan IPM ini merupakan hasil pengukuran secara parsial antara IPM laki-laki dan IPM perempuan dalam dimensi pendidikan, dimensi kesehatan, dan dimensi ekonomi. Jadi, dari ketiga dimensi tersebut dilihat seberapa besar hasil komponen yang mewakilinya berturut-turut yaitu Harapan Lama Sekolah (HLS), Angka Harapan Hidup (AHH), dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS), serta Pendapatan Nasional Bruto (PNB) perkapita.
Benarkah menjadi solusi praktis?
Dilihat dari cara penghitungan yang dilakukan untuk menghasilkan nilai IPM antara laki-laki dan perempuan saja sudah tidak wajar. Karena dalam penghitungan tersebut menempatkan laki-laki dan wanita sebagai individu yang setara untuk dibandingkan. Padahal dilihat dari sisi mana pun terdapat perbedaan yang sangat jelas antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, otak laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan pada lapisan penghubung (korpus kalosum). Pada perempuan lapisan penghubung ini lebih tebal daripada milik laki-laki. Hal ini menjadikan perempuan lebih multitasking dalam pekerjaannya. Perempuan juga akan lebih cerewet daripada laki-laki. Dan hal yang paling mendasar yaitu laki-laki lebih sering menggunakan logikanya saat perempuan terkungkung dalam perasaannya. (Felix Siauw, Wanita Berkarir Surga: 76-93)
Kedua, tubuh laki-laki dan wanita jelas memiliki perbedaan secara anatomi. Lebih detailnya lagi, perempuan suka terhadap sentuhan daripada laki-laki. Hal ini karena kulit perempuan yang lebih sensitif dan tipis dibanding laki-laki. Kemudian hormon testosteron pada laki-laki lebih berlimpah daripada perempuan, yang menjadikan laki-laki lebih banyak memiliki masa otot daripada lemak. Sedangkan perempuan sebaliknya.
Ketiga, dari perbedaan fisik tersebut menjadikan perbedaan peran dalam kehidupan. Laki-laki yang lebih logis, kuat, dan fokus akan menjadikannya seorang pemburu. Maka pantas laki-laki dituntut untuk mencari nafkah. Sedangkan perempuan, lebih lembut dengan perasaannya dan multitasking, menjadikannya seorang ibu yang mampu untuk mencetak anak-anaknya menjadi generasi gemilang.
Allah swt. berfirman, yang artinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (terjemah Q.S. An-Nisa : 32)
Sehingga sangat tidak adil jika laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan setara. Terlebih menempatkan perempuan untuk bisa bersaing dengan laki-laki. Padahal membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, seharusnya memiliki kriteria dan jenis yang sama.
Ditambah lagi, pada faktanya, secara bersamaan kesetaraan gender memberikan dampak perlahan tapi pasti dalam menghancurkan setiap sisi kehidupan.
Pertama, perempuan akan merasa setara dengan laki-laki. Sehingga dia menuntut untuk diperlakukan sama seperti laki-laki. Misalnya, peran di dalam rumah tangga. Seorang perempuan yang juga ikut bekerja, akan merasa kelelahan sehingga seringkali pekerjaan rumah terabaikan. Kemudian anak-anaknya akan diasuh dan dirawat di tempat penitipan anak atau oleh babysitter. Padahal dalam hukum Islam, perempuan bekerja merupakan mubah. Sedangkan wajib hukumnya dalam merawat dan mendidik anaknya.
Apalagi jika suaminya tidak bekerja, perempuan akan merasa lebih berkuasa daripada suaminya. Sehingga terjadilah kekacauan peran yang bisa menyebabkan rentetan masalah turunannya. Seperti, perselingkuhan, perceraian, KDRT, dan lain sebagainya.
Bahkan lebih parahnya lagi, perempuan yang sukses dalam karirnya berpikir bahwa dia tidak memerlukan sosok suami dan anak. Karena hal tersebut bisa mengganggu kelancaran dalam karirnya. Jika hal ini terus terjadi, maka angka kelahiran akan turun hingga mencapai 0%, sebagaimana kasus serupa yang terjadi di negeri matahari.
Kedua, penyimpangan sosial dalam pergaulan. Anak-anak yang kurang perhatian dan pantauan dari orang tuanya seringkali akan terjerumus pada pergaulan yang tidak terkendali. Seperti, seks bebas, hamil diluar nikah, aborsi, lgbt, kenakalan remaja (balap liar, bullying, judi), hingga terlahir generasi yang amoral, bobrok, bebas tanpa batas.
Ketiga, dampak dari kerusakan-kerusakan tersebut yaitu tercipta masyarakat yang acuh tak acuh dan individualis. Karena setiap manusia hanya akan sibuk mengurusi urusan dan kehidupannya masing-masing tanpa tahu dan mau mengetahui urusan orang lain, begitu sebaliknya.
Maka pembangunan manusia yang dimaksud di atas jelas tidak akan tercipta jika solusi yang diberikan malah semakin memperparah keadaan. Hal ini karena solusi tersebut dibangun oleh sistem kapitalis. Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan dan manfaat bagi para pemodal. Sistem yang memiliki asas sekuler dan liberal. Sehingga akan sangat besar kemungkinan terjadi masalah turunan dalam setiap solusi yang diberikan.
Karena sejatinya pembangunan manusia terbentuk dari adanya peradaban. Sebuah peradaban akan terbentuk dengan adanya manusia dan mabda atau ideologi yang diemban manusia itu. Mabda yang benarlah yang akan membawa manusia pada peradaban yang unggul dan gemilang.
Dan di dunia ini satu-satunya mabda yang benar hanyalah Islam. Karena Islam menempatkan manusia sesuai dengan fitrahnya. Tidak memaksakan peran satu sama lain. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk meraih ridha Allah dengan jalan yang berbeda dengan potensi dan kesanggupan masing-masing.
Islam tidak menilai laki-laki dan perempuan hanya dari tiga dimensi sebagaimana kapitalis. Dengan Islam, persaingan posisi antara laki-laki dan perempuan hanya pada tingkat ibadahnya kepada Allah swt. Dan perbedaan antara keduanya malah menjadikan kekuatan untuk saling berkolaborasi meningkatkan ketakwaan dan ketaatannya semata-mata hanya kepada Allah swt.
Wallahu’alam bishshowwab
COMMENTS