tebang pilih kebijakan islami
By: Iseu Sutinah (Pendidik)
Sungguh memprihatinkan, negeri demokrasi sekuler menjadikan syariat layaknya hidangan prasmanan. Syariat jilbab dipersoalkan, pasar dinar-dirham diperkarakan, ulama dikriminalkan, ormas Islam dibubarkan. Namun pada saat yang sama, dana umat seperti wakaf, zakat, haji, dan syariat lain yang berkenaan dengan materi, diapresiasi.
Sebagaimana ramai dikabarkan media beberapa hari ini, Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah Depok ditangkap Bareskrim Mabes Polri karena dianggap menggelar transaksi memakai mata uang dinar dan dirham. Sosok pendiri Muamalah Depok ini ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan, berdasarkan ketentuan pasal 9 UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan Pidana dan/atau pasal Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Terkait hal ini, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan transaksi menggunakan koin dinar dan dirham di Pasar Muamalah tersebut melanggar aturan sistem keuangan Indonesia. Menurut Ma’ruf, penggunaan mata uang Rupiah sudah diatur dan menjadi alat transaksi yang sah dalam sistem keuangan Indonesia. Karena itu, pemakaian dinar dan dirham untuk alat transaksi dianggap tak sesuai aturan.
Namun, berbeda halnya dengan fakta yang terjadi di tempat lain. Misalnya, di Pasar Gemblung Magelang yang mewajibkan pengunjung bertransaksi dengan mata uang Geblo, Food Court Eat n Eat di sejumlah mall yang bertransaksi dengan kartu, transaksi pembayaran tol dan transaksi online atau offline yang menggunakan e-money seperti OVO, Go-Pay, LinkAja, Flazz, Brizzi dan lain-lain tidak pernah dipersoalkan secara hukum. Padahal Pasar Muamalah dengan dinar dirham juga bukan kejahatan, melainkan sebuah transaksi bisnis yang berlaku pada suatu komunitas.
Menariknya ditengah kriminalisasi dinar dan dirham, pemerintah justru menggalakkan program wakaf. Potensi wakaf yang tinggi akan menjadikan Indonesia berpredikat sebagai “negara paling dermawan di dunia” versi Charities Aid Foundation (CAF).
2000 triliun menjadi angka yang cukup fantastis sebagai potensi wakaf barang, dan potensi wakaf uang bisa menembus Rp188 triliun. Hal tersebut disebutkan Presiden Jokowi dalam acara peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang (GWNU) dan Brand Ekonomi Syariah (Masyarakat Ekonomi Syariah atau MES) pada Senin 25/1/2021 di Istana. (finance.detik.com, 26/1/2021). Beliau menjelaskan, mulai saat ini wakaf tak boleh hanya bertujuan untuk ibadah, tapi juga harus bisa dikembangkan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di dalam masyarakat. Sementara wapres Ma’ruf Amin pun mengapresiasi GNWU untuk bisa dikelola dengan profesional dan modern agar nantinya bisa lebih diminati kalangan menengah ke atas, seperti kalangan milenial ataupun sosialita.
GNWU dan MES, keduanya adalah aksi massal yang juga mengandung istilah syar’i. Namun sejatinya hal tersebut perlu ditinjau kembali agar umat memahami secara pasti mekanisme keduanya. Apakah betul betul syar'i atau sebaliknya? Pasalnya program yang dianggap syar'i dengan sasaran kebijakan adalah umat islam menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan, mengingat saat ini banyak kebijakan yang anti islam. Kasus Zaim Saidi ini contohnya, yang merupakan entrypoint untuk membidik sasaran yang sebenarnya yakni islam dan kaum muslimin.
Hilang Kepercayaan
Pandemi telah semakin memporak porandakan perekonomian nasional yang memang sudah terpuruk. Anjloknya penerimaan pajak membuat APBN semakin tak karuan. Oleh karenanya, pemerintah mencari instrumen alternatif dalam pemulihan ekonominya. GNWU pun menjadi harapan dalam mendukung percepatan pembangunan nasional.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah menunjuk sejumlah lembaga keuangan syariah untuk memudahkan masyarakat menyetorkan dana wakaf uang. Wakaf uang bisa diinvestasikan melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk, yang imbalannya disalurkan oleh nazhir (pengelola dana dan kegiatan wakaf) untuk membiayai program sosial dan pemberdayaan ekonomi umat. Programnya disebut Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS).
Namun, semangat penguasa dalam mengelola dana wakaf disambut negatif oleh umat. Masyarakat telanjur kecewa dan menyangsikan pemerintah mampu mengelola dana umat tersebut. Pasalnya, masih banyak pekerjaan rumah (PR) pemerintah dalam memberantas skandal korupsi. Apalagi baru-baru ini umat disuguhkan korupsi bansos. Oleh karenanya, gerakan ini malah berpotensi menurunkan semangat umat untuk berwakaf, disebabkan kepercayaan umat yang semakin pudar.
Potensi SDA Jauh Lebih Besar dari Potensi Wakaf
Sejatinya, potensi negeri ini melimpah ruah. Diantaranya adalah sumber daya alam (SDA ) yang terhampar melimpah di bumi pertiwi. Namun, keberadaannya mengalami eksploitasi besar besaran oleh korporasi multinasional. Padahal, jika SDA tidak diserahkan pada swasta, negeri ini akan memiliki sumber pemasukan APBN yang besar.
Seperti apa yang dikatakan Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiah di acara Peringatan Hari Maritim Nasional ke-56 tahun 2020. Rokhmin mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat tinggi. Potensi tersebut sebesar USD 1,4 triliun per tahun. Artinya, potensi laut Indonesia setara dengan 5 kali APBN negara kita saat ini (liputan6.com, 23/09/2020).
Itu artinya, potensi wakaf sebesar Rp 2.000 triliun per tahun sangatlah kecil dibandingkan dengan potensi laut USD 1,4 triliun setara dengan Rp19.690 triliun. Ini baru potensi laut, belum potensi SDA lainnya, seperti tambang, gas alam dan lain lain. Lantas, mengapa seolah mengejar yang receh, tapi melepaskan yang gepokan?
Inilah dampak diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang mengizinkan liberalisasi dan privatisasi di segala bidang. Negara hanya berperan sebagai birokrasi yang memperlancar dikeruknya SDA milik umat. Tentu, bukan tanpa imbalan penguasa membantu korporasi. Hubungan timbal balik jual beli kebijakan adalah ruh dalam transaksi politik di negeri demokrasi.
Dengan demikian jelas sudah, tebang pilih kebijakan yang berasal dari syariat oleh para penguasa hanya berlatar motif ekonomi. Hal demikian wajar terjadi di negeri sekuler, yang membuang agama dalam aturan bernegara. Agama hanya dijadikan polesan, agar perasaan kaum muslim sebagai mayoritas, merasa nyaman. Syariat yang menguntungkan kas negara akan terus dipelihara. Namun, ajaran Islam lain yang dapat merugikan negara disingkirkan sebisa mungkin. Apalagi ajaran Islam politik, semua itu akan mengganggu kenyamanan penguasa dan korporasi yang menghegemoni negeri.
Ini pulalah yang menjadikan penguasa seolah alergi dengan syariat, sebab ajaran Islam akan mengembalikan identitas kaum muslim. Ajaran Islam kaffah akan menyadarkan umat bahwa agama bukan hanya mengurusi ibadah semata, tapi seluruh urusan kehidupannya. Sehingga umat akan hidup dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunah. Karenanya dibutuhkan penerapan islam secara kaffah oleh pemerintah agar masyarakat dapat merasakan rahmat dan juga maslahat.
COMMENTS