covid di tempat kerja dan keluarga
Oleh : Lilik Yani
Penyebaran covid-19 masih belum terkendali. Di saat kebijakan demi kebijakan pemerintah sudah dijalankan, namun korban terpapar tak mengalami penurunan. Hingga dibuatlah evaluasi, jumlah korban terbesar dari mana? Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi?
Dilansir dari RadarSurabaya.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan evaluasi tracing kasus terkonfirmasi Covid-19. Berdasarkan hasil analisis sementara, hingga saat ini penularan di tempat kerja dan kontak erat keluarga masih menduduki posisi teratas di Kota Surabaya.
Analisis penularan Covid-19 ini dilakukan dengan mengambil sampel 200 orang pasien Covid-19 secara acak dari seluruh kecamatan di Kota Surabaya. Pengambilan data tersebut dilakukan dalam kurun waktu sepekan terakhir yaitu tanggal 1-7 Maret 2021.
Hasilnya, dari 200 orang pasien Covid-19, mayoritas atau 36 persen tertular dari tempat kerja. Sedangkan di posisi kedua atau 34 persen tertular dari kontak erat keluarga yang sudah terpapar Covid-19.
"Faktor penularan paling banyak berikutnya adalah penularan di rumah sakit. Jadi pasien memang memiliki komorbid dan memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu 15 persen. Sementara tertular dari kerumunan, perjalanan luar kota, serta tenaga medis berada posisi tiga terbawah," jelas Wakil Sekretaris Satgas Covid-19 Surabaya, Irvan Widyanto.
Cukupkah Protokol Kesehatan Jadi Solusi?
Banyaknya penularan di tempat kerja, disebut sebagai faktor terbesar menyumbang jumlah korban Covid-19. Interaksi dengan para pekerja lain yang memungkinkan untuk berdekatan, maka akan meningkatkan potensi penularan. Meski secara tempat duduk sudah berjauhan bahkan sebagian ada pembatas. Namun saat komunikasi, tidak etis jika harus teriak karena jarak cukup jauh. Maka mereka akan mendekat saat berbicara, atau sedang memerlukan sesuatu. Terkadang penggunaan masker yang benar, kurang diperhatikan. Maka tidak heran jika menjadi jalan mudahnya penularan.
Yang bisa dilakukan semua orang dan paling mudah adalah menerapkan protokol kesehatan. Protokol kesehatan dengan 3M sudah mendarah daging rasanya karena terus disosialisasi dan diingatkan. Namun prosedur yang mudah itu pun jika tak ada kesadaran diri dari masing-masing orang akan menjadi berat untuk dilakukan.
Memakai masker saja tidak semua orang menyadari pentingnya. Terbukti orang memakai masker masih banyak yang buka tutup. Padahal ketertiban kita akan menjaga orang lain dari penularan, sekaligus diri kita juga terjaga dari penularan. Namun sayang, kesadaran itu belum tumbuh dengan baik hingga yang terlihat, orang memakai masker karena takut diciduk polisi, bukan karena kesadaran kesehatan.
Oleh karena itu perlu adanya
pengawasan yang ketat terkait dengan protokol kesehatan di perkantoran atau tempat kerja. Selain itu perusahaan harus mengizinkan karyawan yang kesehatannya menurun atau menunjukan salah satu gejala yang diakibatkan virus Covid-19 untuk tidak masuk kerja sampai dengan kesehatannya pulih atau sudah melaksanakan screening Covid-19 dan dinyatakan sehat.
Selain di tempat kerja, penularan akibat kontak erat atau yang biasa sebut sebagai klaster keluarga juga menjadi momok tersendiri di Kota Surabaya. Apalagi, 44,5 persen sampel pasien melaksanakan isolasi mandiri di rumah yang membuat potensi penularan kepada keluarga semakin besar.
Jika tidak ada kesadaran protokol kesehatan, isolasi mandiri di rumah sangat sulit. Apalagi jika rumahnya sempit. Di mana keluar masuk akan bertatapan anggota lain. Bagi yang sakit akan disuruh istirahat di kamar. Pintu ditutup hingga anak-anak tak boleh masuk. Saat penderita akan ke kamar mandi. Jika kamar mandi di dalam kamar masih mudah. Namun jarang sekali kecuali yang rumahnya luas. Jika tidak, penderita akan keluar. Di sini perlu kesadaran anggota lain terutama anak-anak untuk menjauh.
Itu secara teknis cukup susah jika tidak ada kesadaran pribadi. Apalagi di rumah ada anggota yang sudah tua, komorbid, anak-anak, maka tanpa ada kesadaran protokol kesehatan akan mudah terjadi penularan. Itu yang bisa dilakukan masyarakat secara mandiri.
Seharusnya yang lebih berwewenang mengatasi masalah penularan Covid-19 adalah pemerintah. Tidak cukup isolasi mandiri untuk mengatasi jumlah korban. Harus ada sikap tegas dari pemerintah untuk mengadakan isolasi wilayah. Lalu ada pemisahan dari penderita dan orang sehat karena beda penanganan. Pentingnya tempat perawatan yang cukup untuk menyembuhkan para korban Covid-19. Jika isolasi mandiri, tak menjamin rasa aman karena bertemu banyak orang.
"Perlu adanya pengetatan persyaratan dan evaluasi terkait dengan pelaksanaan isolasi mandiri di rumah, dikarenakan terdapat banyak kasus yang terjadi akibat kontak erat dari keluarga yang terkonfirmasi Covid-19, terutama kepada rumah yang terdapat orang yang lanjut usia," ungkap Irvan.
Bagaimana Islam mengatasi masalah ini?
Dalam Islam nilai sebuah nyawa tak sebanding dengan dunia seisinya. Jadi pemimpin akan mengutamakan keselamatan umat dibanding kepentingan lainnya.
Ketika terjadi pandemi, korban meningkat meskipun sudah menerapkan kebijakan demi kebijakan. Saatnya dievaluasi apa permasalahannya. Ternyata ditemukan penyebab terbesar adalah lingkungan kerja dan klaster keluarga.
Protokol kesehatan yang bisa dilakukan untuk pencegahan agar jumlah korban tidak semakin meningkat, ternyata juga belum menjadi kesadaran. Maka dalam penanganan pandemi dibutuhkan peran negara. Harus ada ketegasan seorang pemimpin untuk bertindak sigap mengambil kebijakan.
Kalau pemerintah Islam saat menghadapi ujian pandemi, maka tindakan tegas untuk isolasi wilayah. Jadi tidak boleh ada, lalu lintas keluar masuk antara wilayah aman dan wilayah yang terkena pandemi. Sehingga tidak terjadi penularan bahkan bisa memutus mata rantai penularan
Kemudian umatnya dipisahkan antara yang sehat dan sakit. Yang sakit harus dirawat di RS dengan fasilitas terbaik agar cepat sembuh. Sementara yang sehat diberikan imunitas. Jika sekarang ada isolasi mandiri di rumah, maka tak akan ada jaminan terjadinya penularan.
Sementara wilayah aman, tetap bisa beraktivitas normal tidak terganggu masalah pandemi. Pendidikan, kesehatan, pemerintahan, perekonomian, dan semuanya tetap berjalan seperti biasa.
Jika demikian bagusnya sistem pemerintahan Islam jika diterapkan, maka hasil yang didapatkan juga baik. Hingga kesejahteraan umat bisa dirasakan. Lantas, masihkah mencari sistem lain untuk mengatasi pandemi?
Wallahu a'lam bish shawwab
Surabaya, 12 Maret 2021
COMMENTS