skb tiga menteri seragam sekolah negeri
Oleh: Wity
Di tengah kekisruhan pembelajaran daring selama pandemi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang tidak berkaitan dengan penyelesaian masalah. Alih-alih sigap mengatasi persoalan belajar daring yang telah dikeluhkan banyak pihak, malah lebih sigap merespon keluhan dari segelintir orang.
Dilansir dari laman kemdikbud.go.id, pada 3/2/2021 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag), menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 021/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021 tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sebagaimana diketahui, penerbitan SKB Tiga Menteri tersebut merupakan buntut dari kasus protes salah satu orang tua murid atas aturan yang mewajibkan anak sekolah menggunakan kerudung di kota Padang (4/2/2021). Padahal kebijakan kerudung yang telah diatur Pemda Padang selama 15 tahun tersebut sebelumnya tidak pernah dipersoalkan. Begitu pun dengan siswi nonmuslim SMKN 2 Padang, banyak yang memakai kerudung kerudung karena kerelaan, bukan paksaan.
Salah seorang siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, EAZ (17) mengakui bahwa memakai pakaian rok panjang, baju kurung, dan memakai kerudung sama sekali tidak memengaruhi imannya sebagai seorang pemeluk Protestan. (kompas.com, 25/1/2021).
Lantas mengapa pemerintah bersikukuh bahwa aturan tersebut intoleran?
Bertentangan dengan Tujuan Pendidikan
Dengan dalih menjaga hak asasi siswa, pemerintah dengan sigap menerbitkan SKB tiga menteri. Namun, bila kita amati SKB tersebut justru tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ketua MUI Pusat Dr Cholil Nafis pun menilai, SKB tiga menteri wajib ditinjau ulang atau dicabut karena tak mencerminkan lagi adanya proses pendidikan. Hal ini diungkapkan dalam akun Twitternya @cholilnafis (05/02/2021)
“Kalau pendidikan tak boleh melarang dan tak boleh mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, ini tak lagi mencerminkan pendidikan. Memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB tiga menteri itu ditinjau kembali atau dicabut,” katanya.
Pendidikan hakikatnya bertujuan untuk menciptakan insan yang bertakwa. Maka sudah seharusnya sekolah membuat aturan yang sejalan dengan perintah dan larangan syariat. Mewajibkan seragam jilbab bagi siswa Muslim seharusnya tidak perlu dipersoalkan, karena itu adalah bagian dari pembentukan kebiasaan untuk taat pada aturan Allah. Alih-alih mengapresiasi, pemerintah malah mengancam akan memberikan sanksi kepada pihak menerapkan aturan tersebut.
Liberalisasi Sistematis
Sungguh sikap yang ambigu, ketika pemerintah menyatakan tidak melarang siswi Muslim mengenakan seragam jilbab, namun akan memberi sanksi bagi sekolah ataupun Pemda yang mewajibkan seragam tersebut.
Di sisi lain, sikap tersebut menunjukan adanya upaya liberalisasi sistematis atas generasi. Sejengkal demi sejengkal aturan Islam dijauhkan dari umat. Jika dibiarkan, gaya hidup liberal—bebas dari aturan agama—akan semakin kokoh mencengkeram generasi. Padahal gaya hidup liberal inilah yang telah terbukti merusak dan menghancurkan generasi. Pergaulan bebas, aborsi, LGBT, geng motor, narkoba, dan berbagai kriminalitas lainnya adalah buah dari gaya hidup liberal.
Sungguh memprihatinkan, negara yang seharusnya melindungi generasi dari berbagai kerusakan moral malah menjauhkannya dari aturan Illahi. Di sisi lain, gaya hidup sekuler-liberal ala Barat terus diimpor dan dicekokkan. Korean Wave dilegalkan, perintah hijab dianggap intoleran dan melanggar HAM.
Islam Agama Toleran
Sistem kapitalisme sekuler memang tidak akan pernah memberi ruang bagi aturan Islam untuk diterapkan dalam aturan kehidupan. Padahal, Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Tidak ada agama yang lebih toleran selain Islam. Allah SWT. telah menegaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Dalam pelaksanaannya, syariat Islam berlaku untuk seluruh warga, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam urusan akidah, warga nonmuslim (ahli dzimmah) akan dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan negara.
Dalam urusan hukum, peradilan, jaminan kebutuhan hidup, dan lain-lain seluruh warga Daulah Khilafah mendapatkan hak yang sama tanpa memandang agama, ras, warna kulit, dan lainnya.
Adapun dalam masalah pakaian, bagi nonmuslim dibolehkan memakai pakaian agamawan mereka seperti yang dipakai rahib dan pendeta. Selain itu, dalam kehidupan umum seluruh wanita, baik muslimah atau bukan, wajib menutup auratnya.
Keadilan Islam inilah yang telah menjadikan seluruh warga menaati aturan dengan sukarela. Sungguh, betapa indahnya hidup dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Tidakkah kita merindukannya?[]
COMMENTS