perubahan islami
Berpikir mengenai perubahan adalah perkara penting dalam kehidupan, sehingga masyarakat mengalami kemajuan mengatur berbagai urusannya. Ketika berpikir mengenai perubahan tidak ada, kehidupan bisa stagnan, tidak produktif dan tidak berkembang, serta jalan di tempat tanpa inovasi dan kemajuan.
Berpikir tentang perubahan memerlukan sebuah asas sebagai pijakan; jika asasnya sahih maka perubahan pun menjadi sahih, apabila asasnya keliru maka perubahan pun menjadi keliru. Berpikir perubahan tidak akan dilakukan orang biasa, namun dibutuhkan orang-orang spesial, yang berasal dari kalangan terbaik atau pionir perubahan, sebab tugas mereka yang berat ini termasuk aktivitas yang merefleksikan seluruh aspek kehidupan.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) rahimahullah, di dalam buku at-Tafkir menjelaskan:
"Berpikir perubahan penting bagi kehidupan, sebab kehidupan yang diam dan pasrah kepada takdir, adalah malapetaka paling berbahaya yang membuat masyarakat dan umat musnah dan lenyap bersama waktu dan peristiwa, karena itu berpikir perubahan termasuk jenis pemikiran paling penting. Pemikiran ini tidak disukai orang lemah semangat dan tidak diterima orang malas; sebab sangat mahal harganya alias sangat beresiko".
Orang yang terdominasi tradisi sebelumnya menganggap berpikir mengenai perubahan membahayakan dan bisa mengubah kondisi yang ada. Orang yang berpikiran rendah dan pemalas pasti menentang pemikiran tersebut, termasuk golongan konservatif beserta orang yang mendominasi rakyat dan harta mereka. Artinya berpikir mengenai perubahan akan membahayakan aktivisnya, dan pemikiran jenis ini termasuk pemikiran yang sangat dimusuhi tanpa ampun dibandingkan pemikiran lainnya.
Berpikir mengenai perubahan –baik berkaitan dengan perubahan diri atau keadaan pribadi, masyarakat, kondisi bangsa dan umat, maupun perkara lainnya yang memang perlu perubahan– wajib dimulai dari asas yang menjadi landasan kehidupan manusia, atau dari masyarakat yang tidak memiliki asas, atau dari masyarakat yang memiliki asas namun keliru, atau berbagai keadaan yang tidak di jalan yang benar. Asas yang menjadi landasan kehidupan ini, bisa membuat hidup menjadi mulia atau rendah, membuat manusia bahagia atau sengsara, serta asas ini pula yang membentuk sudut pandang mengenai kehidupan, dan berdasarkan sudut pandang tersebut manusia mengarungi medan kehidupan.
Maka yang pertama perlu dilihat adalah asas yang melandasi kehidupan ini, jika berlandaskan akidah rasional yang sesuai fitrah manusia, maka tidak diperlukan perubahan, dan tidak boleh terbesit dalam perasaan atau benak seorangpun gagasan mengubah asas ini, sebab merupakan asas yang wajib dijadikan landasan kehidupan. Perubahan itu harus ada, ketika tidak ada asas yang shahih, tidak ada perkara yang lurus, ketika kekeliruan terlihat akal, atau kesalahan terasa oleh potensi kehidupan manusia. Saat akal meyakini dengan pasti sesuatu atau perkara itu benar dan lurus, serta perasaan di dalam potensi kehidupan manusia sudah terpuaskan dan tenang, maka gagasan mengenai perubahan akan hilang total.
Gagasan mengenai perubahan tidak akan muncul, ketika asas kehidupan sudah berdasarkan akidah rasional yang sesuai fitrah manusia. Adapun ketika asas yang melandasi kehidupan manusia, masyarakat dan berbagai kondisi, tidak ada sama sekali, atau ada namun keliru, maka berpikir perubahan terhadap perkara apapun juga bakal sia-sia belaka, sebelum asasnya diubah. Artinya sebelumnya mesti ada perubahan akidah yang dipeluk manusia; karena itu kaum muslim yang dianugerahi akidah rasional yang sesuai fitrah, wajib mewujudkan perubahan di tengah manusia yang tidak memiliki akidah, atau di tengah masyarakat yang memiliki akidah rusak yang ditolak akal dan tidak sesuai fitrah. Di sini kaum muslimin wajib mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia non muslim, meskipun berdampak pada peperangan dan masuk ke medan tempur melawan kaum kuffar, yaitu kalangan yang tidak memiliki akidah rasional yang sesuai fitrah.
Jadi, perubahan wajib dimulai dari asasnya. Jika asasnya sudah diubah dan diganti dengan asas yang sudah dipastikan shahih dan benar, maka barulah berpikir mengenai perubahan masyarakat dan berbagai kondisi yang ada. Perubahan masyarakat dan berbagai kondisi bisa terjadi dengan mengubah berbagai standar, konsepsi dan keyakinan. Sebab jika asas yang shahih dan benar sudah ada, maka asas itu akan menjadi standar yang mendasar bagi seluruh standar, konsepsi mendasar bagi seluruh konsepsi dan keyakinan mendasar bagi seluruh keyakinan.
Ketika asas ini ada, barulah perubahan berbagai standar, konsepsi dan keyakinan bisa terjadi, sehingga perubahan masyarakat dan berbagai kondisi juga terjadi. Sebab semua penilaian pun berubah: baik penilaian terhadap sesuatu ataupun penilaian terhadap pemikiran, dan selanjutnya pilar-pilar kehidupan pun ikut berubah. Berpikir mengenai perubahan harus dimiliki atau harus diwujudkan pada diri manusia. Siapa pun yang memiliki akidah rasional yang sesuai fitrah manusia, terdapat pada dirinya gagasan mengenai perubahan, adakalanya masih berupa potensi yang tersembunyi, atau bisa juga dengan adanya perubahan, seperti berpikir mengenai perubahan yang dilakukan secara langsung di tengah medan kehidupan.
Berpikir mengenai perubahan tidak hanya terdapat pada diri orang yang merasakan pentingnya perubahan berbagai kondisi dan pemikiran mereka, namun senantiasa ada selama dunia ini memang mengharuskan adanya perubahan kondisi. Karena itu berpikir mengenai perubahan tidak sebatas perubahan kondisi pribadi, masyarakat, bangsa dan umatnya sendiri, tetapi juga termasuk perubahan bagi selainnya: perubahan keadaan manusia dan masyarakat lainnya, serta berbagai kondisi yang asing. Pasalnya, semua manusia memiliki karakter kemanusiaan yang sama, artinya mengharuskan memandang manusia di mana pun berada, baik di negerinya atau di negeri lainnya, baik di negaranya atau negara lainnya, baik terhadap umatnya atau umat lainnya, dengan pandangan yang sama. Jadi, perubahan itu akan manusia upayakan terjadi di setiap tempat yang memang memerlukan perubahan.
Berpikir mengenai perubahan muncul dari keteguhan jiwa, didorong oleh berbagai fakta kehidupan, dan bahkan bisa muncul karena sekedar perasaan terhadap kehidupan. Meskipun ada kekuatan yang menentangnya karena dianggap membahayakan, tetapi berpikir mengenai perubahan itu sendiri tetap ada bahkan di dalam kekuatan yang menentang tadi. Jadi keberadaan berpikir mengenai perubahan di tengah manusia adalah keniscayaan. Agar orang mau berpikir mengenai perubahan bisa dilakukan dengan sekedar meyakinkan, atau bisa dengan kekuatan yang memaksa. Saat perubahan secara riil sudah terjadi, atau nilai perubahan bisa dipahami, maka berpikir mengenai perubahan menjadi sangat mudah. Sebab mengembalikan perasaan manusia tentang pentingnya perubahan, yang selanjutnya akan terwujud dalam diri mereka berpikir tentang perubahan. Dengan demikian setiap muslim sudah semestinya memiliki gagasan tentang perubahan.”
Dengan berakhirnya kutipan dari buku at-Tafkir, maka terbukalah pintu untuk berpikir mengenai perubahan kondisi kaum muslimin hari ini, yang kondisinya membuat sedih kawan dan gembira lawan. Bahkan sebenarnya musuh kaum musliminlah yang membuat kondisi tersebut, pertama melalui metode perubahan yang berpijak pada pemisahan agama dari kehidupan, kedua menanamkan pandangan individualisme, lalu ketiga menanamkan pandangan kepentingan dan pragmatisme materi semata tanpa melihat lagi nilai lain seperti kemanusiaan, akhlak atau spiritual. Inilah peradaban kapitalisme yang diadopsi Barat setelah pemisahan agama dari kehidupan alias sekularisme, yang awalnya dikenal sebagai revolusi industri beberapa abad di Eropa sebelumnya, selanjutnya diikuti AS, lalu Rusia pasca runtuhnya sistem sosialisme yang diwakili Uni Soviet, terakhir China juga masuk peradaban ini dengan format hampir sempurna meski terkesan malu-malu.
Kini setelah satu abad lebih berlalu, disadari atau tidak, hari ini kita berjalan bersama arus perubahan hasil metode berpikir Barat tentang perubahan. Kondisi ini tentu tidak akan terjadi, seandainya Daulah Utsmaniyyah tidak runtuh, karena daulah adalah perisai pelindung dari virus pemikiran Barat yang hanya mengakui nilai materi ketimbang nilai lainnya. Jalan yang dikendalikan Barat ini, sangat mengancam keberadaan metode berpikir Islam, yang berfungsi mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, menghubungkan kehidupan dunia dengan akhirat, serta meningkatkan pencapaian masyarakat hingga level tertinggi secara berdampingan baik nilai materi, spiritual maupun moral, yang terus naik dan melampaui zaman. Sehingga runtuh dan hancurlah berkeping-keping kumpulan nilai-nilai Islam, pandangan hidup kaum muslimin menjadi rusak, umat berpaling dari kenyataan mengabaikan persoalan vital dan utama mereka, kelemahannya tersingkap tanpa ada penutup sedikitpun karena kehilangan penguasa sebagai perisai yang umat berperang dan berlindung bersamanya.
Pihak yang paling terpengaruh virus mematikan di dalam metode berpikir ini adalah kalangan muda, padahal mereka adalah kelompok yang diharapkan memikul perubahan dan kebangkitan. Mengingat perubahan luar biasa telah terjadi pada metode berpikir kalangan muda muslim semenjak dominasi Barat atas negeri kaum muslimin. Maka, jika kita melakukan studi komparasi antara generasi muda di negeri muslim hari ini dengan generasi muda pada masa muslim terdahulu, akan ditemukan adanya perbedaan besar metode berpikir di antara kedua generasi itu. Perbedaan tersebut secara esensial terdapat pada berbagai tujuan dan pandangan keduanya, kita pun mendapati perbedaan luar biasa dalam kebesaran capaian antara dua generasi ini dalam semua bidang kehidupan.
Sehinga cukup mengejutkan, jumlah ulama yang alim pada masa kini semakin berkurang jika dibandingkan dengan jumlah ulama yang alim pada masa lalu, disayangkan pula jumlah panglima militer generasi kini yang memimpin umat menuju kemenangan sangat sedikit atau nyaris tidak ada, jika dibandingkan sejumlah panglima militer mujahid penakluk yang ada pada masa lalu termasuk pasukan, batalion dan ekspedisi militer. Kita pun ditimpa kebingungan akibat sedikit atau bahkan jarangnya generasi kini menghasilkan penemuan ilmiah yang membawa umat menuju kemajuan sains, perkembangan persenjataan, serum-vaksin, pengobatan, perkakas dan penemuan lainnya yang diperlukan dalam kehidupan, dibandingkan generasi muslim terdahulu yang sudah membangun pondasi ilmiah dan mencapai puncak serta cita-cita yang sangat jauh, bahkan pondasi tersebutlah yang menjadi pendorong Barat membangun kebangkitan ilmu pengetahuan mereka.
Memang musibah besar, kita menikmati jumlah usia kalangan muda terbanyak di antara bangsa lainya, tetapi ujungnya tidak punya pengaruh laksana buih di lautan, lebih memprihatinkan lagi kita memiliki sumber daya alam yang besar tetapi hidup dalam puncak kemiskinan! Celakanya banyak kalangan muda hari ini malah larut dalam perbuatan buruk dan jauh dari aktivitas mulia. Mereka penuh sesak di gelanggang dan permainan olah raga, tempat hiburan dan segala inovasinya, ini jika mereka selamat dari gelombang pengangguran terbuka dan tertutup; ditambah lagi rendahnya kesungguhan dan hilangnya tujuan luhur mereka.
Jika ingin mengurai simpul komparasi tadi, kita tidak perlu memperluas konteks ini, akan tetapi harus fokus mencermati dampak metode berpikir terhadap kondisi buruk yang kini terjadi. Mungkin kita bisa menunjuk sebab utama yang membuat umat Islam terus tertinggal dari bangsa lainnya, sebabnya adalah arus besar generasi muda muslim –baik disadari ataupun tidak– yang mengadopsi metode berpikir perubahan ala Barat dan jauhnya mereka dari metode berpikir perubahan ala Islam. Hal ini akibat generasi muslim merelakan dan menyesuaikan diri dengan realitas yang rusak, serta menjadikan realitas itu sebagai sumber pemikiran dan tidak menjadikannya sebagai objek pemikiran. Maka akibat itu hilanglah dari mereka metode berpikir Islam yang berupaya menjadikan realitas sebagai objek berpikir dan bukan sumber pemikiran.
Demi menambah jelas poin ini, untuk membuktikan kebenaran metode perubahan yang bersifat mendasar, lihat saja tonggak perubahan terpenting yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia: Pertama, aktivitas perubahan yang dilakukan para nabi ‘alaihis salam terhadap kaum mereka; Kedua, perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah dan sekitarnya, mengubah kondisi penduduknya dan kemunculan ideologi Islam; Ketiga, revolusi Bolshevik di Rusia dan kemunculan ideologi sosialisme-komunisme; Keempat, revolusi industri di Eropa dan kemunculan ideologi kapitalisme-sekularisme.
Tulisan ini memang bukan bermaksud mendetilkan semua peristiwa penting itu, meski begitu dari peristiwa tersebut dapat dipahami, perubahan yang terjadi di sana bukanlah perubahan reformasi yang bersifat tambal sulam, tetapi perubahan yang bersifat revolusioner menyeluruh. Dengan cara mengganti dominasi pemikiran, perasaan dan sistem lama yang mengontrol interaksi manusia, lalu memberlakukan pemikiran, perasaan dan sistem baru kepada masyarakat. Perubahan semacam ini adalah perubahan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan merupakan metode perubahan satu-satunya yang sesuai syariah, sebagai implementasi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Perubahan ini bersifat kolektif, bukan sebagaimana yang dipahami banyak orang bersifat individual, karena ayat tersebut redaksinya berbentuk plural (kaum, mereka mengubah, pada diri mereka) dan persis seperti itulah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; ketika mengubah kondisi diri dan pribadi para sahabatnya, membentuk kelompok perjuangan di masyarakat Makkah, kemudian dengan kelompok ini menentang sistem yang berlaku di masyarakat, membongkar kekeliruan konsep ketuhanan, menganggap dungu pikiran jahiliyyah, mengkritik sistem ekonomi, pergaulan dan lain sebagainya, semuanya itu dihubungkan dengan urusan akhirat, sembari menawarkan akidah dan syariat pengganti, yang dikaitkan dengan perubahan politik dan sistem pemerintahan. Jika mencermati sekumpulan ayat berikut dan melihatnya dengan kacamata pelaku perubahan, maka akan terlihat perkara tersebut dengan sangat jelas, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al-Anbiya [21]: 98)
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ، بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir [81]: 8-9)
Demikian juga jika mencermati sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa kesempatan terkait aktivitas perubahan, kita dapati perjuangan dilakukan terus menerus secara kolektif, dan harapan perubahan terdapat dalam ranah kelompok dan bukan individu.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada kami, ‘ketika Allah ‘azza wa jalla memerintahkan Nabi-Nya menawarkan diri kepada para kabilah Arab, Beliau berangkat bersama saya dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menuju Mina hingga kami tiba di salah satu tempat pertemuan kabilah Arab…’ Dan di akhir hadits ketika Beliau menawarkan dirinya kepada Bani Syaiban, al-Mutsanna’ bin al-Haritsah berkata: ‘Agama yang anda tawarkan ini dibenci para raja, sedangkan kami menyepakati perjanjian yang dibuat Kisra’, agar tidak membuat masalah dan tidak mendukung pembuat masalah, jika ingin kami mendukung dan menolong anda dari penguasa sumur-sumur Arab saja (selain penguasa Kisra’) maka kami lakukan?’ Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
مَا أَسَأْتُمْ بِالرَّدِّ إِذْ أَفْصَحْتُمْ بِالصِّدْقِ، إِنَّ دِينَ اللهِ لَا يَنْصُرُهُ إِلَّا مَنْ أَحَاطَهُ مِنْ جَمِيعِ جَوانِبِهِ
“Kalian tidak berlaku buruk dalam menjawab, karena menjelaskan dengan jujur. Sesungguhnya agama Allah akan dimenangkan oleh orang yang melindunginya dari segala penjuru.” (HR. Al-Baihaqi dalam ad-Dala’il, hasan menurut al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah)
Menceritakan kepada kami Musaddad, menyampaikan kepada kami Yahya dari Isma’il, menceritakan kepada kami Qais dari Khabbab bin al-Arats yang berkata, ‘kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu beliau beralaskan kain Burdah di bawah naungan Ka’bah.’ Maka kami mengadu: ‘Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami?’ maka Beliau bersabda:
قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهَا، فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ، وَيُمْشَّطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، فَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ. وَاللَّهِ لَيَتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرُ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
“Sungguh sebelum kalian ada orang yang ditangkap kemudian digalikan lubang di tanah dan ditimbun, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya hingga kepalanya terbelah dua, dan ada yang disisir dengan sisir besi hingga terpisah tulang dan dagingnya, namun semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya. Demi Allah, agama ini akan sempurna sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan’a hingga Hadramaut, ia tidak takut selain kepada Allah dan serigala yang akan memangsa kambingnya, namun kalian ini orang yang suka tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari)
Ibnu Ishaq rahimahullah meriwayatkan, ketika kaum Anshar berkumpul untuk berbaiat (‘aqabah dua), al-‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadhlah bertanya, ‘apakah kalian memahami konsekuensi membai’at orang ini?’ ‘Ya, kami paham’ jawab kaum Anshar. Al-‘Abbas menegaskan, ‘kalian membaiat orang ini untuk memerangi bangsa berkulit merah dan berkulit hitam. Kalau harta yang habis itu kalian anggap sebagai musibah dan wafatnya para pemimpin itu kalian anggap sebagai pembunuhan maka menyerahlah sejak sekarang. Demi Allah, jika kalian melakukan hal demikian, itulah kehinaan di dunia dan akhirat. Tapi jika kalian merasa mampu memenuhi sumpah kepadanya dengan kehilangan harta dan tewasnya para pemimpin, maka genggamlah dia, Demi Allah ini adalah kebaikan dunia dan akhirat.’ Lalu kaum Anshar menjawab, ‘kami akan setia meskipun ini mengurangi harta dan menewaskan orang-orang terhormat kami. Kalau melakukan hal tersebut, kami mendapatkan apa ya Rasulullah?’ الْجَنَّةُ “Syurga” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka langsung meminta, ‘ulurkan tanganmu’. Kemudian Beliau mengulurkan tangannya, maka semua yang hadir membaiatnya. (Sirah Ibnu Hisyam, I/446).
Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjanjikan dan menawarkan sedikitpun dunia kepada kaum Anshar. Meski Beliau mengetahui kemenangan dan karunia yang akan Allah berikan kepada umatnya, perhatian mereka hanya difokusnya kepada akhirat, maka ketika kaum Anshar bertanya, ‘kalau melakukan hal tersebut, kami mendapatkan apa ya Rasulullah?’ Beliau hanya menjawab “Syurga”, jadi Beliau hanya menjanjikan dan menyebutkan itu.
Nash-nash tadi dan banyak dalil lainnya, mengandung tiga hal penting sebagai berikut: Pertama, metode berpikir dalam perubahan adalah metode berpikir syar’i, bukan rasional, pragmatis, saintifik atau metode berpikir lainnya; Kedua, paradigma berpikir dalam perubahan bersifat kolektif dan bukan idividual; Ketiga, aktivitas perubahan bersifat sistematis, integral, tahapan dakwahnya saling berkaitan dan bukan bersifat spontanitas yang tidak terukur.
Dari sini kaum muslimin diperintahkan bersegera ikut dalam aktivitas perubahan sesuai ketentuan syariah, yakni sesuai metode perubahan konstruktif generasi awal seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, demi mewujudkan perubahan konstruktif yang mendukung tegaknya Khilafah Rasyidah kedua yang berdasarkan tuntunan kenabian. Mereka pun diharuskan melepaskan diri dari pemikiran Barat yang membelenggu dan menghalangi umat dari metode perubahan syar’i. Sebab sekedar berpikir mengenai perubahan saja mereka telah dihalangi, hal ini terjadi pasca para pengkhiat umat melakukan perubahan destruktif kali pertama dengan revolusi melawan Daulah Islam Utsmani.
Jadi, para aktivis muslim harus memahami realitas berikut, saat berjuang di jalan perubahan yang konstruktif di masa yang kedua ini:
Pertama, peradaban kapitalisme di ambang keruntuhan; paham liberalisme semakin dibenci umat manusia, karena malapetaka dan bencana yang ditimbulkan paham itu.
Kedua, para pemimpin barat hidup dalam dua kecemasan: keruntuhan ideologi mereka dan kembalinya Islam memimpin umat manusia. Dengan izin Allah, kini adalah tahap jatuhnya peradaban barat dan kebangkitan peradaban Islam.
Ketiga, perubahan yang dituju adalah perubahan global bukan sekedar perubahan rezim, maka wajar jika menemui kesulitan dan butuh waktu lama. Perubahan ini mengharuskan terbebas dari metode berpikir barat dan membatasi diri dengan metode perubahan ala Islam. Hal ini hanya bisa dipikul kelompok yang pemikiran dan aktivisnya berpijak pada sebuah ideologi, sehingga menjadi bagian integral kaderisasi mereka sebagai pengemban dakwah sekaligus negarawan, yang meniru persis kelompok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mulia ridwanullah ‘anhum ajmain.
Keempat, sebagai umat Islam, perubahan yang kita tuju terletak pada kesungguhan mendirikan kembali daulah Islam, khilafah rasyidah ‘ala minhaj nubuwwah, yang mengadopsi Islam sebagai dasar keyakinan, entitas, aparatur, akuntabilitas dan segala sesuatu di dalam negara tersebut, serta menyebarkan Islam ke seluruh dunia sebagai sekumpulan hidayah dan cahaya melalui jihad fi sabilillah dengan tiga tahapannya (menyeru masuk Islam, membayar jizyah atau diperangi; lihat HR. Muslim 3261).
Kelima, meyakini kemenangan itu di tangan Allah semata, akan diberikan kepada hamba-Nya sesuai kehendak-Nya, termasuk tempat dan waktu kemenangan pun sesuai kehendak-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal [8]: 10)
Sebagai penutup makalah ini, kami mengajak aktivis generasi muslim membulatkan tekad menempuh metode berpikir perubahan, segera bersungguh-sungguh berjuang bersama pelaku perubahan yang serius dan mukhlis yang memiliki arah menegakkan negara khilafah milik kaum muslimin, karena khilafah adalah penjamin terwujudnya transformasi perubahan yang dikehendaki terhadap kondisi umat Islam kini, dari kondisi yang buruk dan sengsara menuju kondisi penuh dengan kebaikan dan ketentraman, setelah itu beralih menyelamatkan semua manusia dari kegelapan kekufuran menuju cahaya Islam. Hendaknya mereka menyadari, ketika perjuangan tersebut dilakukan sama persis sebagaimana amal para shahabat generasi awal, maka mereka akan memperoleh pahala lima puluh kali lipat sebanding pahala amal para shahabat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat. Dari ‘Utbah bin Ghazwan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ، لِلْمُتَمَسِّكِ فِيهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَو مِنْهُمْ؟ قَالَ بَلْ مِنْكُمْ
“Sesungguhnya setelah masa kalian ada hari-hari bersabar, bagi yang berpegang teguh dengan agama pada hari itu, mendapat pahala sebanding lima puluh orang dari kalian.” Para Sahabat bertanya: ‘Wahai Nabi Allah mungkin sebanding dari kalangan mereka?’ Beliau bersabda: “Bahkan sebanding dari kalangan kalian.” (Menurut as-Silsilah ash-Shahihah, hadits ini shahih; kata Ibnu Hajar hadits ini tidak menunjukkan non sahabat lebih utama dari sahabat, namun hanya menunjukkan ada amal yang besar pahalanya).
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf [12]: 21)
وَيَقُولُونَ مَتَى هُوَ قُلْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا
“Dan mereka bertanya: Kapan itu akan terjadi? Katakanlah: Mudah-mudahan waktu itu dekat.” (QS. Al-Isra’ [17]: 51)
Oleh: Roula Ibrahim – Negeri Syam
(Thariqah at-Tafkir fi at-Taghyir Baina al-Islam wa al-Gharb. Al-Wa’ie edisi 406, tahun XXXV, Dzul Qa’dah 1441 H/ Juli 2020 M. Alih bahasa: Yan S. Prasetiadi).
COMMENTS