polemik jilbab
Oleh: Hani Handayani, A.Md (Pemerhati Sosial)
Media sosial saat ini seperti menjadi ajang bagi masyarakat untuk menumpahkan berbagai argumen yang ada di dalam pikirannya. Sehingga begitu argumen itu mendapat respons dari masyarakat maka ini akan menjadi pembicaraan publik (viral).
Seperti yang baru saja terjadi, dimana orang tua dari siswi non-muslim, di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Memposting video beradu argumen dengan pihak sekolah tentang aturan kewajiban menutup aurat bagi seluruh siswinya.
Akibat dari postingan ini, muncul polemik yang seakan menyudutkan pihak sekolah. Beberapa pihak seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim yang dikutip dari tempo.com (24/1/2021), mengatakan, Tindakan sekolah tersebut bertentangan dengan HAM. Tidak hanya Mendikbud yang merespons hal ini, berbagai pihak pun ikutan berkomentar.
kepada Kompas.com, Sabtu (23/1/2021). Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, tindakan yang dilakukan pihak SMKN 2 Padang bertentangan dengan prinsip yang terkandung dalam sistem pendidikan nasional yang sudah memiliki UU sendiri. Masih banyak pihak yang ikut beraksi terhadap kasus ini.
Diskriminasi Pelanggaran HAM
Kontroversi permasalahan seragam sekolah dengan kerudung, bukanlah hal yang pertama terjadi. Sebelumnya hal ini pun pernah di permasalahkan oleh Ahok sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Tetapi yang patut di pertanyaan, kehebohan beberapa pihak atas kejadian ini, tidak sebanding dengan sikap ketika pelanggaran hak itu terjadi terhadap siswa muslim.
Bila kita mau menilik, terjadi hal yang serupa beberapa tahun silam. Berdasarkan pendataan Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Bali, ada sekitar 40 sekolah yang melarang siswi Muslim memakai hijab [baca: kerudung, red]. Data mengenai 40 sekolah yang melarang hijab [baca: kerudung, red], ini menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan, dikutip dari republika.com (26/2/2014).
Miris memang melihat kondisi saat ini masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, malah kadang di perlakukan layaknya minoritas. Ketika siswi Muslimah yang menuntun agar mereka bisa menjalan kewajiban mereka untuk menutup aurat, tidak banyak yang membela. Hal ini menunjukkan adanya tirani minoritas terhadap kaum muslim.
Sumber Adanya Diskriminasi
Permasanlah ini mencuat tatkala standar kehidupan yang diterapkan di negeri ini adalah asas kebebasan. Dimana sistem saat ini sangat mengagungkan HAM, tanpa memakai agama sebagai standar perbuatannya, menjadi lahirnya pemikiran masyarakat yang sekuler.
Seolah-olah ajaran Islam tidak toleran terhadap agama lain. Padahal Agama Islam sangatlah toleransi dalam menjalankan kepercayaan agama lain. Dalam agama Islam wujud toleransi terhadap non-muslim dengan menjunjung tinggi keadilan bagi siap saja. Dimana Islam melarang berbuat zalim terhadap non-muslim. Allah Swt. Berfirman, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai kaum yang berlaku adil.” (TQS al-Mumtahanah [60]: 8).
Jadi sangat jelas bagi agama Islam sangat menjaga sikap toleransi. Maka terkait kasus di atas, tampak jelas kericuhan ini muncul karena masyarakat tidak menilai kasus ini berdasarkan ideologi Islam.
Sistem Islam Mengatur Pakaian
Polemik ini muncul tatkala hukum syariat Islam tidak dijadikan kacamata dalam menilainya. Padahal jelas dalam hukum Islam ada aturan yang telah di tetapkan di dalam Al-Qur’an, bagi para muslimah. Ini sebagaimana Allah SWT. Berfirman, “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”. (QS. An-Nur:31).
Islam sebagai agama yang rahmatan Lil alamiin baik bagi Muslim atau non-Muslim, karena pada saat mereka menjadi warga yang diatur dengan hukum Islam tidak ada perbedaan terhadap mereka. Mereka berhak atas penjagaan dan perlindungan dari negara atas, keyakinan, kehidupan, kehormatan, harta dan akal.
Pun dalam aspek berpakaian, jika Muslimah diwajibkan menutup auratnya (jilbab dan khimar), maka wanita non-muslim juga harus terikat dengan peraturan yang sama. Dalam hal ini, wanita non-muslim terikat dengan dua batasan.
Pertama, batasan menurut agamanya. Mereka diperbolehkan berpakaian sesuai agama mereka, yaitu pakaian pendeta, atau para tabib dan biarawatinya.
Kedua, batasan yang ditetapkan oleh hukum syariat, yakni hukum-hukum umum yang berlaku bagi seluruh rakyat. Yakni adanya batasan aurat bagi Muslimah dan non-muslim yang disebutkan dalam QS. An-Nur 31 tadi.
Dimana hal ini dapat dilihat melalui fakta sejarah kejayaan Islam. Dimana di masa itu perempuan non-muslim dan Muslim, tidak ada perbedaan dalam berpakaian karena aturan yang dibuat dalam sistem Islam merupakan kebijakan yang terbukti memberikan keadilan yang terbaik bagi Muslim dan non-muslim. Sehingga non-muslim pun tidak keberatan dengan aturan ini.
Wallahu a’lam
COMMENTS