kemandirian pangan islam
Oleh : Syarifah (Komunitas Pena Ideologis Maros)
Konsumen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, mengeluhkan hilangnya stok tahu dan tempe di lapak pedagang dalam dua hari terakhir. Kejadian ini imbas mogok produksi di kalangan perajin kedelai. (merdeka.com, 4/1/2021)
Belakangan ini sejak masuk tahun baru hingga sekarang, masyarakat diresahkan dengan melonjaknya harga kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram (kg). Sehingga berimbas kepada pengusaha yang berbahan baku kedelai seperti tahu dan tempe.
Bahkan "Terhitung mulai 1 hingga 3 Januari 2021, kita setop produksi. Ada sekitar 5.000 pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi tahu dan tempe, sepakat untuk mogok produksi," katanya. (mdk/did)
Hal ini tentu berdampak bagi keberlangsungan kehidupan keluarga masyarakat. Mereka mogok produksi sehingga mengharuskan mencari cara agar tetap punya penghasilan untuk kebutuhan keluarga. Ada yang menjual kentang gorengan dan sayuran. Namun, hal ini tetap akan memperoleh keuntungan lebih sedikit dibanding dengan usaha sebelumnya.
Problem ini terjadi akibat dari ketergantungan impor kedelai yang dilakukan oleh negara sehingga harga di pasaran tidak stabil. Bahan kedelai lokal sebenarnya ada, namun hanya memenuhi sekitar 10% para produsen dan 90% tersebut diperoleh dari hasil impor tersebut. Banyak petani lokal yang tidak berminat untuk bertani kedelai karena harga yang murah. Sebab, penguasa memilih untuk mengimpor.
Terlebih lagi karena UU Cipta Kerja telah menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah. (Tirto.id, 26/10/2020)
Dengan impor yang dilakukan oleh penguasa jelas akan berdampak pada masyarakat lokal. Seharusnya penguasa fokus pada hasil produksi lokal itu sendiri. Mengingat indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) yang memiliki lahan yang luas untuk bertani kedelai. Penguasa harus menghentikan ketergantungan impor. Namun, apalah daya hal ini sulit dilakukan oleh sistem kapitalis yang mengutamakan profit bukan mementingkan kesejahteraan rakyatnya.
Tentu problem seperti ini hanya bisa terselesaikan ketika berada pada sistem islam. Sebab, islam telah komplit dan mampu menyelesaikan segala problem termasuk problem pangan ini. Islam akan melakukan kemandirian pangan dengan tidak melakukan impor ketika masyarakat dalam daulah islam itu sendiri mampu memproduksi bahan tersebut.
Mengingat kebutuhan pangan adalah hal yang dasar dan utama untuk kelangsungan kehidupan rakyat. Tentu khalifah akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokok ini kepada rakyatnya. Senantiasa memproduktifkan lahan dan tanah-tanah yang mati. Dalam islam tanah yang tidak dimanfaatkan selama 3 tahun maka akan diambil alih oleh negara. Negara akan memberikan kepada rakyat yang mampu mengelolahnya. Sehingga dalam islam seluruh lahan dan tanah senantiasa dimanfaatkan.
Siapapun yang menghidupkan tanah tersebut maka akan menjadi miliknya. Seperti sabda Rasulullah SAW dalam HR. Tirmidzi dan Dawud yang artinya "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya". Sehingga dalam negara islam tidak akan ada istilah lahan kosong melainkan semuanya diproduktifkan.
Dalam islam negara akan memberikan modal bagi yang kurang mampu untuk membeli segala kebutuhan pertanian. Hal ini adalah sebagai hibah dan bukan sebagai hutang. Negara akan berusaha untuk memberikan bibit pertanian yang unggul sehingga membuahkan hasil pertanian yang baik. Beginilah islam mengatur perkara pangan yang dengannya akan mampu melakukan kemandirian pangan.
Wallahu a'lam bishshowwab.
COMMENTS