banjir kalsel
Oleh: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir pada beberapa hari terakhir. Setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter. Hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab.
Menurut Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja banjir tahun ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Lantas, benarkah banjir di Kalsel hanya dikarenakan karena hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir? Jefri mengatakan, curah hujan yang tinggi selama beberapa hari terakhir jelas berdampak dan menjadi penyebab banjir secara langsung. Kendati demikian, masifnya pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus juga turut andil dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan selama ini. "Bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit," katanya lagi.
Dari tahun ke tahun luas perkebunan mengalami peningkatan dan mengubah kondisi sekitar. "Antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun," paparnya.
Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar. Untuk jumlah perusahaan sawit, pada Pekan Rawa Nasional I bertema Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim 2011, tercatat 19 perusahaan akan menggarap perkebunan sawit di lahan rawa Kalsel dengan luasan lahan mencapai 201.813 hektar.
Mongabay melaporkan, 8 perusahaan sawit di Kabupaten Tapin mengembangkan lahan seluas 83.126 hektar, 4 perusahaan di Kabupaten Barito Kuala mengembangkan sawit di lahan rawa seluas 37.733 hektar, 3 perusahaan sawit di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan luasan 44.271 hektar, 2 perusahaan di Kabupaten Banjar dengan lahan sawit seluas 20.684 hektar, kemudian, di Kabupaten Hulu Sungai Utara ada satu perusahaan dengan luas 10.000 hektar dan di Kabupaten Tanah Laut mencapai 5.999 hektar.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 4.290 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau sekitar 49,2 persen dari seluruh Indonesia. Jefri pun menjelaskan mengenai jumlah perluasan lahan pertambangan. “Sedangkan untuk tambang, bukaan lahan meningkat sebesar 13 persen hanya 2 tahun. Luas bukaan tambang pada 2013 ialah 54.238 hektar,” tambah Jefri.
Tidak hanya di Kalsel, wilayah Kalimanatan lain juga digerus oleh area pertambangan. Pada 27 September 2020, Walhi Kalsel bersama Jatam, Jatam Kaltim, dan Trend Asia, membentuk koalisi #BersihkanIndonesia. Mereka mendesak pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Mereka mengevaluasi mengenai kasus pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Jefri menyayangkan kondisi hutan di Kalimantan yang kini beralih menjadi lahan perkebunan. “Pembukaan lahan atau perubahan tutupan lahan juga mendorong laju perubahan iklim global. Kalimantan yang dulu bangga dengan hutannya, kini hutan itu telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan tambang batu bara,” katanya lagi.
Mereka mengevaluasi mengenai kasus pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Jefri menyayangkan kondisi hutan di Kalimantan yang kini beralih menjadi lahan perkebunan. “Pembukaan lahan atau perubahan tutupan lahan juga mendorong laju perubahan iklim global. Kalimantan yang dulu bangga dengan hutannya, kini hutan itu telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan tambang batu bara,” katanya lagi. (Kompas.com, 15/1/2021)
Banjir, kerusakan lahan akibat perluasan perkebunan sawit, pertambangan, hingga hilangnya daerah resapan air sejatinya bermuara pada golnya regulasi yang melegalisasi usaha korporasi yang memarginalkan aspirasi rakyat, mengorbankan masyarakat, hingga merusak lingkungan. Yakni, UU Minerba dan UUOL Ciptaker.
Hal ini pun diperparah dengan adanya otonomi daerah yang membolehkan kepala daerah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan hak guna lahan. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwa politik transaksional antara kepala daerah dengan pengusaha telah terjalin semenjak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Di sinilah terjadi lobi-lobi politik melebihkan penguasaan lahan kepada korporasi daripada yang telah dilegalkan oleh hukum positif sebagai balas jasa dukungan demi kemenangan sang calon kepala daerah dalam kontestasi Pilkada.
Ini semua dampak penerapan sistem Kapitalisme Sekuler. Sistem yang menempatkan materi di atas segalanya. Sistem yang menghilangkan peran agama dalam mengatur kehidupan bernegara. Sistem yang menjungjung tinggi kebebasan individu sehingga individu/swasta/korporasi boleh memiliki harta yang sejatinya milik umum/rakyat, yaitu hutan dengan segala kekayaan alamnya.
Dengan demikian, banjir yang terjadi di Kalsel sekali lagi telah menampar kita untuk membuka mata, hati, dan telinga. Bahwa sesungguhnya yang dibutuhkan umat kini adalah perubahan revolusioner, perubahan sistemik. Maka, inilah Islam, hadir sebagai kunci jawaban atas seluruh permasalahan Indonesia bahkan dunia.
Ini langkah tata cara Islam dalam mengelola hutan:
Pertama, hutan termasuk dalam harta kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum Muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
Syekh Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan kepemilikan umum sebagai izin Allah (selaku pembuat hukum) kepada jamaah (masyarakat) untuk memanfaatkan benda secara bersama-sama. Yang masuk kategori fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, seperti sumber-sumber air, padang gembalaan, kayu-kayu bakar, energi listrik dan lainnya.
Dengan demikian jika fasilitas umum tersebut benar-benar menjadi milik umum, maka diharapkan benda-benda ataupun barang-barang tersebut dapat dinikmati masyarakat secara bersama.
Kedua, hak mengelola hutan sebagai harta milik umum berada di tangan negara, bukan swasta atau individu. Islam melarang penguasaan aset milik umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat kepada individu atau swasta. Dalam praktiknya, kepemilikan umum harus dikelola negara dan hasil pemanfaatannya dikembalikan pada masyarakat.
Ketiga, pengelolaan hutan yang terkategori pemanfaatan yang tidak mudah dilakukan individu seperti eksplorasi tambang gas, minyak, dan emas, dibutuhkan peran negara dalam mengelolanya. Sebab, pemanfaatan jenis ini membutuhkan keahlian khusus, sarana dan prasarana, serta dana yang besar dalam memanfaatkannya. Semua ini memerlukan peran sentral negara sebagai wakil kaum muslim.
Keempat, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan individu secara langsung dalam skala terbatas, misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan, negara melakukan pengawasan dalam kegiatan masyarakat di hutan tersebut. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Kelima, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).
Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat. Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (provinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.
Keenam, hasil pengelolaan hutan dimasukkan dalam kas negara (Baitulmal) dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat menurut pandangan syariat Islam.
Ketujuh, negara wajib melakukan pengawasan serta mencegah pengrusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Fungsi pengawasan ini dijalankan lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (qadhi hisbah) yang bertugas menjaga hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).
Kedelapan, negara memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan. Sanksi ta’zir bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya harus memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya.
Itulah beberapa hal yang akan dilakukan negara yang menerapkan Islam dalam melakukan pengelolaan, pengawasan, dan pemberian sanksi terhadap hutan dan kekayaan alam yang menjadi hak milik umum. Dengan begitu, tidak akan ada celah bagi asing menguasai hajat hidup masyarakat. Tidak akan ada pula kebebasan kepemilikan individu yang mendominasi hak milik umum sebagai milik pribadinya. Wallahu a’lam.
COMMENTS