dinasti politik
Oleh: Ummu Syanum (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Pesta demokrasi telah usai melalui Pemilukada serentak pada 9 Desember lalu. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun ini tak ubahnya seperti tahun sebelumnya, adu kekuatan trah dinasti politik masih sangat begitu jelas. Seolah merupakan cara jitu untuk melanggengkan kekuasaan, pilkada selalu diwarnai dengan pencalonan keluarga dari yang berkuasa.
Dinamika politik di Provinsi Banten tidak akan lepas dari keluarga mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Berdasarkan hasil hitung sementara perhitungan surat suara di website Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jumat (11/12) pukul 19.15 WIB, untuk Pilkada Serang, perolehan suara Ratu Tatu Chasanah- Pandji Tirtayasa sebesar 64.4 persen atau setara 186.427 suara. Sedangkan lawannya, Nasrul Ulum-Eki Baihaki mendapat 35.6 persen atau 103.067 suara (merdeka.com, 12/12/2020).
Tidak hanya itu, keluarga Presiden Joko Widodo yakni putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakoso unggul telak atas pasangan Bagyo- Supardjo di Pilwakot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15 persen suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.
Menantu Jokowi, Boby Nasution-Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salam Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Auloa mengantongi 55,29 persen suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.
Jejak dinasti politik memang bukan hal yang baru. Dalam sistem demokrasi saat ini dimana memberi peluang besar bagi siapa saja semua warga negara untuk mendapat kesempatan dalam perebutan kekuasaan, dimana kebebasan itu memunculkan fenomena politik dinasti.
Sistem demokrasi terbuka dimana setiap manusia dihargai satu suara (one man one vote) memungkinkan tumbuh suburnya politik dinasti. Fenomena ini tidak hanya berkembang di negara demokrasi dunia ketiga saja tapi juga negeri ikon yaitu Amerika Serikat yang kerap dijadikan sebagai kiblat demokrasi pun tidak bebas dari politik dinasti.
Dapat dipastikan dalam soal penerapan kepemimpinan yang adil dan terbuka, sangat mustahil bisa terwujud jika jabatan-jabatan politis masih diperebutkan dalam lingkaran keluarga dan kerabat sang penguasa. Dimana mereka hanya akan sibuk untuk mempertahankan kekuasaan dengan menciptakan dinasti politik yang praktis. Yang identik dengan konspirasi, intrik, konflik bahkan koruptif. Tentu rakyat lagi yang akan menjadi korban. Jargon dari rakyat untuk rakyat hanya ilusi semata.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem khilafah yaitu sistem Islam. Islam menempatkan kedaulatan ditangan Syara', as-syaidah lil as-syar'i dan kekuasaan ditangan umat, as-sulthon lil ummat.
Sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan yang khas, unik dan juga berbeda. Penguasa yang dipilih dan diangkat (dibaiat) oleh rakyat/umat hanyalah kepala negara, Khalifah.
Khalifah memiliki syarat pengangkatan (syarat in'iqad) yakni laki-laki, muslim, akil, baliq, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tanggung jawab Khilafah. Bila telah dibaiat seorang Khalifah dengan baiat in'iqad, maka terdeklarasikanlah khilafah.
Adapun penguasa (hukkam) lain, penguasa daerah tidak dipilih oleh rakyat, namun diangkat oleh Khalifah. Hal ini dikarenakan sekalipun kekuasaan ditangan rakyat, namun kedaulatan di tangan Syara'. Dan syarat seorang kepala daerah sama dengan syarat Khalifah.
Maka sudah saatnya umat sadar, bahwa sistem rusak kapitalis dan demokrasi yang ada di negeri ini harus segara kita tinggalkan dan sudah saatnya beralih pada sistem Islam yang dimana menjamin kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dan jauh dari praktek politik dinasti. Wallahu'alambishowab.
COMMENTS