Korupsi corona
Baru-baru ini, Transparency International merilis hasil survei The Global Corruption Barometer (GCB) Asia. Adapun dari sisi ranking [peringkat], Indonesia ada di peringkat 3 sebagai negara terkorup di Asia. Menurut Jerry Massie, seorang peneliti pada Political and Public Policy dalam artikelnya berani memprediksi, Indonesia bisa berada di peringkat 1 di Asia pada 2021 atau 2022 jika negara tetap tidak mau turun tangan. (Rmol.id, 30/11)
Beginilah fakta demokrasi yang menjadi sarang tikus berdasi, harusnya membuat kita merasa muak dan meninggalkan sistem ini. Nyatanya, demokrasi terus saja dipakai. Bahkan dijadikan sebagai tolok ukur kesetiaan seseorang pada negara. Anti demokrasi diartikan sebagai tidak setia pada negara. Lebih parahnya, para pembela demokrasi akan beralasan bahwa demokrasi di Indonesia masih dalam tahap belajar, belum pintar. Wajar jika ada kekurangan dalam pelaksanaannya. Transparency International misalnya, dalam laporan tahun 2019 menyatakan, luasnya korupsi berkaitan dengan pengembangan demokrasi.
Demokrasi, Rusak Sejak Dari Akarnya
Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Din Syamsuddin menyebut Revolusi Mental Presiden Joko Widodo gagal. Din mengaku prihatin Juliari terseret kasus korupsi sebab pekan sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga terseret kasus suap terkait ekspor benur. Hal ini membuktikan bahwa Revolusi Mental yang didengung-dengungkan pemerintah telah gagal, karena korupsi masih merajalela. Adalah pengkhianatan besar terhadap rakyat, kala rakyat menderita karena Covid-19, justru dana bantuan sosial yang menjadi hak rakyat dikorupsi pejabat. Mantan Ketua Umum MUI itu menilai peluang korupsi dalam mengelola anggaran Covid-19 terbuka sejak penerbitan UU Nomor 2 Tahun 2020. Aturan itu memberi imunitas kepada pejabat dalam mengelola keuangan dalam rangka pandemi. (cnnindonesia.com, 6/12/2020)
Dalam iklim demokrasi, pejabat negara yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan membuat aturan dan merumuskan Undang-undang. Hal inilah yang membuka peluang terbuka lebar bagi para pejabat untuk bisa meramu undang-undang sesuai dengan kepentingannya. Ditambah pula dengan sistem yang dijalankan yakni kapitalis, dimana pemilik modal menjadi pengatur segalanya, termasuk pejabat.
Kegagalan negara-negara kampiun demokrasi untuk luput dari problem korupsi membuktikan bahwa korupsi akan selalu menyertai pelaksanaan demokrasi. Mengapa? Karena demokrasi adalah sistem yang berbiaya mahal. Mahalnya biaya politik demokrasi bukan semata pada penyelenggaraan pemilu, tapi juga karena praktik jual beli suara. Walhasil, calon penguasa butuh sokongan dana dari pihak lain untuk membiayai pencalonannya. Pihak lain ini adalah para pengusaha alias cukong.
Mereka rela menggelontorkan dana besar untuk mendukung calon tertentu. Kompensasinya adalah berbagai proyek dan perubahan regulasi mengikuti keinginan mereka. Negara demokrasi pun bertransformasi menjadi korporatokrasi, yaitu pemerintahan yang disetir korporasi. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban keserakahan para kapitalis. Kekayaan alam rakyat dirampok secara legal atas nama regulasi yang dilegitimasi demokrasi.
Hanya Islam Satu-satunya Pengganti Sistem Demokrasi Yang Rusak
Penelusuran mongabay.co.id menemukan bahwa pemicu utama deforestasi dan krisis hak tanah di Indonesia, adalah korupsi “jual-beli” lahan dan sumber daya alam oleh politisi untuk menggalang dana kampanye politik. Tak pelak, pilkada langsung di Indonesia diikuti dengan ledakan perkebunan sawit hingga empat kali lipat. Akibatnya, hutan makin habis, rakyat kecil pun gigit jari.
Jelaslah bahwa korup adalah watak asli demokrasi. Sistem korup ini tak layak untuk dipertahankan. Jika tak segera ditinggalkan, kerusakan dan kezaliman akan makin merajalela. Korupnya demokrasi berpangkal pada paham kebebasan (liberalisme) yang menjadi asasnya. Politik dipisahkan dari agama (sekularisme), sehingga pemerintahan dijalankan sesuai nafsu manusia (penguasa). Vox populi vox dei hanya menjadi jargon basa-basi. Suara rakyat dibeli secara murah dalam demokrasi, lalu dijadikan legitimasi atas peraturan yang rusak dan merusak.
Pemerintahan Indonesia akan bersih dari korupsi jika asas sekuler-liberal dalam demokrasi ini dihilangkan dan diganti dengan asas akidah Islam. Keyakinan pada Allah SWT mewujudkan ketaatan pada syariat-Nya, termasuk syariat yang mengatur pemerintahan.
Korupsi merupakan perkara yang haram dalam Islam, sehingga harus ditinggalkan. Jika tidak, pelakunya akan mendapat sanksi yang menjerakan. A F Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khaththab menjabat sebagai Khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang melakukan korupsi. Koruptor dipaksa untuk mengembalikan harta yang mereka terima secara ilegal. Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya. Sistem pemerintahan inilah yang butuh kita wujudkan segera, menggantikan demokrasi yang telah mati.
Penulis: drg. Endartini Kusumastuti (Pemerhati Sosial Masyarakat Kota Kendari)
COMMENTS