pergantian menteri jokowi
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik)
"Benarlah ungkapan politik yang populer, bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi." (Machieveli)
Lagi, pemerintahan Jokowi melakukan reshuffle kabinet Indonesia Maju. Ada enam yang diganti, yaitu Menag, Menparekraf, Mendag, Mensos, Menkes, dan Menteri KKP. Alasannya macam-macam, ada yang karena korupsi, tidak kompeten, tidak amanah, dan sebagainya. Ini adalah reshuffle yang kelima pasca Jokowi dilantik menjadi presiden RI periode kedua (2019-2024) (Kompas.com, 22/12/20).
Di antaranya ada yang menggantikan Mensos yang diduga korupsi. Enam menteri baru yang dinanti kinerjanya dan diharapkan bisa lebih baik dari sebelumnya, tak disangka sebagian menteri pernah menjadi lawan politik di pilpres tahun lalu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam demokrasi sah-sah saja karena tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Namun, ada yang mengganjal selama pergantian menteri ini. Pemerintahan baru berjalan satu tahun, sudah empat kali ganti menteri tapi belum ada perubahan yang signifikan.
Terakhir yang terjadi, para menteri ada yang tersandung kasus korupsi hingga akhirnya reshuffle yang kelima tak dapat dihindari. Lalu, apa yang salah sebenarnya dengan sistem yang dipakai selama ini? Semua tahu bahwa sistem yang digunakan di negeri ini adalah demokrasi. Pemerintahan yang katanya dari, oleh dan untuk rakyat. Pemerintahan dengan Trias Politikanya transparan dan tidak ada korupsi.
Faktanya, pemerintah tidak transparan bahkan jajaran pejabat tinggi negeri berkali-kali tersandung korupsi. Hal yang aneh, di tengah pandemi, krisis dan resesi bansos pun dikorupsi. Dari beberapa kali pergantian menteri belum ada perubahan dan perbaikan yang berarti. Oleh karena itu, cukup kah perbaikan negeri ini dengan hanya mengganti menteri? Jika cukup, mestinya negeri ini semakin baik karena sebelumnya sudah empat kali ganti menteri.
Nyatanya lagi-lagi rakyat tak merasakan perubahan dan kesejahteraan dari pergantian menteri tersebut. Bahkan rakyat selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Sebut saja UU Omnibus Law yang disahkan sepihak oleh DPR. Tak menghiraukan penolakan rakyat di mana-mana, baik kalangan buruh ataupun mahasiswa. Jika DPR adalah dewan yang mewakili aspirasi rakyat, mestinya DPR mendengarkan dan menampung aspirasi rakyat.
Terlebih saat pandemi rakyat butuh bantuan dan solusi, lalu apa solusi dari demokrasi? Pandemi tak kunjung reda, lalu krisis dan resesi melanda. Hal ini sangat berdampak bagi rakyat kecil, tak leluasa untuk usaha ke luar rumah. Sementara di dalam rumah saja tak ada apa-apa. Hidup terus berjalan, kebutuhan pokok harus dipenuhi jika ingin bertahan hidup.
Para menteri dan DPR yang seharusnya membantu rakyat di barisan terdepan, sebaliknya mengkhianati kepercayaan rakyat. Mereka lupa, bahwa setiap pemilu rakyat didekati untuk mendulang suara agar mereka terpilih. Ketika sudah berada di kursi panas, bagai kacang lupa pada kulitnya. Jadi, pergantian orang saja tak cukup memperbaiki sebuah negara baik mengganti menteri atau pemimpin negeri.
Harus ada perombakan sistem dalam sebuah negara. Dimana sistem tersebut semata-mata untuk kesejahteraan rakyatnya. Sebuah aturan dari Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu aturan dari Allah Swt. Landasannya adalah akidah semata untuk patuh dan taat pada Allah Swt. Tujuannya semata ingin mengharap ridha Allah.
Tak ada celah korupsi ketika aturan Allah yang diterapkan, yang ada fokus untuk menunaikan amanah menyejahterakan rakyat. Karena dalam Islam, pemimpin adalah pengurus rakyat yang akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan-Nya. Pemimpin bertugas memastikan kebutuhan pokok dan kolektif rakyatnya dapat terpenuhi dengan baik.
Hanya aturan dari Allah yang dapat menebar rahmat ke seluruh alam dan bumi diberkahi. Firman-Nya: "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (TQS. Al A'raf: 96).
Allahu A'lam bi Ash Shawab.
COMMENTS