Syariat Islam Basmi Korupsi
Oleh : Ruli Ibadanah Nurfadillah SP (Praktisi Pendidikan dan Anggota Menulis Kreatif)
Sungguh terlalu sudah mati rasa, ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi perilaku korupsi saat ini. Ditengah kesulitan yang dihadapi rakyat karena bencana Covid-19, lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mentri Sosial sebagai tersangka pelaku tindakan korupsi atas pengadaan dan penyaluran bantuan sosial penanggulangan Covid-19 senilai Rp17 miliar yang ditunjukan untuk keluarga miskin yang terdampak covid-19.
Kasus ini diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode.
Perusahaan rekanan yang jadi vendor pengadaan bansos diduga menyuap pejabat Kementerian Sosial lewat skema fee Rp 10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp300.000. (Kompascom, 7/12/2020)
Dari realita diatas korupsi seakan tidak pernah mati dan seperti penyakit bawaan, meski Negara ini mengklaim mempunyai seperangkat hukum untuk mentuntaskannya, faktanya korupsi semakin menjadi. Bahkan kasus korupsi terjadi disaat pandemi, ini menjadi bukti sistem Demokrasi telah gagal dengan lahirnya seperangkat aturan yang cacat dan penguasa yang tidak perduli tidak punya hati.
Wajar ini terjadi, karena dalam Demokrasi Pejabat dipilih rakyat melalui serangkaian pemilihan: pilkada dan pemilu, yang membutuhkan biaya besar. Maka tak heran, setelah menjadi pejabat, mereka akan berusaha untuk balik modal, baik untuk dirinya maupun untuk partai pengusungnya.
Persoalan korupsi di negeri ini pun bukanlah sekedar karena ketamakan individu. Ketamakan hanyalah salah satu faktor, ketika gaya hidup materialisme yang semata-mata mengejar kesenangan duniawi telah menyingkirkan keimanan dari dada. Persoalan korupsi saat ini telah menjadi persoalan sistemik yang sulit untuk dihindari.
Penerapan sistem sekuler, memisahkan antara agama dan kehidupan, telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah, melainkan keuntungan dunia. Sekularisme juga menjadikan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan.
Pemberantasan Korupsi Dalam Islam
Tidak seperti demokrasi yang cacat di segala lini, sistem pemerintahan khilafah memiliki jurus jitu menangkal dan membasmi korupsi. Islam menyiapkan instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terdeteksi melakukan korupsi. Diantara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan:
Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah akan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah). Suasana amar makruf nahi mungkar serta saling mengingatkan akan tercipta di lingkungan keluarga dan masyarakat. Masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan.
Ditopang dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia berkepribadian Islam. Didorong lingkungan keluarga yang memahami syariat, terciptalah kerharmonisan visi mendidik generasi. Suasana seperti ini tidak terwujud dalam kehidupan sekuler. Pejabat korup, tamak, serakah, minim empati adalah hasil didikan sekularisme yangdiditerapkan.
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji yang cukup bisa memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)
Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).
Keempat, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Cara ini efektif untuk mencegah korupsi.
Kelima, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.
Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Ketakwaan ini juga ditanamkan kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali.
Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitulmal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat.
keenam, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
ketujuh, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah.
Sementara, masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.
Itulah jurus jitu negara Islam membasmi korupsi. Masih mau memakai demokrasi yang menjadi sarang korupsi atau mencoba cara Khilafah dalam memberantas korupsi sampai akarnya? Ganti dulu sistem demokrasi dengan sistem Islam kaffah. Barulah langkah jitu ini bisa direalisasikan.
COMMENTS