Terobosan UU Cipta kerja
Oleh : Agustinus Edy Kristianto
Selain berita video syur, Indonesia butuh berita yang agak serius tentang mereka-mereka yang berpotensi mencoleng uang negara. Sebab, dipelototi masyarakat saja duit negara tetap bocor, apalagi didiamkan. Dalam perkara ini, kita tak bisa banyak berharap pada Presiden Jokowi sebab bisa jadi ia merupakan bagian dari persoalan.
Realisasi anggaran Kartu Prakerja telah mencapai Rp19,87 triliun untuk 5,59 juta peserta menurut lansiran Ditjen Perbendaharaan Negara Kemenkeu. Dari jumlah itu, Rp5,6 triliun masuk rekening perusahaan digital mitra Prakerja melalui jual-beli video pelatihan yang sampai detik ini tidak kedengaran laporannya. Janji Ruangguru menyumbangkan pendapatan untuk bantuan COVID-19 juga lenyap ditelan angin.
Yang lebih menyakitkan, Menko Perekonomian tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan Kartu Prakerja dan UU Cipta Kerja adalah terobosan untuk mengatasi 9,77 juta pengangguran di Indonesia. Indikatornya jumlah peserta yang mencapai 5,6 juta orang.
Siapa saja yang menggunakan nalar tentu terhina dengan logika sang menteri. Bagaimana bisa membeli video diklaim terobosan atasi pengangguran. Siapa lembaga yang menilai dan apa ukurannya tidak jelas. BPK saja belum mengaudit, bagaimana bisa dia main bicara itu adalah terobosan. Bagaimana jika nanti ditemukan penyimpangan.
Tapi, begitulah kalau kekuasaan dan jabatan yang bicara. Ngawur pun seolah tak mengapa.
Sementara itu UU Cipta Kerja masih digadang-gadang sebagai terobosan. Di mana terobosannya, mari kita tilik bersama.
Mungkin Arutmin (perusahaan batu bara grup Bakrie) paling pertama merasakannya. UU Minerba memastikan perpanjangan izinnya awal November lalu, UU Cipta Kerja memastikan royalti nol persennya, yang Peraturan Pemerintahnya sedang digodok sekarang.
Tapi masyarakat dapat apa?
Masyarakat umum mungkin urusan belakangan. Hari ini, pemerintah melansir website UU Cipta Kerja (bisa Anda Googling sendiri). Di situ ada beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Cipta Kerja. Seperti sudah bisa ditebak, yang didahulukan adalah urusan-urusan yang uangnya jelas dan konkret. Salah satunya RPP Lembaga Pengelola Investasi.
Saya duga lembaga ini sudah diincar para pemain investasi (kalau tidak bisa disebut broker) yang melihat ada peluang kapal keruk di situ. Mari lihat aturan dalam Rancangan PP-nya.
Yang diatur dalam UU Cipta Kerja bahwa modal awal lembaga itu paling sedikit Rp15 triliun ternyata tertulis di RPP sebesar Rp75 triliun. Rp15 triliun adalah berupa dana tunai ternyata. Sisanya (Rp60 triliun) dipenuhi secara bertahap sampai tahun 2021 yang bisa berupa barang negara, piutang negara, saham negara pada BUMN dsb.
Nama lain LPI adalah Nusantara Investment Authority. Asal tahu saja, aset negara dan aset BUMN diatur sehingga dapat dipindahtangankan kepada LPI (Pasal 56) melalui jual-beli atau cara lain secara komersial. Kegiatan pengelolaan aset disebutkan antara lain melalui akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, kerja sama dengan pihak ketiga melalui pembentukan badan hukum Indonesia maupun asing.
Pembagian laba untuk pemerintah paling banyak 30% itu pun setelah akumulasi laba ditahan melebihi 50% dari modal. Jika terjadi akumulasi kerugian mencapai lebih dari 50% modal awal, pemerintah dapat menambah modal (Pasal 52 ayat 6).
Lembaga ini tidak bisa dipailitkan. Tidak diaudit oleh BPK tapi oleh kantor akuntan publik. Dewan Pengawas, Dewan Direktur termasuk jika berstatus mantan, hingga pegawainya mendapat bantuan hukum atas tuntutan pidana dan/atau gugatan perdata (Pasal 71).
Itu semua mirip dengan menaruh seluruh harta kita di halaman rumah untuk kemudian diambil perampok yang selanjutnya masih berhasrat memperkosa anggota keluarga.
Itu uang siapa, Pak Presiden? Uang negara, kan? 90%-nya dari pajak, kan?
Apakah kekayaan negara akan dipakai untuk mengakuisisi saham perusahaan yang berafiliasi dengan pejabat/kroninya dengan imbalan komisi bagi para broker? Apakah akan ditaruh di reksa dana yang nanti berakhir seperti Jiwasraya? Apakah akan dibancak melalui vehicle perusahaan patungan dengan entitas asing? Apakah akan dipinjamkan kepada rekanan sekitar pejabat yang lagi butuh dana segar? Apakah akan ditaruh di bursa efek seperti dulu Jiwasraya menaruh di emiten milik sang menteri BUMN yang nanti duduk sebagai dewan pengawas? Apakah Ketua Satgas UU Cipta Kerja yang kawakan sebagai pelaku usaha manajemen aset akan kebagian porsi banyak di situ?
Potensi korupsi dan penyimpangan sangat besar di situ. Pengawas dan pengelola seharusnya diancam dengan tambahan pidana yang lebih berat, ancaman hukuman mati misalnya, jika melakukan korupsi, bukan cuma diatur masalah bantuan hukumnya. Harusnya ditegaskan bahwa itu adalah keuangan negara yang penyimpangannya dihukum sesuai aturan UU Korupsi dan pemidanaan korupsi (Peraturan MA 1/2020).
Dari dulu saya sudah curiga, ada sesat pikir dalam diri Presiden, semakin ia bicara tentang investasi, investasi, dan investasi.
Entah siapa memperalat siapa!
Salam.
COMMENTS