politisasi agama
Oleh : Dian Fitriani (Penggiat Opini Media Literasi)
Politik bukan hanya sekedar alat untuk meraih dan mencapai kekuasaan absolut tapi juga sebagai ajang kompetisi eksistensi, bahkan dalam bahasa Arab, politik berarti سياسة, siyasah yang jika diserap dalam bahasa Indonesia, siasat merupakan cara, muslihat, taktik dalam mencapai maksud dan tujuan.
Mungkin definisi politik diatas menegasikan bahwa politik adalah sesuatu yang kotor, berdosa dan patut dihindari, hanya kabar baiknya agama tertentu khususnya Islam memandang bahwa politik bukan hanya sekedar alat intervensi pemerintah dalam mensejahterakan rakyat, tapi juga sebagai alat untuk mencapai ketaatan masyarakat terhadap syariat yang fitrah secara masif dan keseluruhan. Tentu lain hal dengan politik demokrasi yang menjadikan politik sekedar alat pemenuhan nafsu kekuasaan semata, dengan kata lain, tidak menutup kemungkinan bahwa cara kotor dan menghalalkan segala cara pun akan terjadi dalam kehidupan politik saat ini.
Sudah tak asing lagi, kita mendengar kabar pasangan calon legislatif, kepala daerah bahkan kepala negara mendadak soleh saat musim kampanye datang, atau tiba-tiba terkena demam mendadak dermawan dan ringan tangan meyakinkan Masyarakat bahwa inilah sosok sebenarnya dari calon pemimpin bangsa. Ada sebagian masyarakat yang terdoktrin dengan cara berpakaian Paslon yang berkampanye, sekedar melihat berbaju koko dan berpeci lantas berpikir bahwa mereka terlihat agamis dan bijaksana, bahkan lebih parahnya para Paslon rela berpaham pluralisme agama demi terlihat paling toleran dan dapat menjaga kerukunan umat beragama.
Inilah yang terjadi saat ini, kita sebutlah sebagai fenomena "politisasi agama" yang menjadikan sentimen agama sebagai celah untuk mendoktrin dan mempengaruhi masyarakat dalam memilih diajak kontes politik, maka muncullah topeng agamis akibat dorongan keinginan berkuasa.
Mengomentari hal ini Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.
"Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati", ujar beliau saat webinar Moya Institute bertema "Gaduh Politisasi Agama", Kamis (19/11)
Sayang sekali, kita sering di suguhkan beraneka ragam topeng yang dipasang para Paslon demi meraih kemenangan dalam berpolitik, merubah cara pakaian, pribadi, bahkan agama hanya demi mendapat suara terbanyak. Dengan harapan semua masyarakat yakin bahwa inilah sosok sebenarnya yang dapat menjaga amanat karena terlihat religius dan agamis.
Namun, apakah dengan berlangsungnya hal ini lantas menjadikan agama sebagai fungsi sebenarnya?
Politik dalam dunia demokrasi berpaham bebas, politik yang dihadirkan sebagai ajang kompetisi tentunya mereka para kompetitor senantiasa mengerahkan berbagai macam trik dan taktik guna mendapatkan suara.
Pemungutan suara dalam demokrasi dengan sistem voting, siapa yang mendapatkan suara terbanyak maka ialah pemenangnya, dengan sistem yang hanya memandang kuantitas suara namun bukan memandang kualitas suara maka memungkinkan adanya doktrinasi terhadap masyarakat awam dengan cara kotor dan tidak bermoral seperti mengumbar janji palsu, membagikan amplop dalam rangka siasat politik uang, atau yang lebih mirisnya menjadikan agama sebagai regulator propaganda. Tentu masyarakat awam akan menjadi sasaran empuk para politikus, mereka bukan hanya tidak paham bagaimana cara berpolitik dalam demokrasi tapi juga kebanyakan tidak dapat meraba topeng yang terpasang dibalik wajah para peserta ajang kompetisi demokrasi.
Padahal jika kita telaah secara seksama bahwa fenomena ini lahir bukan karena adanya kehendak susila manusia secara alami, melainkan karena adanya sistem yang melegalkan tipu muslihat ini terus berlangsung, sistem pemerintahan yang lahir dari paham kapitalisme bukan hanya sekedar mengizinkan kontestasi politik yang kotor namun juga mengizinkan adanya pengendalian para penyelenggara negara oleh para pemilik modal, sehingga mereka dapat semena- mena mengatur kebijakan pemerintahan dari balik layar demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan semata, maka kita seharusnya sudah mulai menyadari banyak kejanggalan yang terjadi akibat sistem ini.
Sistem demokrasi bahkan menjadikan agama beralih fungsi sebagai alat menipu dan membangun citra palsu, akidah sekuler yang dianut oleh paham kapitalisme tentunya mengakibatkan agama hanya sekedar identitas belaka. namun tak cukup sampai disitu, kapitalisme menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, menjadikan topeng agamis untuk meraih simpati masyarakat. sehingga ketika terpilih menjadi para penyelenggara negara, agama tidak dijadikan sebagai dasar aturan dan instrumen hukum negara, justru hanya dimanfaatkan guna membangun paradigma baru ditengah kegelisahan rakyat, maka dengan bertopeng agamis, para kontestan politik hadir seolah membawa angin segar.
Maka inilah yang terjadi, kehidupan berpolitik sehat semakin jauh dalam sistem demokrasi, terciptanya masyarakat Madani, sebagai salah satu model masyarakat ideal yang diharapkan dapat tercapai dalam sistem demokrasi semakin kecil kemungkinannya untuk terwujud dalam sistem ini, sistem yang hanya menyuguhkan suapan amplop kepada masyarakat justru cenderung akan menciptakan masyarakat yang materialis. Bukannya menjadikan Masyarakat yang taat aturan dan dapat berpartisipasi dalam bernegara namun hanya menjadikan masyarakat sebagai ladang bisnis dan objek penipuan yang empuk dari kebengisan topeng kontestan demokrasi.
Inilah sosok agamis yang dilahirkan dari rahim kapitalisme, yang bukan menjadikan ridho tuhan semesta alam sebagai instrumen perjuangan berpolitik melainkan nafsu kekuasaan, tidak menjadikan agama sebagai alat ukur kebijakan melainkan hanya media muslihat untuk meraih simpati dan suara rakyat.
Jika bukan kita yang sama-sama berusaha menyadari kebobrokan sistem lantas siapa lagi?
Wallahu a'lam bi sowab.
COMMENTS