Beberapa hari terakhir, khususnya 10 Muharram, muncul beberapa tulisan terkait peristiwa Karbala. Sementara pihak mengangkat masalah itu unt...
Beberapa hari terakhir, khususnya 10 Muharram, muncul beberapa tulisan terkait peristiwa Karbala. Sementara pihak mengangkat masalah itu untuk mempersoalkan Khilafah. Diantara substansi narasinya adalah menjadikan Khilafah sebagai objek tertuduh sebagai penyebab peristiwa itu. Tentu suatu kesimpulan yang kurang tepat untuk tidak menyebutnya keliru.
Terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali r.a. beserta pasukannya di Karbala menyimpan banyak pelajaran. Bukan hanya tentang kezaliman di pihak Yazid, tapi juga terkait masalah komunikasi (era itu) dan loyalitas prajuritnya, serta persepsi tentang legalitas kepemimpinan Yazid. Disisi lain, ada prinsip amar ma'ruf dan nahi mungkar yang kokoh dipegang Sayyidina Husein bin Ali r.a, prinsip kewajiban melakukan koreksi terhadap penguasa zalim, dan juga persepsi tentang keabsahan kekhalifahan Yazid. Juga ada pelajaran dari sisi pihak-pihak yang sebelumnya bersama beliau lalu mundur dan meninggalkannya, serta komitmen dukungan dari masyarakat Kufah yang kemudian tidak ditepatinya (khianat). Tentu masih banyak peajaran lainnya.
Terkait dengan legalitas kekhalifahan Yazid, dikalangan Sahabat terjadi perbedaan sikap. Sayyidina Husein menganggapnya tidak sah baiat atas Yazid karena Yazid buruk dalam ketaatannya terhadap Syariat. Ia dikenal sering melakukan pelanggaran syara'. Olehnya itu wajar jika kemudian Sayyidina Husein tidak mau mengakui dan tunduk pada kepemimpinan Yazid. Bahkan rela menempuh perlawanan hingga gugur daripada tunduk dan menerima kepemimpinan Yazid.
Pada sisi lain, beliau mendapatkan surat dukungan dari penduduk Kufah dan kesediaannya membaiat serta memberikan perlindungan yang membuatnya memilih menuju Kufah. Beliau berangkat bersama keluarganya, istri dan anak-anaknya, dan para loyalisnya (pendukungnya). Sayangnya, penduduk Kufah tidak menepati janjinya dan lebih takut kepada ancaman dan tekanan Yazid dan pendukungnya. Baiat tidak diberikan, perlindungan terhadap Sayyidina Husein pun tidak ada. Utusan beliau justru terbunuh di Kufah.
Pengkhianatan penduduk Kufah telah berulang, sejak masa Sayydinia Ali bin Abi Thalib r.a., masa Sayyidina Hasan bin Ali ra., hingga masa Sayyidina Husein bin Ali ra. Suatu yang diingatkan oleh kerabat dan sahabat beliau arar tidak mempercayai komitmen penduduk Kufah sebelum beliau berangkat kesana. Di Karbala, sebelum samapi di Kufah, beliau terjebak dalam kepungan pasukan loyalis Yazid dalam jumlah banyak.
Jiwa kestaria seorang muslim sejati, cucu Nabiyullah Muhammad saw, tak gentar dengan kondisi itu. Baginya, langkah maju tak akan terhenti apalagi langkah mundur. Beliau meminta pasukan kecilnya yang ingin pulang agar meninggalkannya. Hingga perang benar-benar terjadi dan beliau gugur bersama saudaranya Abbas dan pasukan kecilnya. Tersisa wanita dan anak-anak yang kemudian di bawa oleh pasukan Yazid ke Damaskus.
Pada sisi lain, pasukan loyalis Yazid melakukan serangan dibawah persepsi bahwa yang diserang adalah pemberontak. Pemberontak terhadap kekuasaan yang sah, Yazid yang telah terbaiat. Mereka tidak lagi melihat bagaimana perangai Yazid sebelumnya dan juga tidak memperhatikan sosok cucu Nabi saw yang diperanginya.
Dalam situasi seperti ini, propaganda menjadi sangat efektif dalam mempengaruhi emosi masyarakat dan pasukan. Media informasi yang terbatas, pihak yang memiliki kekuasaan sanagat memungkinkan menguasai dan mengendalikan opini. Mereka bisa dengan mudah menebar opini yang diinginkannya untuk kepentingannya. Hasilnya, penduduk Kufah berubah sikap dan pasukan bisa dijaga loyalitasnya. Upaya untuk menverifikasi informasi tidaklah semudah sekarang ini. Bahkan patut diduga bahwa sebagian anggota pasukan Yazid tidak mengenali wajah Sayyidina Husein, cucu baginda Nabi saw. Di tengah situasi informasi yang searah dan satu saluran seperti itu, dengan propaganda menghadapi pemberontak, penyerangan itu berlangsung.
Begitulah peristiwa itu terjadi, tentu dengan banyak ragam persepsi bahkan bumbu heroisme dan sadisme yang menyertainya.
Sikap para sahabat dan kaum muslimin beragam atas kekhilafahan Yazid, selain Sayyidina Husein ra berserta pendukung setianya, ada Sahabat lain yang juga menentang dan tidak mengakui kepemimpinannya. Diantaranya adalah Abdullah bin Zubair r.a, anak sepupu Nabi saw. Ia dalah putra Zubair bin Awwam dan Asma binti Abu Bakar. Beliau mengambil baiat dari penduduk Mekkah sejak wafatnya Muawiyah dan pernah menguasai wilayah yang luas termasuk Mesir. Sepanjang hidupnya beliau berperang melawan Pasukan Yazid, Marwan, dan Abdul Malik. Bertahan di Mekkah, hingga akhir hayatnya, dikalahkan dan gusur di tangan Hajjaj pasukan Khalifah Abdul Malik.
Ada pula sahabat lainnya yang memilih diam tidak melakukan perlawanan kepada Yazid, namun tidak juga bergabung dengan Sayyidina Husein maupun Abdullah bin Zubair.
Begitulah situasinya...
Namun beberapa hal yang bisa diambil pelajaran dari gugurnya Sang Cucu Nabi Saw, Sayyidina Husein ra., adalah keteguhannya memegang prinsip untuk tidak tunduk dan tidak takut pada penguasa zalim, sekalipun nyawa harus melayang. Semoga keberkahan menyertai beliau ditempatkan bersama kakeknya yang mulia, Nabiullah Muhammad saw.
Mari renungkan hadis tentang keutamaan muhasabah kepada penguasa dan ketidak bolehan tunduk patuh pada kemaksiatan.
Rasulullah–shallallâhu ’alayhi wa sallam--pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).
Kebajikan dan kezaliman para penguasa silih berganti menyertai kehidupan manusia. Kebajikan penguasa mesti diapresiasi positif, diterima dan ditaati. Semntara kezaliman penguasa mesti ditolak, tidak boleh ditaati, bahkan jika mampu (lebih baik) maka lakukan koreksi atau perlawanan sekalipun tentu ada resiko setiap pilihan yang diambil.
Apa yang dialami oleh Sayyidina Husein ra, bukanlah kehinaan melainkan kemuliaan. Gugur dalam memegang prinsip untuk tidak mengalah dan mengikuti kemauan penguasa zalim. Dan sebaliknya, tentu suatu keburukan dan celaan di dunia dan beban di akhirat bagi Yazid atas kezalimannya. Begitupun yang mengkhianati komitmennya untuk loyal kepada Sayyidina Husein ra.
Kezaliman Yazid bukanlah kezaliman yang melekat pada Khilafah, melainkan kezaliman pribadinya dan orang-orang yang mengikutinya. Sebelum dan sesudah Yazid ada banyak Khalifah yang baik dan Bijak. Dari keluarga Umayyah, ada Khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal dengan kebaikannya.
Olehnya itu, keliru jika kezaliman Yazid dan Gugurnya Sayyidina Husein dituduhkan kepada Khilafah sebagai penyebabnya. Khilafah adalah sistem kepemimpinan yang disyariatkan Islam, bisa saja kursi kepemimpinan itu diduduki oleh orang zalim sehingga melahirkan tindakan zalim, namun juga bisa (seharusnya) diduduki oleh orang yang bijak sehingga melahirkan kebaikan. Rentan waktu yang panjang atas kekhilafah Islam menorehkan banyak kebajikan dari para Khalifah yang Bijak dibanding keburukan dari khalifah yang zalim.
Jika benar-benar cinta pada Sayyidina Husein ra., maka warisi sifat kesatrianya, berani melawan penguasa zalim walau harus gugur. Bukan cinta palsu, tampil bersedih atas kematiannya tapi tunduk patuh dan loyal pada penguasa zalim yang mencampakkan Hukum Allah dan menerapkan Hukum Penjajah.
Mari bijak menilai sejarah, bijak menilai peristiwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat: 6).
----
By : Mustajab alMusthafa
Disarikan dari berbagai sumber; artikel dan buku sejarah [mm]
COMMENTS